LOGINKehadiran Darius di tengah ladang pembantaian itu terasa seperti noda tinta di atas lukisan darah.
Pemuda itu berdiri di sana, jubah putihnya berkibar anggun, sama sekali tidak tersentuh debu maupun abu dari hutan yang terbakar. Di belakangnya, dua pengawal elit dari Divisi Penegak Hukum berdiri tegak, tangan mereka bersiaga di gagang pedang, memancarkan aura kultivasi tingkat menengah yang menekan.
Namun, bagi Aksara yang berdiri di tengah tumpukan mayat bandit, tekanan itu terasa menggelikan. Seperti semut yang mencoba mengintimidasi gajah.
Darius menutup kipas lipatnya dengan bunyi
yang nyaring. Matanya menyapu pemandangan mayat-mayat Pemburu Bayangan dengan tatapan menilai."Tubuh fisik yang kebal senjata ... kekuatan yang bisa menghancurkan batu tanpa Qi ..." gumam Darius, matanya berkilat licik. Ia melangkah maju, mengabaikan Larasmaya yang masih gemetar di dekat pilar batu. "Kau pasti bukan manusia. Kau adalah Mayat Hidup atau Boneka Iblis yang lepas kendali dari reruntuhan kuno ini, bukan?"
Darius tersenyum, senyum yang penuh dengan arogansi pemilik dunia.
"Dengar, Makhluk Rendahan. Aku adalah Tuan Muda Darius dari Sekte Wana Jagad. Ayahku adalah Tetua Agung yang menguasai separuh sumber daya sekte. Karena kau telah menyelamatkan pelayanku ..." ia menunjuk Larasmaya dengan ujung kipasnya, seolah gadis itu hanyalah sebuah barang, "... aku akan berbaik hati."
Larasmaya tersentak. Rasa sakit di hatinya meledak lebih hebat daripada luka fisiknya. "Pelayan? Darius ... kau meninggalkanku! Kau lari saat bandit-bandit itu datang! Kau menjadikanku umpan!"
Darius menoleh sekilas, tatapannya dingin dan kosong. "Diam, Laras. Jangan merusak momen usahaku. Kau harusnya bersyukur kau masih hidup dan berguna untuk memancing makhluk unik ini keluar."
Darius kembali menatap topeng kayu hitam Aksara. "Bagaimana? Berlututlah di hadapanku. Bersumpahlah setia sebagai anjing penjagaku. Dengan kekuatan fisikmu dan otak jeniusku, kita bisa menguasai seluruh Sekte Wana Jagad. Aku akan memberimu makan daging segar setiap hari."
Hening.
Hutan yang terbakar itu hening, kecuali suara kayu yang meletup di makan api.
Di balik topeng iblisnya, napas Aksara menderu pelan.
Awalnya, ia ingin langsung memenggal kepala Darius. Namun, mendengar kata-kata itu ... mendengar betapa murahnya nyawa Larasmaya di mata Darius ... mendengar betapa tingginya kesombongan manusia ini ... Aksara menyadari satu hal.
Membunuh Darius sekarang adalah sebuah anugerah. Kematian terlalu cepat. Kematian terlalu mudah. Darah naga di dalam nadi Aksara bergolak, bukan meminta darah, melainkan meminta dominasi.
Aksara memutar tubuhnya perlahan, menghadap Darius sepenuhnya. Lubang mata pada topeng kayunya tampak gelap gulita, seolah menyedot cahaya di sekitarnya.
"Kau ingin aku berlutut?"
Suara itu keluar dari balik topeng, berat, parau, dan bergetar dengan frekuensi rendah yang membuat gigi Darius ngilu.
Darius menyeringai, mengira negosiasi berjalan lancar. "Tentu saja. Itu adalah kehormatan bagi monster sepertimu untuk melayani bangsawan sepertiku. Cepatlah, sebelum aku berubah piki …"
BOOM!
Tanah di bawah kaki Aksara meledak. Tidak ada ancang-ancang. Tidak ada aliran Qi yang terlihat. Hanya ledakan murni dari otot kaki yang berkontraksi.
