Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya
Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p
Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”
Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta
Bab 1. Rahasia Ibu Mertua Dan Suamiku“Nanti malam Yosa datang! Kamu sudah punya jawaban, toh, untuk lamarannya?”Aku tersentak. Suara Ibu terdengar jelas di telinga. Namun, aku tak paham apa maksudnya. Apa yang dia bicarakan. Lamaran apa maksudnya? Nama Yosa memang tak asing di telingaku, meski aku tak kenal siapa dia.Seisi rumah ini sering sekali menyebut nama itu. Memuji dan memuja bagaikan seorang ratu. Kecuali suamiku. Pernah aku bertanya siapa Yosa Namun, Mas Sigit tak mau menjelaskan. Salah seorang keluarga jauh Ibu, itu saja jawabannya.“Ibu enggak mau kamu ngecewakan ibu untuk kedua kalinya, paham, kowe!” ucap Ibu lagi.Penasaran, aku berdiri sambil menggendong bayiku. Kutempelkan kedua mata di sela-sela dinding kamar yang terbuat dari anyaman tepas bambu. Kamar ini terletak persis di samping dapur. Kulihat Mas sigit dan ibunya tengah berdiri di dekat meja makan. “Kok, diem, Le?” tanya ibu lagi.Mas Sigit menarik napas panjang. Sepertinya hatinya sedang sangat gundah
Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar“Enggak bisa! Kamu itu, ya, baru segini saja gaji suami sudah bertingkah! Sejak Sigit nikahi kamu hidup anakku jadi sial! Kamu pembawa sial! Noh, anak-anakmu semua bawa sial! Sebelum menikahi kamu, Sigit itu sukses! Calon manager! Banyak perempuan yang tergila-gila sama dia! Bodohnya Sigit malah milih kamu yang hanya seorang pelayan restoran! Lihat hidupnya sekarang! Melarat!” maki Ibu menunjuk wajahku.Betapa aku ingin menangis sejadinya saat ini. Sakit sekali hatiku. Saat Mas Sigit menganggur karena belum dapat kerja setelah di PHK, aku masih bisa terima perlakuan mereka karena nyatanya kami memang hanya menumpang hidup di sini.Kukira, setelah Mas Sigit bekerja meski dengan gaji yang tak seberapa, ibu tak akan menghinaku lagi. Nyatanya tetap saja tak berubah. Sepertinya, rasa benci di hatinya padaku sudah mendarah daging. Tak akan pernah berubah menjadi kasih, meski Mas Sigit mendapat gaji miliran sekalipun. Baik, aku kini sadar seperti apa
Bab 3. Tamparan Manis Untuk Mantan Pacar“Bening!”Kudengar bentakan ibu mertuaku. Dia, Mas Sigit dan kedua kakak iparku datang dengan tergopoh-gopoh. Kucari wajah perempuan tadi di antara mereka. Tak ada. Ternyata dia bertahan di ruang tamu.Perempuan yang datang untuk melamar suamiku. Apa yang mengganjal di benakku sekarang terjawab sudah. Bisik-bisik oleh ibu mertua dengan suamiku tadi pagi, ternyata ini jawabannya. Wanita itu mengatakan sudah sebulan dia menunggu jawaban. Artinya selama itu pula mereka merahasiakan ini dariku.Ya, Tuhan, betapa bodohnya aku selama ini. Mereka telah menipuku. Tapi, kenapa malam ini seolah Mbak Ambar sengaja membongkar hal ini padaku? Dia memerintahkan aku untuk membuat minum dan mengantarnya ke ruang tamu. Bukankah itu artinya dia ingin memberi tahu segalanya padaku?“Bening! Kenapa kamu? Kayak engak pernah kerja aja! Bersihkan semua beling itu!” teriak Ibu lagi sambil berjalan penuh emosi mendekatiku.“Eh, hati-hati, Bu! Awas kaki ibu terken
Bab 4. Aku Yang Menjawab Lamaran Yosa“Bening! Apa yag kau lakukan?” teriakan tiga orang perempuan terdengar menggelegar, saat dua tamparan dari tangan kasarku mendarat di pipi Yosa yang halus mulus bak pualam itu.“Aku hanya memberinya hadiah, karena telah berhasil mendapatkan tempat di hati ibu mertua dan kedua iparku. Tentu saja di hati Mas Sigit juga,” jawabku menatap tajam ke arah suamiku.Pria itu salah tingkah. Dia bergeming di tempatnya. Tak menyalahkanku, juga tak membela calon istri barunya. Sementara Yosa masih mengaduh keganjenan. Tangan mulusnya meraba pipi yang berubah warna bekas telapak tanganku.“Ibu, sakit … perih … wajahku lecet …,” adunya kepada ibu.Betapa aku ingin dia membalas perbuatanku. Andai dia mau melawan, aku tentu punya kesempatan untuk menjambak rambutnya, atau menggores pipinya dengan kukuku. Nyatanya dia hanya mengaduh dengan gaya ganjen yang membuatku makin muak.Sepertinya dia benar-benar menjaga image, agar dia dianggap penyabar, baik hati dan t