LOGINRuangan altar di jantung benteng Sekte Tanah itu sunyi, namun udaranya terasa berat sekali.
Di atas podium batu, tulang Cakar Naga Kanan yang membatu itu melayang pelan. Warnanya hitam legam, menyerap cahaya obor di sekitarnya. Permukaannya kasar, penuh guratan purba yang menceritakan ribuan pertempuran yang pernah dilaluinya sepuluh ribu tahun lalu.
Aksara Linggar berdiri di hadapannya.
Tangan kanannya, tangan manusia yang selama ini memegang pedang, membelah batu, dan meracuni musuh gemetar hebat. Bukan karena takut, melainkan karena resonansi. Tulang-tulang di dalam dagingnya bergetar, seolah ingin melompat keluar dari kulit untuk menyatu dengan tuannya yang asli.
"Ini bukan hadiah, Bocah," suara Naga Wiratama terdengar berat di dalam kepala Aksara. "Ini adalah kutukan. Cakar ini pernah merobek langit. Cakar ini pernah menghancurkan bintang. Tangan manusiamu terlalu rapuh untuk menampungnya."
"Kalau begitu ..." Aksara mengangka
Angin laut yang berhembus di Nusa Kencana membawa bau alkohol, keringat, dan darah yang mengering.Pulau itu tidak memiliki pemerintahan. Tidak ada bendera sekte yang berkibar. Yang ada hanyalah ribuan bangunan kayu yang ditumpuk sembarangan di atas tebing karang, saling sambung-menyambung dengan jembatan gantung yang rapuh. Kapal-kapal bajak laut, pedagang budak, dan buronan berlabuh berdesakan di pelabuhan yang kumuh.Di sinilah sampah dunia berkumpul. Di sinilah mereka yang dibuang oleh Aliansi menemukan rumah.Siang itu, kesibukan di pelabuhan terhenti sejenak.Sebuah perahu kecil merapat di dermaga utama. Tidak ada layar, tidak ada dayung. Rakit itu bergerak membelah ombak seolah ditarik oleh hantu air.Tiga sosok melangkah turun ke dermaga kayu yang berderit.Seorang pemuda dengan jubah hitam longgar yang menutupi satu lengannya. Wajahnya tertutup topeng kayu polos.Seorang wanita cantik dengan kulit pucat dan tato bunga hitam d
Kesadaran Aksara kembali dengan perlahan dari dasar laut yang gelap dan sunyi. Tidak tergesa, tidak menyakitkan, hanya pelan, seolah dunia memberinya waktu untuk bernapas kembali.Hal pertama yang menyentuhnya bukanlah suara, melainkan bau.Bukan bau darah. Bukan asap mesiu. Bukan racun yang menusuk paru-paru. Yang ada hanyalah garam, lumut basah, dan aroma herbal asing yang lembut dan menenangkan, hampir seperti janji bahwa ia masih hidup.Perlahan, Aksara membuka matanya.Cahaya biru yang lembut menyambut pandangannya. Ia tak lagi tergeletak di pantai berpasir kasar tempat kesadarannya terputus. Ia berada di dalam sebuah gua luas, sunyi dan megah.Dinding-dinding gua dipenuhi kristal biru berpendar, memancarkan cahaya alami yang dingin namun menenangkan. Kilauannya menari di permukaan batu, memantul ke langit-langit yang menjulang tinggi. Dari sana, tetes-tetes air jatuh perlahan, menciptakan irama halus saat menyentuh kolam-kolam kecil di lantai gua, seperti napas dunia yang masih
