"Dokter, terima kasih sudah membantu saya. Tapi saya tidak bisa lebih lama berbaring di sini. Saya harus ke ruang rawat papa, takutnya adik saya belum datang dan tidak ada yang menjaga beliau.""Jadi yang dirawat di sini itu Papa Anda?""Iya. Saya harus segera ke sana."Nada berusaha bangun. Meski tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia tidak ingin lebih lama berada di ruangan itu. Ada hal penting yang harus segera ia lakukan. Tentunya, setelah memastikan jika Meisya sudah sampai untuk menjaga papa mereka."Sepertinya kondisi Anda sudah mulai stabil. Kalau memang Anda ingin menemui Papa Anda, silakan.""Terima kasih, Dokter."Perlahan, Nada turun dari ranjang dan berusaha berdiri tegak. Gibran terus memperhatikan karena takut wanita di depannya ini kembali lemas dan terjatuh. Kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja. Itu yang Gibran tebak setelah mengamati keadaan Nada. Saat Nada berjalan keluar dari ruangan, netra Gibran masih menatap lekat. Sulit sekali baginya mengalihkan pandanga
Sesuai janjinya, Attar tidak mempersulit proses perceraiannya dengan Nada. Meski hatinya tidak terima jika mereka harus berpisah, tetapi Attar berusaha untuk memenuhi keinginan sang istri yang telah ia sakiti.Kini, mereka sudah resmi berpisah. Nada kembali fokus pada karirnya menjadi seorang model. Ya, atas saran dari Cindy, Nada memilih kembali ke pekerjaan lamanya demi keluarga yang harus ia hidupi. Sesuai janji yang pernah Attar ucapkan, pria itu telah membeli rumah orang tua Nada yang sempat disita. Ia meminta Nada dan keluarga mantan istrinya untuk kembali tinggal di sana. Nada tak mampu menolak. Anggap saja itu merupakan nafkah terakhir dari Attar untuknya. Hendra sempat syok mendengar kabar perceraian putrinya. Namun, Nada berusaha menjelaskan sepelan mungkin agar papanya bisa mengerti. Beruntung Hendra menerima meski hatinya merasa kasihan pada nasib yang dialami putrinya.Kini, Nada harus menjalani hidupnya sebagai seorang janda. Tentu tidak akan mudah dikarenakan pandangan
"Assalamualaikum."Gibran memasuki rumah dan langsung disambut oleh sang Ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Melihat putranya baru pulang dan terlihat lelah, Nurul memberi usapan lembut pada bahu sang putra setelah Gibran mencium punggung tangannya."Abi mana, Umi?" tanya Gibran setelah duduk di samping ibunya."Abi kamu sudah tidur dari tadi. Kok kamu pulangnya malam sekali?""Iya, tadi ada operasi CITO dan Gibran menggantikan Dokter Ridwan yang tidak masuk. Umi kenapa belum tidur?""Nunggu kamu pulang." Nurul tersenyum lembut. "Coba kalau kamu sudah menikah, bukan Umi lagi yang akan menunggu dan menyambutmu pulang, tapi istri kamu.""Umi." Gibran mendesah. Ia rebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu yang langsung mengusap rambutnya penuh sayang."Umur kamu sudah 30 tahun, Gi. Kamu sudah sangat pantas untuk menikah. Tapi sampai sekarang belum ada satu orang pun wanita yang kamu kenalkan sama Umi. Bagaimana kalau Umi saja yang carikan calon buat kamu?" ucap Nurul yang langsung mendapa
"Hati-hati, Pa."Nada membantu Hendra duduk di kursi roda. Hari ini jadwal chek up papanya dan beruntung ia mempunyai waktu senggang dan bisa mengantar. Bersama Meisya, ia membawa sang Papa ke rumah sakit sedangakan Miranti tidak bisa ikut dengan alasan ada janji temu dengan temannya. Ya, memang sudah biasa seperti itu dan Nada masih mencoba memaklumi. Miranti memang terkesan ogah-ogahan jika Nada meminta menemani papanya ke rumah sakit. Akan tetapi, wanita itu cukup telaten dalam mengurus dan mempersiapkan segala keperluan Hendra jika di rumah. Hal itu lah yang membuat Nada tidak pernah merasa keberatan memberikan sejumlah uang jika sang ibu tiri meminta."Mbak, jadwalnya masih setengah jam lagi, kita datangnya terlalu awal. Mau nunggu di sini saja?""Iya, Mei. Kasihan Papa kalau kita nunggu terlalu jauh dari ruangan."Meisya mengangguk mengerti. Mereka duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponsel masing-masing.Ketika membuka aplikasi instagram, Nada sempat tertegun saat mendapati