Darius bahkan belum sempat mengedipkan mata ketika sosok bertopeng itu menghilang dari pandangannya. Angin kencang menampar wajahnya, menerbangkan rambutnya yang rapi menjadi berantakan.
Detik berikutnya, dunia Darius terbalik. Sebuah tangan besar, keras, dan dingin mencengkeram lehernya. Darius tidak sempat berteriak. Kakinya terangkat dari tanah. Ia mendapati dirinya tergantung di udara, dicengkeram oleh sosok iblis itu hanya dengan satu tangan.
"Ughhh... khhh...!"
Mata Darius melotot, wajahnya memerah padam. Kipas lipatnya jatuh ke tanah, terinjak oleh kaki Aksara yang berlumuran darah.
"Tuan Muda!"
Kedua pengawal elit Darius bereaksi. Mereka adalah kultivator tingkat menengah yang terlatih. Tanpa ragu, mereka menghunus pedang mereka yang bersinar biru, pedang baja tingkat tinggi yang dialiri Qi angin tajam.
"Lepaskan Tuan Muda kami, Monster!" teriak salah satu pengawal.
Mereka menerjang maju, menebas punggung Aksara dari kiri dan kanan. Serangan itu sempurna, membidik titik vital di ginjal dan tulang belakang.
Larasmaya menjerit, "Awas di belakangmu!"
Aksara tidak menoleh. Ia bahkan tidak repot-repot menghindar. Ia membiarkan pedang-pedang itu menghantam tubuhnya.
TRANG! KRAK!
Bunyi logam beradu dengan logam terdengar nyaring, diikuti oleh bunyi patahan yang menyakitkan.
Pedang-pedang itu hancur.
Bilah baja yang ditempa oleh ahli senjata sekte itu patah menjadi kepingan-kepingan kecil saat beradu dengan kulit punggung Aksara yang telah ditempa oleh Sutra Darah Langit.
Kedua pengawal itu terbelalak horor, menatap pedang mereka yang kini buntung. Tangan mereka gemetar hebat akibat getaran benturan.
"Bagaimana mungkin?"
Aksara menoleh perlahan, menatap kedua pengawal itu lewat bahunya. Aura merah keemasan mulai merembes keluar dari pori-porinya, membentuk bayangan samar seekor naga yang sedang membuka rahangnya di belakang punggungnya.
"Enyahlah."
Satu kata yang disertai ledakan aura Dominasi Jiwa Naga.
BLAAR!
Gelombang kejut tak kasat mata menghantam kedua pengawal itu. Tulang rusuk mereka retak seketika. Mereka muntah darah segar, tubuh mereka terlempar puluhan meter ke belakang seperti daun kering yang diterjang badai, menabrak pepohonan yang terbakar dan tak bangkit lagi.
Kini, hanya tinggal Aksara dan Darius.
Darius, yang menggantung di tangan Aksara, menyaksikan kedua pengawal terbaiknya dikalahkan hanya dengan satu bentakan. Urin hangat membasahi celana sutra putihnya. Keangkuhannya runtuh, digantikan oleh ketakutan primitif.
Aksara mendekatkan wajah topengnya ke wajah Darius. Jarak mereka begitu dekat hingga Darius bisa mencium bau darah dan belerang yang menguar dari tubuh sosok itu.
"Kau bilang aku harus jadi anjingmu?" bisik Aksara.
Tangannya perlahan mengeratkan cengkeraman. Darius meronta liar, kakinya menendang-nendang udara kosong, matanya memutar ke atas mencari oksigen.
Aksara menikmati ini. Ia menikmati rasa takut yang memancar dari tubuh Darius. Ini adalah rasa takut yang sama yang dirasakan Aksara saat ia tergantung di tebing tiga bulan lalu.
"Kau bilang yang lemah harus dimakan yang kuat?" bisik Aksara lagi. "Lihat dirimu sekarang, Tuan Muda. Kau lemah. Kau menyedihkan. Kau hanyalah sepotong daging yang sedang menunggu untuk diremukkan."