Jeritan Patriark Matahari yang kehilangan lengannya bukan sekadar pekik kesakitan, itu adalah lonceng kematian bagi moral Pasukan Aliansi. Suara itu menggema, memecah keberanian, menanamkan ketakutan yang tak bisa lagi disangkal.Di dalam lambung Bahtera Nuh yang porak-poranda, darah dewa menetes ke lantai emas, mendesis seperti asam, membakar logam suci hingga menghitam. Setiap tetesnya adalah penghinaan terhadap keabadian.“BUNUH DIA! JANGAN BIARKAN DIA HIDUP!” raung Patriark Matahari, suaranya pecah dan liar. Wajahnya pucat pasi, mata melotot gila oleh amarah dan teror yang telanjang. Tangan kanannya mencengkeram tunggul bahu kirinya yang buntung, memaksa api suci menutup luka, berjuang menghentikan pendarahan energi dewata, namun bahkan cahaya Matahari pun tampak ragu di hadapan kehancuran yang baru saja lahir.Raja Pedang dan Ibu Suri Seribu Bunga tidak perlu disuruh dua kali. Mereka menyadari satu fakta mengerikan: Jika monster hitam di hadapan
Langit di atas Lautan Kekacauan terbelah menjadi dua warna. Emas Menyilaukan dari Meriam Utama Bahtera Nuh, dan Hitam Kelam dari aura Aksara dan Larasmaya.BOOOOOOM!Benturan itu tidak menghasilkan suara pada detik pertama. Saking dahsyatnya energi yang bertabrakan, suara pun terhisap hilang. Cahaya putih menelan segalanya, menguapkan air laut di bawahnya hingga radius lima mil menjadi kabut panas.Aksara meraung di tengah cahaya itu. Tangan Kiri Asura dan Cakar Naga Kanan-nya menahan pilar cahaya penghancur itu. Kulitnya melepuh, sisik-sisiknya retak dan rontok, namun regenerasi Sutra Darah Langit memaksanya tumbuh kembali dalam siklus penyiksaan abadi."AKU AKAN MEMAKANMU!" batin Aksara menjerit.Ia membuka mulutnya, mencoba menghisap energi meriam itu menggunakan teknik Pemakan Segala. Namun, energi ini terlalu besar. Terlalu murni. Seperti mencoba meminum air terjun dengan gelas."Aksara! Tubuhmu tidak
Lautan Kekacauan tidak pernah melihat perang seperti ini sejak zaman purbakala.Ribuan kerangka naga air, ikan leviathan, dan monster laut purba bangkit dari kubur air mereka. Tulang-belulang itu tidak memiliki daging, namun digerakkan oleh benang-benang Qi hitam yang memancar dari Tangan Kiri Asura Aksara. Mata kosong mereka menyala ungu, memancarkan kebencian terhadap yang hidup."Hancurkan mereka!" perintah Aksara.Ia berdiri di atas tengkorak seekor Naga Laut sepanjang seratus meter yang melompat keluar dari air.BBOOOOM!Tengkorak raksasa itu menghantam lambung salah satu kapal perang pengawal Aliansi. Kayu besi yang diperkuat sihir hancur seperti ranting kering. Kapal itu terbelah dua. Para murid di atasnya menjerit saat mereka jatuh ke laut, disambut oleh rahang-rahang tulang hiu yang menunggu di bawah permukaan."Tembak! Tembak semuanya!" teriak Raja Pedang dari atas geladak Bahtera Nuh.Ratusan meri
Pantai yang terbentang di dalam rongga mulut tengkorak naga itu bergetar hebat, seolah dunia kecil di sana hendak runtuh. Getaran itu bukan berasal dari amukan ombak, melainkan dari latihan brutal seorang monster yang menantang batas keberadaan.Aksara Linggar berdiri di atas pasir putih yang berdesir liar. Dadanya telanjang, memperlihatkan anatomi yang tak lagi pantas disebut manusia. Bahu kanannya terlapisi sisik naga hitam, keras, berkilau, dan dingin seperti baja purba. Sementara bahu kirinya berubah menjadi kulit abu-abu pucat, memancarkan hawa kematian yang menusuk, seolah setiap helaan napasnya mampu membekukan jiwa di sekitarnya.Ia mengangkat kedua tangannya.Tangan kanannya adalah Cakar Naga, Besar dan bersisik, setiap ruasnya memancarkan panas murni yang liar. Kekuatan fisik absolut berdenyut di sana, seolah genggamannya mampu meremukkan baja dan mematahkan hukum alam.Tangan kirinya adalah Tangan Asura. Ramping, dengan kuku ungu panjang yang berkilau dingin. Dari sana meng







