Seluruh pandangan Rong Guo menjadi kabur saat dia membuka matanya.
“Dimana aku? Apa yang terjadi?”
Kejadian ini terasa seperti deja vu. Pingsan, lalu terbangun, begitu berulang kali.
Namun, kali ini Rong Guo terbangun di dalam gua yang gelap. Perbedaan lain adalah hari sudah malam.
Cahaya bulan masuk melalui pintu gua, memberikan pencahayaan yang minim.
“Pemantik api!” bisik Rong Guo. “Aku harus membuat obor!”
Sebagai murid pekerja di luar yang juga bertugas di dapur, Rong Guo selalu membawa pemantik api. Tak lama, dia terlihat meniupnya, dan pemantik itu menyala.
Dengan hati yang bersuka cita, Rong Guo menyulut api pada sebatang kayu yang mengandung damar, semacam getah yang mudah terbakar.
Ketika api telah menerangi gua itu, wajahnya kontan memucat.
“Penatua Payung Iblis? Apa yang terjadi?” Tanpa sadar, dia mundur beberapa langkah ke belakang, tidak sanggup rasanya menyaksikan sosok itu tewas dengan genangan darah di sekitarnya. Bau anyir menusuk ke dalam lubang hidungnya, membuat anak itu hampir muntah.
Rong Guo bergegas keluar gua untuk menghirup udara segar.
Ketika berlari, dia merasakan perih di perutnya. Tapi rasa takut akan sosok jasad Mo Shilin memaksanya untuk terus berlari, sampai dia tiba di depan pintu gua.
Menghirup udara segar dalam-dalam.
Teringat rasa perih di perutnya, Rong Guo membuka tuniknya dan melihat luka penyebab ia merasa sakit dibagian bawah. Saat itu, perutnya dibalut kain, tapi masih ada darah yang menetes di sana.
“Luka? Bagaimana bisa aku terluka di perut?” Wajah Rong Guo menampakkan kepanikan. “Apakah ini perbuatan Penatua Iblis Payung? Apakah dia ingin melakukan sesuatu yang jahat padaku?” batin Rong Guo cemas.
Namun, tak lama kemudian dia menjadi tenang, setelah teringat bahwa Penatua Iblis Payung sudah tewas.
“Apalagi yang harus aku takutkan? Bukankah Penatua Iblis Payung itu sudah mati?” batin Rong Guo memberanikan diri.
Tak lama kemudian, dengan sebuah obor yang dibuat secara darurat, ia kembali masuk ke dalam gua. Ia menatap dengan kasihan sosok Iblis Payung yang tergeletak mati dengan keadaan mengenaskan.
“Biar bagaimanapun dia seorang penatua. Sebaiknya aku menguburkan dia, agar dia mati terhormat.”
Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang redup, Rong Guo dengan tertatih-tatih menumpuk batu seadanya untuk membuat makam bagi orang tua itu. Baginya, si orang tua layak dihormati di akhir hidupnya.
Makam selesai, dan batu nisan dibuat dengan sederhana, tulisan tangan menggunakan kapur alam dari tanaman hutan. Pekerjaan ini dilakukan sampai dini hari. Setelahnya, Rong Guo berdiri memberi penghormatan terakhir di makam sederhana itu.
“Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnya sambil menusukkan ranting panjang sebagai pengganti dupa untuk penghormatan terakhir.
Merasa lelah karena tidak tidur semalaman, Rong Guo masuk ke dalam gua.
“Bagaimana aku bisa tidur jika di sini masih banyak darah bertebaran?” keluhnya.
Hingga matahari bersinar, sekitar pukul sembilan pagi menurut hitungan periode Chen (perhitungan jam kuno), Rong Guo menyelesaikan menimbun tanah di dalam gua yang penuh dengan darah.
“Saatnya tidur, dan memikirkan bagaimana cara keluar dari lubang celaka ini!”
Saat Rong Guo hendak berbaring di tumpukan jerami kering, tiba-tiba tangannya menyentuh suatu benda.