Tulang leher Darius mulai berbunyi krek pelan. Pembuluh darah di matanya pecah. Kematian sudah melambaikan tangan padanya.
"JANGAN!"
Sebuah teriakan putus asa menghentikan gerakan jari Aksara.
Larasmaya berlari tertatih-tatih mendekat, wajahnya basah oleh air mata. Ia merentangkan tangannya, memohon.
"Jangan bunuh dia! Ku mohon berhenti!"
Aksara membeku. Hatinya yang membara tersiram air dingin. Ia menoleh menatap Larasmaya. "Kau membela dia? Setelah dia menjadikanmu umpan? Setelah dia menghinamu?"
Suara Aksara, meski terdistorsi topeng, terdengar penuh kecewa.
Larasmaya menggeleng kuat-kuat. "Tidak! Aku membencinya! Aku ingin dia mati!" isaknya. "Tapi bukan begini caranya! Jika kau membunuhnya di sini ... Ayahnya, Tetua Agung, akan memburumu sampai ke ujung dunia. Seluruh Sekte Wana Jagad akan dikerahkan untuk memusnahkanmu!"
Larasmaya melangkah lebih dekat, matanya menatap lurus ke lubang mata topeng Aksara, seolah mencoba mencari jiwa di baliknya.
"Kau menyelamatkanku. Kau bukan monster pembunuh. Jangan biarkan darah kotornya menodai tanganmu lebih jauh. Tolong ... jangan hancurkan hidupmu hanya demi sampah seperti dia."
Tangan Aksara gemetar. Naluri naganya berteriak: BUNUH! Hancurkan ancaman! Tapi suara Larasmaya menarik sisi manusianya kembali ke permukaan.
Gadis itu benar. Membunuh Darius di sini hanya akan membuat Aksara menjadi buronan seumur hidup. Ia belum cukup kuat untuk melawan seluruh sekte sendirian. Rencananya untuk menghancurkan sekte dari dalam akan gagal jika ia bertindak gegabah sekarang.
Aksara mendengus kasar.
Ia menarik Darius mendekat sekali lagi, menatap tepat ke dalam mata pemuda itu yang sudah setengah sadar.
"Dengar baik-baik, Darius," bisik Aksara dengan suara aslinya, suara yang dulu sering didengar Darius saat merundung pelayan di gudang.
Mata Darius membelalak lebar. Pengenalan itu, kilasan ingatan itu.
"Nyawamu kuampuni hari ini. Bukan karena belas kasihan. Tapi karena aku ingin kau hidup dalam ketakutan."
Aksara menyeringai di balik topengnya.
"Setiap kali kau tidur, setiap kali kau melihat bayangan, setiap kali kau merasa aman ... ingatlah cengkeraman ini. Ingatlah bahwa aku ada di luar sana. Dan suatu hari nanti ... saat kau berada di puncak kejayaanmu ... aku akan datang untuk menyeretmu jatuh ke neraka."
Dengan gerakan kasar, Aksara melempar tubuh Darius ke tanah berlumpur.
BRUK!
Darius terbatuk-batuk hebat, menghirup udara dengan rakus sambil memegangi lehernya yang memar ungu. Ia merangkak mundur dengan panik, tidak berani menatap sosok bertopeng itu lagi.
Aksara berbalik, menatap Larasmaya sejenak.
Ada seribu kata yang ingin ia ucapkan.
Aku kembali. Aku Aksara. Aku merindukanmu.
Tapi ia menelannya kembali. Belum saatnya. Larasmaya akan berada dalam bahaya jika diketahui berhubungan dengan "monster" ini.
Aksara merogoh saku celananya yang robek, mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, botol obat yang sama yang diberikan Larasmaya padanya di pagi hari sebelum ekspedisi. Botol itu retak, tapi masih utuh.
Ia melempar botol itu pelan ke arah Larasmaya.
Gadis itu menangkapnya dengan refleks. Matanya membelalak saat mengenali botol itu. Botol obat luka yang ia berikan pada Aksara.
"Kau ..." bibir Larasmaya bergetar. "Aksara?"