"Aku minta maaf atas sikap Papa barusan."Nada merasa tidak enak pada Attar atas sikap papanya. Ia meminta Meisya untuk membawa Hendra ke mobil lebih dulu sebelum sang adik pun mengeluarkan kata-kata kasar. Attar sendiri memaklumi sikap Hendra. Ia paham akan perasaan mantan mertuanya yang pasti ikut merasakan sakit karena putrinya telah dikhianati."Gak papa, Nad. Aku paham dan ngerti banget," ucap Attar dengan senyum yang sangat kentara dipaksakan. Kehadiran Gibran di samping Nada membuat dadanya bergemuruh tak karuan. Perasaan cemburu tak dapat ia tampik saat menyaksikan Gibran pun sepertinya sudah dekat dengan Hendra. Lalu, apa kabar dengan Nada sewaktu melihatnya berciuman dengan Naura? Attar bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan sang mantan istri saat itu. Namun, menyesal pun tiada guna. Kini ia harus menuai akibat dari pengkhianatan yang ia lakukan. Berpisah dengan istri yang masih dicintainya dan harus terjebak bersama Naura hanya karena rasa bersalah."Maaf, Nak Attar. B
Naura melempar barang apa saja yang berada di kamarnya. Sudah tiga hari setelah Attar mengantarnya ke rumah sakit, pria itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Naura kalap. Ia ingin pria itu berada di sisinya. Ia ingin Attar mendampinginya setiap saat. Naura ingin Attar. Ya, hanya menginginkan pria itu.Wandi merasa sedih sekaligus kalut melihat tingkah polah sang putri. Pria paruh baya itu mencoba menghubungi Attar, tetapi sayang pria itu tidak pernah menjawab panggilan darinya. Wandi kelimpungan, tidak tahu bagaimana caranya menenangkan Naura. Putrinya mengamuk dengan mulut yang tak henti meneriakan nama Attar."Pak Wandi, bagaimana kalau kita bawa saja putrinya ke rumah sakit jiwa? Takutnya nanti malah membahayakan Pak Wandi dan bisa jadi merambat ke warga sekitar," saran salah satu tetangga yang sengaja datang karena mendengar teriakan Naura. "Putri saya tidak gila, Bu. Kenapa harus dibawa ke rumah sakit jiwa?""Lho, si Naura teriak-teriak sama ngamuk gitu kok Pak Wandi ma
"Kamu marah sama Papa?" tanya Hendra ketika sudah berada di kamar sang putri. Ia paham Nada pasti kecewa karena ia telah melarangnya berbicara dengan Attar."Kenapa Papa bertanya seperti itu? Kenapa juga Nada harus marah?""Karena Papa melarangmu berbicara dengan Attar. Papa tahu sebenarnya kamu masih mencintainya kan?" Hendra menatap lekat wajah sang putri ingin melihat seperti apa reaksi Nada ketika ia bertanya seperti itu. Nada pun tidak bisa menyembunyikan perasaan dia yang sebenarnya pada sang Ayah. Tidak mudah bagi Nada untuk melupakan Attar begitu saja. "Nada masih butuh waktu untuk melupakan Mas Attar," katanya lirih.Hendra mengerti. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya kepada sang putri. Nada memang butuh waktu cukup lama untuk melupakan Attar. Hendra paham bahwa tidak mudah melupakan orang yang pernah memberi kita cinta sekaligus luka secara bersamaan. "Maafkan Papa kalau terlalu keras padamu. Papa hanya tidak ingin kamu terlalu lama larut dalam luka. Apa kamu pernah men
"Masya Allah, putri Papa cantik sekali."Nada terkejut ketika melihat Hendra sudah berada di ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Nada berniat melepas jilbab yang ia kenakan, tetapi Hendra mencegahnya."Jangan dibuka, Nak. Biarkan seperti itu. Papa sangat senang melihat kamu memakai pakaian ini. Putri Papa yang memang sudah dasarnya cantik, kini makin terlihat anggun," puji Hendra dengan tulus. Nada tersipu. Papanya yang ia pikir akan menertawakan dirinya, kini malah memuji dan menyukai penampilannya."Apa Nada pantas berpakaian seperti ini?" tanyanya lirih pada sang Ayah. "Sangat. Sangat pantas," ucap Hendra dengan yakin. "Boleh Papa bertanya?" lanjutnya kemudian."Papa mau nanya apa? Tanyakan saja, tidak usah sungkan seperti itu."Hendra tersenyum dan mengangguk. "Kenapa tiba-tiba saja kamu berpakaian seperti ini? Apakah ada sesuatu atau seseorang yang menjadi alasan kamu melakukan ini?" Nada bergeming. Ia merasa bingung apakah harus jujur pada papanya atau tidak tentang pe