"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.
Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.
“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.
“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.
“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.
“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.
Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya.
Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.
Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Maya tidak tahu atau memang dia sengaja melanggar. Ah, entahlah hanya dia dan Tuhan yang tahu keadaannya sesungguhnya seperti apa.
“Kamu tega mengusirku, Dan? Aku hanya menumpang sementara sampai dapat uang dan bisa mengontrak rumah.” Kudengar suara Maya sedikit meninggi disertai Isak tangis.
“Maaf, May, ini demi kedamaian hati istriku. Kamu sudah membuat gaduh hatinya dan juga sudah lancang. Aku pun tidak suka dengan sikapmu yang seperti itu.”
“Aku hanya bercanda saja, Dan. Aku hanya mengetes apakah istrimu bisa cemburu atau tidak. Sungguh aku tidak ada maksud lain,” jawab Maya.
Alasan yang tidak masuk akal. Punya hak apa dia bertindak begitu. Menyebalkan!
“Apa pun alasannya tidak bisa aku terima, May. Aku sangat sayang pada istriku aku tidak bisa melihatnya terus bersedih.
Aku bangga pada Mas Danu dia bisa setegas itu pada Maya, tapi aku sangat tahu kelemahan Mas Danu, dia tidak bisa melihat orang lain susah.
Jadi, aku tidak yakin Maya bisa pergi dari paviliun apa lagi dia bilang tidak punya uang. Tapi, setidaknya aku sudah tahu bagaimana perasaan Mas Danu.
“Aku mohon, Dan, sekali lagi saja sampai aku gajian. Aku janji segera pindah dari sana,” ucap Maya memohon.
“Kamu kan, masih punya keluarga di sini, May. Kamu bisa tinggal di sana,” sahutku. Maya melirik sekilas dan mencebikkan bibirnya.
“Aku malu pada saudara-saudaraku dan juga tidak mau membuat beban ke dua orang tuaku yang sudah tua.”
“Baiklah, kali ini aku izinkan kamu tinggal sementara di sana, tapi ingat jika kamu bikin ulah aku akan pastikan kamu tidak hanya keluar dari rumahku, tapi juga dari toko ini,” tegasku.
“Ba—baik. Terima kasih,” jawab Maya terbata.
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Mas Danu memastikan.
“Entahlah, tapi rasanya aku tidak tega Mas. Bukankah menolong orang itu perbuatan terpuji?” kataku balik tanya.
“Iya, tentu! Mas bangga padamu,” jawab Mas Danu seraya melingkarkan tangannya ke pinggangku.
Semoga saja keputusanku tidak salah dan Maya tidak menyalahgunakan kebaikan orang lain. Begitu dia dapat uang dari sini aku sendiri yang akan memintanya pergi.
“May, kerja yang benar kalau enggak mau dipecat Bu Bos!” teriak Karim. Seketika aku menoleh. Kulihat Maya memang sebentar-sebentar melihat ponselnya.
“Anakku sedang sakit, Karim, jadi aku tidak bisa lepas dari HP untuk mengontrol keadaannya,” jawab Maya.
“Anakmu kan, sama mertuamu pasti diurusin lah, mana mungkin seorang nenek membiarkan cucucnya sakit,” sahut Karim.
“Sekali lagi aku lihat kamu main HP maka aku akan pecat kamu sekarang juga!” tegasku. Sebenarnya kasihan, kalau aku di posisi Maya pasti juga aku sangat khawatir keadaan anakku.
“Ba—ik, Ta. Eh, Bu.”
Baru kerja sehari sudah menyusahkan! Kalau bukan karena kasihan aku tidak mau menerimanya. Jadilah aku sampai sore mengawasi pekerjaan Maya.
***
“Ta, aku sudah kerjakan semuanya mana bayarannya. Katamu tadi pagi mau bayar, kan?”
Baru saja aku turun dari mobil paman sudah menodong uang padaku.
“Loh, kan, sudah aku bayar. Paman masa enggak tahu?” jawabku seraya mengambil beberapa belanjaan.
“Mana? Paman belum terima kok, Ta. Apa kamu titipkan pada mertuamu?” tanya paman penasaran.
“Evi ke mana, Man? Kok, enggak bantuin yang lainnya?” Mas Danu keluar membawa kantong besar berisi beraneka buah-buahan.
“Lagi teleponan sama suami dan anaknya. Dan, aku minta sama kamu ajalah uangnya. Ita tadi pagi berjanji mau ngasih upah padaku,” jawab paman.
“Upah untuk apa, Man?”
“Kerjaan. Tadi pagi Ita menyuruhku mengerjakan sesuatu dia bilang mau bayar,” jawab paman semangat. Mas Danu mengalihkan pandangannya padaku. Aku mengangguk saja.
“Jangan, Mas!” cegahku saat Mas Danu mengeluarkan uang satu lembar untuk diberikan pada paman.
“Paman itu sudah aku bayar,” kataku lagi.
“Kapan, Ta? Belum, kok,” sanggah paman. Wajahnya tampak kesal.
“Paman lupa? Loh, tadi pagi yang jual kopi coklatku sampai dapat uang 100 ribu siapa? Terus yang tinggal dan makan gratis di rumahku siapa? Itu semua enggak gratis loh!” Paman kecewa dengan jawabanku.
“Tapi, Ta ... itu kan .....”
“Enggak ada kata tapi, Man. Ingat ya, Man, di dunia ini tidak ada yang gratis. Apa lagi Paman di sini sudah habis masa bertamunya. Jadi, tidak ada lagi kewajiban bagiku untuk terus melayani Paman dan juga Evi,” jelasku. Semoga saja paman paham kalau tidak paham juga kebangetan. Kutinggalkan paman yang masih berdiri terpaku.
Enak saja mau semena-mena padaku. Benalu seperti paman Mas Danu, harus dikasih pelajaran biar kapok.
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja