Langit Jakarta malam itu dipenuhi warna jingga yang perlahan ditelan gelap. Di jalanan yang padat, suara klakson bertalu-talu, dan aroma asap kendaraan bercampur dengan bau kopi dari pedagang kaki lima. Arka duduk di sebuah warung kopi kecil, matanya menatap kosong pada cangkir di depannya. Di seberangnya, Raka bersandar santai, memainkan sendok di jemarinya.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan perusahaan tempatmu bekerja?” tanya Arka, suaranya datar namun tajam. Raka menghela napas sebelum menjawab, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Perusahaan itu bernama Tirta Nusantara. Kami bergerak di bidang distribusi air minum dan bekerja sama dengan keluarga Wijaya. Semuanya berjalan baik, sampai tiba-tiba, keadaan berubah.” “Berubah bagaimana?” Arka mengangkat alis. Raka mengetuk meja dengan jemarinya. “Harga bahan baku naik drastis, regulasi baru muncul entah dari mana—dan anehnya, semua hanya berdampak pada kami. Dalam beberapa bulan, perusahaan bangkrut.” Arka menyipitkan mata. “Dan kau mencurigai keluarga Wijaya?” Raka menyeringai tipis, mengangkat bahu. “Tak ada bukti, hanya banyak kebetulan aneh. Orang-orang di dalam perusahaan mulai menghilang. Ada yang mendadak pindah ke luar negeri, ada yang mengundurkan diri tanpa alasan jelas. Semakin aku menggali, semakin terasa bahwa ini bukan kebetulan.” Arka mengangguk pelan, mencerna informasi itu. Ia mengenal keluarga Wijaya—terlalu baik bahkan. Dan mereka bukan tipe orang yang membiarkan sesuatu terjadi tanpa alasan. Raka menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Tapi kau tahu yang paling ironis?” “Apa?” “Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Aku hanya mantan karyawan kecil yang bahkan tak diingat namanya.” Raka menyesap kopinya. “Tapi sekarang, aku ingin memastikan mereka tidak melupakanku.” Arka menatapnya dalam diam. Ia tahu perasaan itu—rasa diremehkan, diabaikan. “Kau ingin membuktikan sesuatu?” tanyanya akhirnya. Raka tersenyum tipis. “Mungkin.” Kantor Wijaya Group Pagi itu, gedung megah Wijaya Group menjulang di hadapan mereka, mencerminkan keangkuhan dan kekuasaan. Langit Jakarta yang cerah hanya mempertegas kemegahan bangunan itu, seakan mengejek siapa pun yang merasa kecil di hadapannya. Arka dan Raka berjalan memasuki lobi yang dipenuhi karyawan bersetelan rapi. Seorang resepsionis wanita menyambut mereka dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Arka menatapnya lurus. “Saya ada janji dengan Wisnu Wijaya.” Wanita itu mengecek sistemnya sebelum mengangguk. “Silakan naik ke lantai 25.” Lift membawa mereka naik dalam keheningan. Namun, begitu pintu terbuka, dua pria berbadan tegap sudah menunggu. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan rahang keras, menyipitkan mata ke arah Raka. “Siapa dia?” Raka menyelipkan tangannya ke dalam saku dan tersenyum santai. “Nama saya Raka. Saya partner Arka.” Pria itu menatapnya dengan ekspresi meremehkan. “Kami hanya mengizinkan Arka masuk.” Raka terkekeh. “Oh? Jadi aku tidak cukup penting?” Pria itu tidak menjawab, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Saat itulah Wisnu muncul dari dalam ruangan. Matanya langsung tertuju pada Raka sebelum kembali ke Arka. “Aku hanya ingin bicara denganmu.” Raka menyeringai. “Ah, aku mengerti. Orang-orang seperti aku selalu dianggap remeh.” Wisnu tidak bereaksi, tetapi ada kilatan ketidaksukaan di matanya. “Ini urusan keluarga, bukan urusan orang luar.” Arka menatapnya tajam. “Kalau kau ingin aku bekerja sama, kau juga harus menghormati pilihanku.” Wisnu terdiam, lalu menghela napas. “Baiklah. Tapi dia harus tahu batasannya.” Mereka melangkah masuk ke ruangan luas yang didominasi kaca dan furnitur mewah. Wisnu duduk di belakang meja besar, sementara Arka dan Raka menempati sofa di seberangnya. “Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanya Arka tanpa basa-basi. Wisnu bersandar. “Aku ingin kau kembali ke keluarga ini. Situasi sedang sulit, dan aku yakin kau bisa membantu.” Arka tersenyum tipis. “Membantu bagaimana?” “Kami kehilangan beberapa aset penting karena kebocoran informasi,” jelas Wisnu. “Ada seseorang yang berusaha menghancurkan keluarga Wijaya dari dalam.” Raka menyela, suaranya penuh sindiran. “Mungkin karena keluarga ini sudah terlalu banyak membuat musuh?” Wisnu menatapnya tajam. “Kau memang suka bicara banyak, ya?” Raka tetap tersenyum santai. “Aku hanya mengatakan fakta.” Wisnu mengalihkan pandangannya kembali ke Arka. “Aku ingin kau menyelidiki siapa yang berada di balik semua ini.” Arka menatapnya lama. “Jadi kau ingin aku menjadi alatmu?” Wisnu menggeleng. “Aku ingin kita bekerja sama.” Arka mempertimbangkan sejenak. Jika ia ingin menemukan jawaban, ini mungkin satu-satunya cara. Akhirnya, ia mengangguk. “Baik. Tapi aku punya syarat.” Wisnu mengangkat alis. “Apa itu?” Arka menoleh ke Raka. “Dia juga harus dilibatkan.” Wisnu mendengus. “Kenapa aku harus melibatkan seseorang yang tidak ada hubungannya dengan keluarga ini?” Arka menatap kakaknya dengan tajam. “Karena dia punya informasi yang mungkin berguna. Dan karena aku mempercayainya.” Wisnu menatap Arka cukup lama, lalu akhirnya mengangguk dengan enggan. “Baik. Tapi jangan kecewakan aku.” Raka menyeringai. “Jangan khawatir. Aku mungkin diremehkan, tapi aku tidak pernah gagal.” Saat mereka meninggalkan ruangan itu, Raka menoleh ke Arka dengan senyum kecil. “Kau percaya padaku?” Arka menghela napas. “Aku percaya kau punya alasan sendiri untuk ada di sini. Itu cukup untuk saat ini.” Raka tertawa kecil. “Itu sudah lebih dari cukup.” Namun, tanpa mereka sadari, di dalam kantor itu, seseorang telah mengamati mereka sejak awal. Di sudut ruangan, sebuah layar monitor menampilkan rekaman mereka. Seorang pria dengan setelan hitam berdiri diam, menatap layar dengan ekspresi dingin. Tangannya mengetuk meja, lalu ia mengangkat telepon. “Sudah dipastikan. Mereka mulai bergerak,” suaranya rendah dan berbahaya. “Kita harus bertindak sebelum mereka melangkah lebih jauh.” Lalu, tanpa kata lagi, pria itu menutup telepon. Di luar gedung, matahari masih bersinar cerah, tetapi bayangan yang mengintai semakin panjang.Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…