“Surat yang ditulis dengan darah?” batin Rong Guo terkejut. “Apakah ini tulisan tangan dari penatua Payung Iblis itu?”
Dia bertanya-tanya. Rasa ingin tahu memuncak ketika melihat tulisan tangan dibuat dari darah pada selembar kain yang kumal. Tulisan itu masih segar, belum kering.
Awalnya, ia ingin mengabaikan tulisan tangan itu. Rasa ngantuk dan lelah lebih kuat, mengajaknya menutup mata. Namun, keinginan itu terhenti ketika membaca jelas judul di atas salinan itu.
“Warisan Artefak Payung Iblis!”
Penuh rasa penasaran, Rong Guo membaca satu per satu tulisan dengan judul warisan itu.
Inti dari tulisan tangan itu adalah: Mo Shilin menunjuk Rong Guo sebagai ahli warisnya. Dia memberikan peninggalan berupa satu buah payung, senjata mematikan yang pernah dipakai oleh orang tua itu – melanglang buana di zaman dahulu.
Matahari telah naik tinggi, namun Rong Guo belum juga tidur. Ia masih termangu-mangu, memikirkan warisan yang dikatakan oleh orang tua bernama Mo Shilin itu. Di tangannya ada satu kotak persegi panjang, mirip payung tapi juga bukan payung.
“Jadi ini adalah warisan, dari orang tua yang mengaku dahulu sebagai orang terkenal itu? Bagaimana bisa dia dengan penuh percaya diri memberikan barang rongsokan ini padaku?” batin Rong Guo, kecewa.
Sejurus kemudian, dia melihat satu baris kalimat yang ditulis singkat: "Teknik berkultivasi, mengumpulkan hawa murni!" Mata Rong Guo tertumbuk pada kalimat yang menyebutkan Teknik berkultivasi versi kakek tua, yang menyebut dirinya Payung Iblis.
Kebiasaan di sekte-sekte besar, untuk murid-murid pelataran luar, apalagi murid pekerja seperti Rong Guo, mereka tidak diajari tentang teknik berkultivasi. Kalaupun ada, semuanya harus dibayar dengan poin kontribusi.
Mengapa demikian? Karena sekte-sekte tidak ingin mengalokasikan sumber daya pada seorang anak yang mungkin bukan kategori jenius. Jadi, untuk murid pekerja seperti Rong Guo, dia hanya boleh mempelajari satu keterampilan seni bermain pedang. Sisanya, jika ia ingin membeli teknik berkultivasi, maka dia harus mengikuti misi sekte.
Sayangnya, misi sekte semacam ini hanya diperbolehkan untuk murid-murid pelataran dalam.
Murid pelataran luar harus bekerja dengan memilih pekerjaan seperti tukang sapu, tukang masak, dan lain sebagainya untuk memperoleh poin kontribusi setiap bulan. Di dalam sekte-sekte besar, koin tembaga, koin perak, dan koin emas tidak berharga.
Oleh karena itu, meskipun merasa mengantuk dan malas di dalam hati, Rong Guo membaca salinan teori untuk berkultivasi.
“Aneh. Berkultivasi di dalam catatan ini berbanding terbalik dengan cara berkultivasi yang pernah aku dengar dari murid-murid pelataran dalam!”
Sebagai seorang murid pekerja yang tugasnya di dapur, sekali-sekali Rong Guo bertugas mengantarkan makanan di aula tempat makan murid-murid pelataran dalam. Meskipun suasana ramai, ia seringkali menajamkan kupingnya untuk mendengarkan apa yang dibicarakan. Hal yang paling disukainya adalah tentang perdebatan teori Teknik kultivasi.
Merasa penasaran, maka Rong Guo duduk dalam posisi lotus sesuai instruksi di dalam salinan itu. Lalu bernafas dan mengalirkan energi sesuai yang dijabarkan di sana.
Baru saja satu bakaran dupa, ia jalankan melakukan kultivasi sesuai salinan, Rong Guo merasakan banjir energi yang meluap dari bagian bawah perut tepatnya inti mutiara berada. Wajahnya berubah, perpaduan terkejut dan rasa takut.