Aksara tidak menjawab. Ia hanya menatap Larasmaya untuk terakhir kalinya, merekam wajah itu di dalam memorinya sebagai bahan bakar untuk latihan neraka berikutnya.
"Jaga dirimu, Nona Alkimis," ucapnya pelan.
Lalu, dengan satu hentakan kaki yang kuat, Aksara melesat ke udara.
WUSH!
Ia melompat setinggi puluhan meter, mendarat di dahan pohon yang terbakar, lalu melesat lagi, menghilang ke dalam kabut asap dan uap beracun hutan yang pekat.
Di bawah sana, Larasmaya jatuh terduduk, memeluk botol obat itu erat-erat di dadanya, menangis tersedu-sedu. Tangisan lega, tangisan rindu, dan tangisan pilu.
Sementara itu, Darius masih terbaring di lumpur, tubuhnya gemetar tak terkendali. Rasa sakit di lehernya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa dingin yang merambati tulang punggungnya.
Suara bisikan terakhir itu ...
Darius tahu suara itu. Ia sangat mengenalnya. Itu adalah suara pelayan yang ia tendang setiap pagi. Suara pelayan yang ia lempar ke beruang.
"Tidak mungkin ..." desis Darius.
Dalam kegelapan tidur panjangnya, Aksara tidak bermimpi. Ia mengingat.Kesadarannya ditarik masuk ke dalam aliran darah Jantung Raja Naga yang baru saja ia tanam di dadanya. Darah itu bukan sekadar cairan kehidupan; itu adalah perpustakaan memori yang telah ada sejak dunia ini terbentuk.Aksara melihat zaman dahulu kala.Zaman di mana langit tidak berwarna biru, melainkan ungu keemasan. Zaman di mana manusia dan naga hidup berdampingan, bukan sebagai musuh, melainkan sebagai saudara.Manusia menunggangi naga untuk membelah awan. Naga mengajarkan manusia cara menyerap Qi alam semesta. Peradaban mereka begitu maju, begitu kuat, hingga kultivator pada masa itu tidak perlu memakan pil atau membunuh sesama untuk naik tingkat. Mereka hidup dalam harmoni.Kekuatan gabungan antara Kebijaksanaan Manusia dan Fisik Naga menciptakan entitas yang nyaris sempurna.Lalu, Aksara melihat Mereka.Langit terbelah. Bukan oleh petir, tap
Lorong menuju perut bumi itu ternyata tidak gelap gulita seperti yang Aksara bayangkan.Dinding-dindingnya terbuat dari tulang rusuk yang membatu, memancarkan cahaya merah temaram yang berdenyut seirama dengan suara DUM yang menggema dari kedalaman. Udara di sini panas, kering, dan berbau belerang purba.Setiap langkah yang diambil Aksara terasa semakin berat. Bukan karena gravitasi bumi, melainkan karena Tekanan Spiritual yang dipancarkan oleh sisa-sisa keberadaan Raja Naga di bawah sana. Tekanan itu menolak kehadiran makhluk hidup lain. Bagi manusia biasa, tekanan ini sudah cukup untuk menghancurkan pembuluh darah otak dalam radius satu mil.Aksara terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya yang setengah bersisik. Lututnya gemetar, seolah memikul gunung di pundaknya."Kau merasakannya?" suara Naga Wiratama terdengar bergetar, penuh rasa hormat dan duka. "Ini adalah aura Baginda Raja Antaboga. Bahkan dalam kematiannya, be
