MasukHutan yang terbakar itu perlahan mati, menyisakan bara api yang berkedip lemah seperti mata iblis yang mengantuk. Asap tebal menggantung rendah, memeluk mayat-mayat bandit Pemburu Bayangan yang berserakan dalam kondisi mengerikan.
Di tengah kehancuran itu, Larasmaya Renjana masih terduduk di tanah yang kotor oleh abu. Tangannya mendekap erat sebuah botol porselen retak ke dadanya, seolah itu adalah satu-satunya benda suci yang tersisa di dunia. Air matanya telah kering, menyisakan jalur putih di pipinya yang cemong oleh jelaga.
"Aksara ..." bisiknya, suaranya pecah dimakan angin.
Ia tidak tahu harus merasa lega atau takut. Sahabatnya, pemuda kurus yang dulu menjahit sandalnya ternyata masih hidup. Tapi pemuda itu telah tiada, digantikan oleh makhluk yang memancarkan aura kematian begitu pekat hingga membuat udara membeku. Tatapan di balik topeng itu bukanlah tatapan milik manusia.
"Berdiri."
Suara dingin Darius memecah lamunan Larasmaya.
Tua
Laut Selatan biasanya merupakan jalur perdagangan yang paling aman di bawah perlindungan bendera Sekte Matahari Suci. Tidak ada bajak laut yang cukup gila untuk menyentuh kapal yang membawa lambang matahari emas di layarnya.Namun, malam ini, laut itu mati.Konvoi suplai raksasa yang terdiri dari dua puluh kapal kargo besar sedang berlayar menuju Kota Pelabuhan Tanjung Perak. Kapal-kapal itu memuat ribuan ton Batu Roh, senjata, dan bahan obat yang dikirim dari wilayah pusat untuk memperkuat garis pertahanan Aliansi di selatan.Di atas kapal utama, Kapten Surya, seorang kultivator Inti Emas Awal berdiri di anjungan, menatap kabut tebal yang tiba-tiba turun menyelimuti armada."Kabut sialan," gerutu Kapten Surya. "Penyihir Cuaca! Usir kabut ini! Aku tidak bisa melihat ujung hidungku sendiri!"Seorang penyihir angin di dek mencoba merapal mantra. Namun, bukannya menipis, kabut itu justru semakin pekat. Dan warnanya berubah. Dari puti
Pertempuran di Arena Pusat Nusa Kencana tidak berlangsung lama. Itu bukan perang; itu adalah eksekusi massal.Lima puluh pengawal elit Jagal, para pembunuh bayaran veteran yang telah mencabut nyawa ratusan orang tumbang seperti gandum di hadapan sabit.Kabut ungu Larasmaya bergerak seperti makhluk hidup, menyusup ke dalam hidung dan telinga para pengawal. Mereka yang menghirupnya tidak mati seketika; mereka berhalusinasi, melihat teman sendiri sebagai monster, lalu saling tikam dalam kegilaan.Di tengah badai kekacauan itu, Aksara Linggar adalah pusat gravitasinya.Ia tidak menggunakan senjata. Ia tidak membutuhkannya. Tangan Kiri Asura-nya mencabut nyawa dari tubuh fisik musuh, sementara Cakar Naga Kanan-nya menghancurkan tulang dan baju zirah mereka.KRAK! SREET!Satu per satu pengawal jatuh. Darah membanjiri pasir arena, mengubahnya menjadi lumpur merah yang kental.Di balkon kehormatan, Si Jagal gemetar hebat. Gelas anggu
Dalam kegelapan tidur panjangnya, Aksara tidak bermimpi. Ia mengingat.Kesadarannya ditarik masuk ke dalam aliran darah Jantung Raja Naga yang baru saja ia tanam di dadanya. Darah itu bukan sekadar cairan kehidupan; itu adalah perpustakaan memori yang telah ada sejak dunia ini terbentuk.Aksara melihat zaman dahulu kala.Zaman di mana langit tidak berwarna biru, melainkan ungu keemasan. Zaman di mana manusia dan naga hidup berdampingan, bukan sebagai musuh, melainkan sebagai saudara.Manusia menunggangi naga untuk membelah awan. Naga mengajarkan manusia cara menyerap Qi alam semesta. Peradaban mereka begitu maju, begitu kuat, hingga kultivator pada masa itu tidak perlu memakan pil atau membunuh sesama untuk naik tingkat. Mereka hidup dalam harmoni.Kekuatan gabungan antara Kebijaksanaan Manusia dan Fisik Naga menciptakan entitas yang nyaris sempurna.Lalu, Aksara melihat Mereka.Langit terbelah. Bukan oleh petir, tap