“Aku memiliki inti Mutiara? Bagaimana bisa?”
Meneruskan kultivasinya sampai asap hitam tampak mengepul keluar dari ubun-ubunnya. Terdengar bunyi kretek, pertanda tulang-tulangnya mengalami perubahan, dan dia membuka mata dalam rasa terkejut. Hari ini lebih terkejut lagi.
“Bakat tulang Serigala yang buruk, berubah menjadi Tulang Harimau? Hanya dengan sekali berkultivasi?” Rong Guo hampir melompat dalam rasa gembira. Terlebih lagi ketika ia memeriksa di bagian bawah perut di inti Mutiara, nyata benar ada aliran energi yang meluap di bagian internalnya.
“Keahlianku setara Pendekar Harimau Giok? Aku sungguh tidak percaya. Langit berbaik hati dan mendengar tangisanku selama ini.
Seperti apakah tingkat kepandaian seorang Pendekar Harimau Giok? Yang akan datang, penulis akan membahas tentang tingkat-tinngkat kultivasi di dalam novel ini.
Bersambung
Tiga bulan telah berlalu sejak peristiwa besar yang mengguncang dunia persilatan. Di Puncak Wudang, keramaian tak biasa memenuhi setiap sudut.“Pemimpin Sekte Wudang akan menikah!” teriak seseorang di kerumunan dengan semangat.“Mari kita saksikan! Ini peristiwa yang jarang terjadi!” sahut yang lain, ikut terbawa antusias.“Pemimpin Rong akan menikahi Penatua Xiao, sahabat semasa kecilnya!”Kabar ini telah menyebar ke seluruh penjuru negeri, membuat semua orang berbondong-bondong datang, meskipun tanpa undangan.Setelah kemenangan besar melawan Kekaisaran Matahari Emas, reputasi Sekte Wudang berada di puncaknya. Dipimpin oleh Rong Guo, seorang Abadi, Sekte ini kini menjadi pusat dunia persilatan.Pagi itu, Puncak Wudang terasa hidup. Murid-murid sibuk mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, sementara tokoh-tokoh dari dunia persilatan turut hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Para pemimpin sekte aliran putih, datuk sekte sesat, dan praktisi independen berkumpul, meningga
Peristiwa pertarungan itu menyisakan kepedihan yang mendalam. Bau darah masih memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah basah yang terhantam ledakan energi.Langit di atas Puncak Gunung Wudang kini mulai cerah, namun suasana di bawahnya tetap mencekam.Sosok Khaganate dari Benua Podura terbaring diam di atas tanah yang hancur.Armornya yang hitam pekat kini penuh retakan, memancarkan kilau redup seperti batu obsidian yang kehilangan cahayanya.Tubuhnya yang sebelumnya memancarkan aura menakutkan kini terlihat rapuh, seperti sisa abu dari api besar yang telah padam.Dalam sekejap mata, Rong Guo melesat, gerakannya begitu cepat hingga hanya meninggalkan bayangan samar di udara.Ketika orang-orang mengedipkan mata, ia sudah berdiri di sisi jasad Khagan, seperti bayangan yang muncul dari kehampaan.Semua ahli di puncak Wudang segera berkerumun, namun tidak ada yang berani terlalu dekat.Mereka berhenti beberapa langkah di belakang Rong Guo, mata mereka penuh dengan rasa ingin tahu berc
Getaran ledakan meruntuhkan tebing-tebing di kejauhan, sementara retakan-retakan dalam menjalar liar di tanah, melahap apa saja yang dilewatinya.“Langit akan runtuh! Kita semua akan mati!” teriak seorang pria tua, tubuhnya gemetar ketakutan.“Lari! Jangan lihat ke atas!” jerit seorang ibu sambil menarik anaknya yang menangis, wajahnya penuh kecemasan.Penduduk berlarian kacau, beberapa terjatuh akibat guncangan, sementara yang lain terus mencari tempat berlindung.Percikan energi dari ledakan di langit jatuh seperti hujan meteor, membakar apa saja yang disentuhnya.Di langit, tubuh kedua Abadi itu terlempar jauh ke belakang akibat dampak besar serangan mereka. Rong Guo tersungkur ke tanah, tubuhnya memar dan dipenuhi luka.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya, tubuhnya bergetar karena energi yang hampir habis.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak melemah, tetapi auranya tetap menguasai langit. Ia melayang dengan stabil di u
