"Siapa yang bisa menentang jalan takdir. Bila Dia telah berkehendak, langit dan bumi pun tak akan sanggup menghalangi."==============Lintang meraba dadanya yang kini berdentum-dentum, ada haru yang menyelimuti hatinya. Menatap pantulan diri di dalam cermin, ada seraut wajah yang kini sedang tersenyum bahagia dengan riasan wajah sederhana. Wajah yang dulu kuyu dan menyimpan banyak luka di matanya, kini bersinar bak mentari pagi. Setelah bertahun berlalu, bahagia itu datang menghampiri. Tidak dengan memaksa, tetapi hanya merayu Yang Maha Kuasa dengan doa dan pengabdian tinggi."Ayo, Lintang semua sudah menunggu."Bunda Dewi menghampiri Lintang. Dia membingkai wajah wanita itu dengan kedua telapak tangannya. Senyum tulus dia ukir di wajahnya yang telah menua."Bunda berdoa semoga kebahagiaan ini tak pernah lekang dari hidupmu."Lintang mengangguk pelan, memeluk wanita yang telah berjasa membimbing menjemput hijrahnya. Setetes air mata jatuh tergelincir di pipinya. Tak ada kata yang bis
Pekarangan rumah yang ditumbuhi pepohonan pinus terlihat rindang. Suara gemericik air yang jatuh ke dalam kolam membuat pendengaran menjadi tenang. Di bawah canopy berwarna biru, di bagian kiri disusun banyak tanaman hias beraneka ragam. Mulai dari mawar, anggrek, kaktus, dan sebangsa daun keladi, lengkap dengan jenis dan warna masing-masing. Seorang wanita yang rambut hitamnya sudah disela uban, terlihat mengamati anak-anak kecil berlarian di pekarangan yang sangat sejuk tadi. Dia beberapa kali ikut tertawa melihat tingkah lucu mereka. Wanita itu adalah Lintang. Setelah bertahun-tahun mengalami cobaan, kemudian menikah dengan Satya, tidak serta-merta membuat hidup Lintang dihujani kebahagiaan. Begitu banyak masalah yang menghadang. Akan tetapi, keduanya bisa melewati kerikil-kerikil tajam dengan berbekal kepercayaan dan cinta yang besar. Saling percaya dan menghormati menjadi kunci keharmonisan rumah tangga mereka. Lintang lagi-lagi tersenyum kecil melihat keriuhan yang tercipta da
"Kepercayaan itu seperti cermin. Jika telah retak, tidak akan pernah utuh lagi seperti semula"===================Malam ini, di ruang tamu yang dulu hangat, sepasang anak manusia duduk saling berhadapan. Tak satu pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bahkan kopi yang tersaji tak lagi mengepulkan uap panas, hanya menjadi saksi bisu dua orang yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Pengkhianatan Arsen telah membekukan kehangatan itu.Arsen beberapa kali melirik wanita di hadapan. Akan tetapi, yang menjadi objek pandangan hanya menunduk sambil meremas jemari yang terjalin di atas pangkuan. Ingin rasanya merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan, mengusap punggungnya lembut sambil mengucapkan kata-kata penenang."Lintang, aku minta maaf, aku benar-benar menyesal.""Menyesal? Kau menyesal karna ketahuan, Mas, kalau tidak mungkin kau tidak akan pernah menyesalinya.""Itu tidak benar, aku ....."Arsen mengembuskan napas panjang, tak mudah meredakan amarah yang menguasai dada Linta
"Masa lalu seperti dua mata pisau. Bijaklah menggunakannya. Kadang dia bisa menjadi guru untuk menata masa depan, kadang bisa menjadi momok yang menakutkan dan membuatmu selalu ketakutan"===================Lintang meletakkan putrinya yang baru selesai diberi ASI di dalam box bayi yang diletakkan di dalam kamarnya. Sejenak menatap wajah mungil yang tertidur lelap. Begitu damai, tak ada beban akibat carut-marut permasalahan orang dewasa.'Kita pasti akan baik-baik saja tanpa Ayah, Nak. Mama janji tidak akan pernah membiarkanku terlantar.'Lintang bergumam seakan sang putri mengerti apa yang dia katakan. Pantas saja banyak orang merindukan masa kanak-kanak mereka, berharap tidak pernah tumbuh menjadi besar, lalu menua. Begitu banyak ragam masalah yang harus dihadapi orang-orang yang telah tumbuh dewasa. Mulai dari cinta monyet, pekerjaan, beban hidup, dan pergolakan dalam rumah tangga."Kami berhubungan delapan bulan yang lalu." "Apa? Kau mengkhianatiku saat aku berjuang hidup dan mat
