Share

Bab 6 Badai di Balik Kota

Author: Caesar Azka
last update Last Updated: 2025-03-01 04:47:37

Malam menelan Jakarta dengan gemerlap lampu yang berkilauan di atas aspal basah. Di sebuah rooftop gedung tinggi, angin berembus kencang, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Arka berdiri di tepi pagar kaca, memandang lanskap kota yang seakan tak pernah tidur. Dari atas sini, ia bisa melihat gedung Wijaya Group menjulang angkuh, sebuah simbol kekuasaan yang tak tergoyahkan.

Di belakangnya, Raka datang dengan langkah ringan, tangannya memasukkan sesuatu ke dalam saku jaket. "Kau yakin mau melakukan ini?" tanyanya tanpa basa-basi.

Arka menoleh sedikit, matanya menyipit. "Aku tidak punya pilihan lain."

Raka terkekeh. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain."

Arka menghela napas, lalu berjalan menuju tangga darurat. "Ayo. Kita punya janji yang tidak boleh kita lewatkan."

Jebakan di Lantai 25

Kantor Wijaya Group dipenuhi aroma kekuasaan. Setiap sudutnya mencerminkan kejayaan yang tak tertandingi. Lantai 25, tempat pertemuan mereka dengan Wisnu Wijaya, terasa lebih seperti ruang interogasi daripada kantor bisnis.

Dua pria berbadan tegap berdiri di depan pintu utama, menghalangi jalan mereka. Salah satunya menatap Raka dengan penuh cemooh. "Siapa dia?"

Arka mendahului Raka sebelum pria itu berkata lebih jauh. "Dia datang bersamaku."

Namun, sebelum pria itu sempat membantah, Wisnu muncul dari dalam ruangan. "Hanya kau yang aku undang, Arka," katanya dingin.

Raka tertawa kecil. "Oh, jadi aku tidak cukup penting?"

Wisnu menatapnya, matanya seperti mata elang yang sedang menilai mangsanya. "Kau hanya pengganggu."

Arka tidak bergeming. "Jika kau ingin bantuanku, Raka ikut."

Hening sejenak. Kemudian, Wisnu akhirnya menghela napas dan memberi isyarat kepada penjaga untuk membiarkan mereka masuk.

Di dalam ruangan yang luas dan berkelas itu, Wisnu duduk di balik meja besar dengan layar komputer yang menampilkan grafik saham yang terus naik dan turun. Ia menatap Arka dengan ekspresi penuh perhitungan.

"Aku ingin kau menyelidiki siapa yang mengkhianati keluarga ini," katanya tanpa basa-basi.

Raka menyeringai. "Dan jika pengkhianatnya ternyata keluargamu sendiri?"

Wisnu menatapnya dengan tajam. "Itu bukan urusanmu."

Arka memiringkan kepalanya sedikit. "Aku butuh bukti. Jika aku menemukan sesuatu, aku akan memutuskan sendiri apa yang harus kulakukan."

Wisnu menatap Arka lama, lalu mengangguk. "Baik. Tapi jangan kecewakan aku."

Saat mereka berjalan keluar dari gedung itu, Raka mendengus pelan. "Kau sadar ini jebakan, kan?"

Arka mengangguk. "Tentu saja."

Jalanan yang Berbicara

Malam itu, di sebuah kamar hotel sederhana, Raka mengetik cepat di laptopnya. Layar menampilkan dokumen-dokumen yang sulit didapat, hasil kerja jaringan bawah tanahnya.

"Aku menemukan seseorang yang menarik," katanya sambil membalikkan layar ke arah Arka.

Di layar, terpampang foto seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal.

"Haryo Setiawan," kata Raka. "Dulu kepala keuangan Tirta Nusantara. Saat perusahaan itu bangkrut, dia justru mendapat pekerjaan di salah satu mitra Wijaya Group."

Arka menatap layar itu lama. "Kita harus bicara dengannya."

Raka mengangguk. "Dia sering datang ke sebuah bar mewah. Aku sudah mengatur agar kita bisa masuk."

Pertemuan yang Gagal

Bar itu penuh dengan orang-orang berjas mahal, minuman berharga jutaan, dan percakapan yang lebih berbahaya daripada yang terlihat. Raka dan Arka menemukan Haryo duduk di sudut, menyesap minumannya dengan wajah penuh beban.

"Kita perlu bicara," kata Arka saat mereka mendekat.

Haryo menatap mereka tajam. "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan."

Raka tersenyum tipis. "Kami hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Tirta Nusantara."

Haryo menghela napas panjang, menatap sekeliling dengan gelisah. "Aku tidak bisa bicara di sini."

Arka mencondongkan tubuh. "Kalau begitu, beritahu kami di tempat lain."

Setelah ragu sejenak, Haryo akhirnya menyerahkan secarik kertas. "Temui aku besok malam di tempat ini."

Namun, sebelum Arka sempat menyimpannya, suara tembakan meledak di udara.

Kaca di belakang mereka pecah berhamburan. Haryo terkejut dan refleks berusaha berdiri, tetapi sebuah peluru menghantam dadanya. Darah merembes di jasnya saat ia terjatuh ke lantai.

Raka langsung menarik Arka ke bawah meja, sementara pengunjung lain berhamburan panik.

"Brengsek!" geram Raka. "Kita dijebak!"

Arka menatap tubuh Haryo yang tergeletak tak bernyawa.

Di sudut ruangan, seorang pria berjas hitam memasukkan pistolnya ke dalam saku dan berjalan keluar sebelum siapa pun menyadari kehadirannya.

Raka menatap Arka. "Apa pun yang kita cari, ini jauh lebih besar dari yang kita bayangkan."

Arka menggertakkan giginya. Ia tahu satu hal pasti—permainan ini baru saja berubah menjadi perang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status