Langit tampak seperti tercabik-cabik, retakannya menjalar seperti guratan api yang membakar langit malam.Setiap lapisan atmosfer bergetar hebat, seolah tak mampu lagi menahan kekuatan dahsyat dari dua ahli peringkat Abadi yang bertarung di cakrawala.Matahari memerah, cahayanya memudar seperti nyala lilin yang hampir padam.Dunia seolah berubah menjadi tua.Udara dipenuhi energi gelap dan terang yang saling bertabrakan, menciptakan ledakan menggema yang membuat tanah retak dan sungai meluap.Dua sosok raksasa, perwujudan energi mereka, melesat berpindah-pindah. Ke Utara, Selatan, Barat, dan Timur, setiap langkah mereka mengguncang bumi dan menghancurkan gunung.Bayangan mereka memanjang di atas tanah, menebar teror yang membuat semua makhluk di bawah langit merasa kecil dan tak berdaya.Di seluruh penjuru Benua Longhai, penduduk keluar dari rumah mereka.Wajah-wajah pucat pasi mendongak ke langit, menatap pemandangan apokaliptik yang terjadi di atas mereka.Napas mereka tertahan, dad
Secara alami, pertarungan antara dua Abadi di cakrawala adalah sesuatu yang sangat luar biasa.Pertarungan yang terjadi antara Rong Guo dan Khagan dari Benua Podura mengguncang cakrawala. Kedua sosok abadi itu bertarung dengan kekuatan luar biasa, memecah langit dan menggoncangkan bumi di sekitar mereka.Kedatangan Rong Guo yang terlambat membuatnya terkejut, melihat apa yang terjadi di puncak Gunung Wudang.“Terlambat! Kita terlambat,” tangis Biarawati Fear tak tertahankan.Ia merunduk di tanah puncak gunung, sambil menangisi satu demi satu jenazah murid-murid dari Sekte Gurun Gobi yang tergeletak kaku.Sementara Rong Guo hanya diam.Meski emosinya bergejolak, namun dengan tingkat kultivasi yang telah mencapai puncak dunia, yaitu Yongheng—atau abadi—dia tidak mudah hanyut dalam perasaan sedih yang mendalam.Sambil memindai dengan energi spiritualnya yang tajam, Rong Guo menemukan jejak aura ribuan tentara Kekaisaran Matahari Emas yang menyebar di Puncak Terlarang.Sedetik sorot mata
"Apa yang terjadi?" suara seseorang bergetar memecah keheningan."Siapa yang melakukan ini? Siapa yang menghabisi semua tentara Matahari Emas?"Tidak ada yang mampu menjawab. Keheningan kembali menyelimuti, berat dan penuh tanda tanya.Zhang Long Yin memandang pemandangan itu dengan dahi berkerut tajam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi pikirannya dipenuhi kebingungan. Siapa yang memiliki kekuatan sebesar ini, yang mampu menyingkirkan ribuan tentara dalam sekejap?Xiao Ning menggigit bibir, emosinya bercampur aduk.Keajaiban ini mungkin telah menyelamatkan mereka, tetapi muncul pertanyaan besar: keajaiban macam apa yang terjadi di Puncak Terlarang malam tadi?>>> Di langit...Dua sosok bertarung dalam bentuk yang melampaui nalar manusia.Pemuda berbaju putih longgar berdiri di udara dengan ketenangan yang menusuk, seperti puncak gunung es yang tersembunyi.Senjata di tangannya adalah sebuah payung istimewa yang memancarkan aura magis. Angin berputar di sekelilingny