Lorong menuju perut bumi itu ternyata tidak gelap gulita seperti yang Aksara bayangkan.Dinding-dindingnya terbuat dari tulang rusuk yang membatu, memancarkan cahaya merah temaram yang berdenyut seirama dengan suara DUM yang menggema dari kedalaman. Udara di sini panas, kering, dan berbau belerang purba.Setiap langkah yang diambil Aksara terasa semakin berat. Bukan karena gravitasi bumi, melainkan karena Tekanan Spiritual yang dipancarkan oleh sisa-sisa keberadaan Raja Naga di bawah sana. Tekanan itu menolak kehadiran makhluk hidup lain. Bagi manusia biasa, tekanan ini sudah cukup untuk menghancurkan pembuluh darah otak dalam radius satu mil.Aksara terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya yang setengah bersisik. Lututnya gemetar, seolah memikul gunung di pundaknya."Kau merasakannya?" suara Naga Wiratama terdengar bergetar, penuh rasa hormat dan duka. "Ini adalah aura Baginda Raja Antaboga. Bahkan dalam kematiannya, be
Angin laut yang berhembus di Nusa Kencana membawa bau alkohol, keringat, dan darah yang mengering.Pulau itu tidak memiliki pemerintahan. Tidak ada bendera sekte yang berkibar. Yang ada hanyalah ribuan bangunan kayu yang ditumpuk sembarangan di atas tebing karang, saling sambung-menyambung dengan jembatan gantung yang rapuh. Kapal-kapal bajak laut, pedagang budak, dan buronan berlabuh berdesakan di pelabuhan yang kumuh.Di sinilah sampah dunia berkumpul. Di sinilah mereka yang dibuang oleh Aliansi menemukan rumah.Siang itu, kesibukan di pelabuhan terhenti sejenak.Sebuah perahu kecil merapat di dermaga utama. Tidak ada layar, tidak ada dayung. Rakit itu bergerak membelah ombak seolah ditarik oleh hantu air.Tiga sosok melangkah turun ke dermaga kayu yang berderit.Seorang pemuda dengan jubah hitam longgar yang menutupi satu lengannya. Wajahnya tertutup topeng kayu polos.Seorang wanita cantik dengan kulit pucat dan tato bunga hitam d
Kesadaran Aksara kembali dengan perlahan dari dasar laut yang gelap dan sunyi. Tidak tergesa, tidak menyakitkan, hanya pelan, seolah dunia memberinya waktu untuk bernapas kembali.Hal pertama yang menyentuhnya bukanlah suara, melainkan bau.Bukan bau darah. Bukan asap mesiu. Bukan racun yang menusuk paru-paru. Yang ada hanyalah garam, lumut basah, dan aroma herbal asing yang lembut dan menenangkan, hampir seperti janji bahwa ia masih hidup.Perlahan, Aksara membuka matanya.Cahaya biru yang lembut menyambut pandangannya. Ia tak lagi tergeletak di pantai berpasir kasar tempat kesadarannya terputus. Ia berada di dalam sebuah gua luas, sunyi dan megah.Dinding-dinding gua dipenuhi kristal biru berpendar, memancarkan cahaya alami yang dingin namun menenangkan. Kilauannya menari di permukaan batu, memantul ke langit-langit yang menjulang tinggi. Dari sana, tetes-tetes air jatuh perlahan, menciptakan irama halus saat menyentuh kolam-kolam kecil di lantai gua, seperti napas dunia yang masih