Angin laut yang berhembus di Nusa Kencana membawa bau alkohol, keringat, dan darah yang mengering.Pulau itu tidak memiliki pemerintahan. Tidak ada bendera sekte yang berkibar. Yang ada hanyalah ribuan bangunan kayu yang ditumpuk sembarangan di atas tebing karang, saling sambung-menyambung dengan jembatan gantung yang rapuh. Kapal-kapal bajak laut, pedagang budak, dan buronan berlabuh berdesakan di pelabuhan yang kumuh.Di sinilah sampah dunia berkumpul. Di sinilah mereka yang dibuang oleh Aliansi menemukan rumah.Siang itu, kesibukan di pelabuhan terhenti sejenak.Sebuah perahu kecil merapat di dermaga utama. Tidak ada layar, tidak ada dayung. Rakit itu bergerak membelah ombak seolah ditarik oleh hantu air.Tiga sosok melangkah turun ke dermaga kayu yang berderit.Seorang pemuda dengan jubah hitam longgar yang menutupi satu lengannya. Wajahnya tertutup topeng kayu polos.Seorang wanita cantik dengan kulit pucat dan tato bunga hitam d
Kesadaran Aksara kembali dengan perlahan dari dasar laut yang gelap dan sunyi. Tidak tergesa, tidak menyakitkan, hanya pelan, seolah dunia memberinya waktu untuk bernapas kembali.Hal pertama yang menyentuhnya bukanlah suara, melainkan bau.Bukan bau darah. Bukan asap mesiu. Bukan racun yang menusuk paru-paru. Yang ada hanyalah garam, lumut basah, dan aroma herbal asing yang lembut dan menenangkan, hampir seperti janji bahwa ia masih hidup.Perlahan, Aksara membuka matanya.Cahaya biru yang lembut menyambut pandangannya. Ia tak lagi tergeletak di pantai berpasir kasar tempat kesadarannya terputus. Ia berada di dalam sebuah gua luas, sunyi dan megah.Dinding-dinding gua dipenuhi kristal biru berpendar, memancarkan cahaya alami yang dingin namun menenangkan. Kilauannya menari di permukaan batu, memantul ke langit-langit yang menjulang tinggi. Dari sana, tetes-tetes air jatuh perlahan, menciptakan irama halus saat menyentuh kolam-kolam kecil di lantai gua, seperti napas dunia yang masih
Jeritan Patriark Matahari yang kehilangan lengannya bukan sekadar pekik kesakitan, itu adalah lonceng kematian bagi moral Pasukan Aliansi. Suara itu menggema, memecah keberanian, menanamkan ketakutan yang tak bisa lagi disangkal.Di dalam lambung Bahtera Nuh yang porak-poranda, darah dewa menetes ke lantai emas, mendesis seperti asam, membakar logam suci hingga menghitam. Setiap tetesnya adalah penghinaan terhadap keabadian.“BUNUH DIA! JANGAN BIARKAN DIA HIDUP!” raung Patriark Matahari, suaranya pecah dan liar. Wajahnya pucat pasi, mata melotot gila oleh amarah dan teror yang telanjang. Tangan kanannya mencengkeram tunggul bahu kirinya yang buntung, memaksa api suci menutup luka, berjuang menghentikan pendarahan energi dewata, namun bahkan cahaya Matahari pun tampak ragu di hadapan kehancuran yang baru saja lahir.Raja Pedang dan Ibu Suri Seribu Bunga tidak perlu disuruh dua kali. Mereka menyadari satu fakta mengerikan: Jika monster hitam di hadapan
Langit di atas Lautan Kekacauan terbelah menjadi dua warna. Emas Menyilaukan dari Meriam Utama Bahtera Nuh, dan Hitam Kelam dari aura Aksara dan Larasmaya.BOOOOOOM!Benturan itu tidak menghasilkan suara pada detik pertama. Saking dahsyatnya energi yang bertabrakan, suara pun terhisap hilang. Cahaya putih menelan segalanya, menguapkan air laut di bawahnya hingga radius lima mil menjadi kabut panas.Aksara meraung di tengah cahaya itu. Tangan Kiri Asura dan Cakar Naga Kanan-nya menahan pilar cahaya penghancur itu. Kulitnya melepuh, sisik-sisiknya retak dan rontok, namun regenerasi Sutra Darah Langit memaksanya tumbuh kembali dalam siklus penyiksaan abadi."AKU AKAN MEMAKANMU!" batin Aksara menjerit.Ia membuka mulutnya, mencoba menghisap energi meriam itu menggunakan teknik Pemakan Segala. Namun, energi ini terlalu besar. Terlalu murni. Seperti mencoba meminum air terjun dengan gelas."Aksara! Tubuhmu tidak