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan dalam sebuah hubungan? Menjadi pilihan antara dirimu dan seseorang yang baru dia kenal"================Pagi belum sepenuhnya datang. Sisa pekat masih bergelayut di langit yang mulai membiaskan cahaya merah jambu di ufuk timur. Sepertinya sang surya malu-malu beranjak dari peraduan. Aroma tanah basah begitu kentara menggelitik hidung, sementara butiran air setia menggantung di ujung daun, sisa hujan semalam.Di dalam kamar yang didominasi warna putih, Lintang berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Lingkar hitam terlihat jelas di bawah mata wanita tersebut, menandakan dia tak pernah tidur cukup waktu. Tentu saja, wanita mana yang bisa tidur dengan tenang, sementara rumah tangganya tidak baik-baik saja. Semua memori lima tahun terakhir berduyun-duyun datang memenuhi benaknya, menyulut sakit di dada. Sejak memutuskan menikah, Lintang tak pernah membayangkan rumah tangganya akan berakhir dengan perceraian. Wanita itu melakuka
"Kadang memilih pergi bukan karena tak ingin berjuang. Akan tetapi, karena merasa sesuatu itu tidak pantas diperjuangkan."=================Aroma masakan menguar dari arah dapur. Sesekali terdengar suara air dan denting sendok beradu dengan wajan. Suara itu terdengar ke telinga Lintang, meski samar. Wanita tersebut mengendus memastikan aroma yang menggelitik hidungnya. Dia meraih weker yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Dahinya berkerut saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Siapa yang memasak di dapurnya sepagi ini? Di rumah, mereka tidak memiliki asisten rumah tangga. Lintang masih mampu menangani pekerjaan rumah sendiri. Hidup yang keras di masa kecil mengajarinya agar tidak bergantung kepada orang lain. Didorong rasa penasaran, Lintang bangkit dari ranjang, lalu mengikat rambut panjangnya asal. Wanita itu melangkah keluar dari kamar setelah mencuci mukanya terlebih dahulu. Saat melintas di depan kamar tamu--tempat Arsen tidur setelah pria itu menjatuhkan talak--di
"Kau tahu apa yang lebih tajam dari pedang dan berbisa dari ular? LidahDia bisa menghancurkan hati dan meluluhlantakkan rasa yang terpatri."===============Mobil yang ditumpangi Lintang berbelok ke sebuah gang kecil dengan jalan berbatu. Daerah tersebut cukup ramai penduduk meski berada di daerah pinggir kota. Di sebuah bangunan bercat putih, sang supir menghentikan mobilnya."Buk, sudah sampai."Lamunan Lintang buyar saat teguran sang sopir menyapa membran telinganya, halus. Perjalanan dua jam terasa sangat singkat, mungkin karena pikiran wanita itu tidak berada di tempatnya. Dia sibuk melanglang buana, menyibak awan yang menutupi kenangan indah kala pernikahannya masih baik-baik saja.Lintang keluar dari mobil setelah membayar tarif yang disebutkan sang sopir. Wanita itu menatap ragu ke arah rumah bercat putih tulang yang berada tepat di hadapan. Ada bimbang yang menggelayuti hati. Dia resah memikirkan reaksi Buk Rima ketika mendengar kegagalan rumah tangganya. Di mata wanita yang
Hamparan bunga melati dan sedap malam menyambut penglihatan Lintang kala wanita itu membuka kaca jendela kamarnya. Semerbak wangi menyerbu hidungnya, begitu menenangkan. Matahari masih enggan keluar dari peraduan. Hujan deras semalam masih menyisakan udara dingin, yang perlahan menyusup dari celah teralis jendela yang gordennya tersingkap, menyapa lembut kulit Lintang, hingga dia harus menggosok kedua lengannya untuk memberi rasa hangat.Berbalik menatap Gayatri yang masih tidur pulas di atas ranjang. Bayi itu sama sekali tidak terganggu dengan kokok ayam yang terdengar bersahutan. Lintang tersenyum tipis, berjalan mendekat, lalu menyelimuti tubuh mungil dan rapuh itu hingga batas dada. Gayatri sedikit menggeliat merenggangkan tangannya, hanya sebentar setelah itu kembali tertidur.Setelah memastikan putrinya kembali lelap. Lintang berjingkat menjauhi ranjang dan keluar. Berjalan menuju dapur, mendapati Mbak Murni telah berada di sana. Wanita itu terlihat sibuk mengaduk sesuatu di ata