Share

Bab 7 Peringatan

Penulis: Caesar Azka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-01 05:06:28

Langit Jakarta malam itu gelap pekat, hanya diterangi lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak air di jalanan yang berkilauan di bawah cahaya lampu neon. Di sebuah rooftop gedung tinggi, Arka berdiri diam, tatapannya mengarah ke lanskap kota yang tak pernah tidur. Suara klakson samar terdengar dari kejauhan, tetapi pikirannya terpusat pada satu hal—kebenaran di balik kehancuran Tirta Nusantara.

Di belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat. Raka datang dengan gaya khasnya—santai, tangan dimasukkan ke dalam saku, namun matanya tajam seperti biasanya.

"Kau yakin kita masih ingin melanjutkan ini?" tanya Raka tanpa basa-basi.

Arka tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Sejak awal, aku tidak punya pilihan lain."

Raka tertawa kecil. "Selalu ada pilihan, Arka. Hanya saja, beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain."

Arka menoleh padanya. "Dan kita sudah memilih yang paling berbahaya."

Senyum di wajah Raka menghilang. "Baiklah. Ayo kita cari tahu seberapa dalam kita bisa menyelam sebelum tenggelam."

Malam yang Tidak Tenang

Mereka meninggalkan bar mewah itu dengan langkah cepat. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, membawa serta ketegangan yang menggantung di udara. Kematian Haryo Setiawan di depan mata mereka bukan sekadar peringatan—itu adalah deklarasi perang.

Saat mereka berjalan menuju parkiran, perasaan tidak nyaman mulai merayapi Arka. "Kau merasa diawasi?" bisiknya.

Raka mengangguk, tanpa menoleh ke belakang. "Sejak kita keluar dari bar."

Mereka tiba di mobil dan segera masuk. Arka menyalakan mesin, sementara Raka melihat kaca spion. Ia memperhatikan sebuah mobil hitam yang diparkir di seberang jalan. Tidak ada plat nomor di bagian depan.

"Kita punya ekor," kata Raka santai, meskipun matanya tetap waspada.

Arka melirik spion tengah. Mobil hitam itu tampak biasa, tapi kehadirannya di tempat dan waktu yang tepat membuatnya mencurigakan.

"Siapa mereka?" gumam Arka.

"Cara terbaik untuk tahu adalah dengan bermain sedikit," Raka menyeringai.

Ia menekan pedal gas, membawa mobil melaju kencang di jalanan kota yang mulai lengang. Mobil hitam itu mengikuti mereka, tetap menjaga jarak.

Arka menghela napas. "Mereka bukan amatir."

"Bagus," Raka tersenyum tipis. "Itu berarti kita bisa bersenang-senang sedikit."

Kejaran di Jalanan Kota

Dengan satu gerakan cepat, Raka membelokkan mobil ke jalan kecil di sisi kiri, menghindari lampu-lampu utama. Mobil hitam itu tetap mengekor tanpa ragu.

"Hebat juga mereka," gumam Raka. "Biasanya orang-orang yang hanya ingin mengintimidasi akan menyerah di titik ini."

"Kita buat mereka keluar dari bayangan," kata Arka sambil memperhitungkan langkah selanjutnya.

Tanpa peringatan, Raka menginjak rem dengan keras. Mobil mereka berhenti mendadak di tengah jalan, membuat mobil hitam di belakang mereka juga terpaksa berhenti beberapa meter dari mereka.

Dalam satu gerakan cepat, Arka dan Raka keluar dari mobil dan berjalan ke arah kendaraan misterius itu.

"Jika mereka ingin bicara, kita beri mereka kesempatan," kata Arka dingin.

Pintu mobil hitam terbuka, dan dua pria berbadan tegap keluar. Wajah mereka dingin, ekspresi mereka nyaris tanpa emosi.

Salah satu dari mereka maju selangkah. "Kalian terlalu banyak bertanya tentang hal yang tidak seharusnya kalian ketahui."

Arka menyilangkan tangan. "Itu berarti kami ada di jalur yang benar."

Pria itu tidak bereaksi terhadap provokasi Arka. "Aku sarankan kalian berhenti sekarang sebelum sesuatu yang buruk terjadi."

Raka tertawa kecil. "Aku sudah sering mendengar ancaman seperti itu. Tapi tahukah kau apa yang menarik?"

Pria itu tetap diam.

"Orang-orang yang mengancam seperti ini biasanya lebih takut daripada yang mereka kira," lanjut Raka.

Ketegangan meningkat. Lalu, tanpa peringatan, pria yang berdiri di belakangnya meluncur ke depan, mencoba menyerang Arka.

Namun, Arka lebih cepat. Ia menghindari pukulan itu dengan gesit, lalu melancarkan serangan balik, membuat pria itu mundur beberapa langkah.

Raka, di sisi lain, langsung bertindak. Ia menangkap pergelangan tangan pria pertama yang mencoba menarik sesuatu dari jaketnya—senjata. Dengan gerakan cepat, Raka memutar tangan pria itu dan menjatuhkannya ke tanah dengan satu hentakan keras.

Pria yang diserang Arka menyadari bahwa mereka bukan lawan yang mudah. Ia mundur selangkah, lalu memberi tanda kepada rekannya yang terjatuh.

"Kita akan bertemu lagi," katanya sebelum berlari ke arah mobil mereka.

Arka dan Raka membiarkan mereka pergi. Tidak ada gunanya mengejar.

Saat mobil hitam itu menghilang, Raka menghela napas. "Yah, itu lebih menyenangkan dari yang kuduga."

Arka menatapnya tajam. "Ini bukan permainan, Raka. Ini bisa menjadi lebih serius dari yang kita kira."

Raka mengangguk. "Dan itu berarti kita benar-benar menyentuh sesuatu yang besar."

Peringatan di Rumah Tua

Keesokan harinya, mereka pergi ke alamat yang diberikan Haryo. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, jauh dari pusat keramaian.

Begitu tiba, Arka langsung merasakan ada yang tidak beres. Pintu rumah sedikit terbuka.

Arka memberi isyarat kepada Raka untuk berhati-hati sebelum mereka masuk.

Di dalam, pemandangan yang menyambut mereka membuat napas Arka tertahan.

Haryo tergeletak di lantai. Darah menggenang di sekitar kepalanya. Ruangan itu berantakan, seolah terjadi perlawanan.

Raka segera berlutut dan memeriksa nadinya. "Dia masih hidup, tapi tidak sadarkan diri."

Arka menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. "Seseorang tidak ingin dia bicara dengan kita."

Saat mereka bersiap membawa Haryo keluar, sesuatu di lantai menarik perhatian Arka—sebuah ponsel.

Ia mengambilnya dan menyalakannya.

Di layar, sebuah pesan terakhir terpampang.

"Mereka tahu aku akan bertemu kalian. Hati-hati. Orang dalam mereka lebih dekat dari yang kalian kira."

Arka menatap layar itu lama, sebelum akhirnya bertukar pandang dengan Raka.

Dada mereka terasa semakin berat.

Mereka sudah melangkah terlalu jauh.

Dan sekarang, tidak ada jalan untuk mundur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jeff Jeff
dinilai 1/100
goodnovel comment avatar
Jeff Jeff
cerita tanpa tujuan membuat pembaca pening
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status