"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka."
Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan berdiri, mendekat ke kamera. “Tapi pintu itu lapar. Dan kali ini… mereka minta lebih dari sekadar nama.” “Apa maksudmu?” “Darah, Naira. Pintu itu butuh darah. Tidak cukup dengan goresan kecil di tanganmu. Mereka butuh upeti. Nyata. Segar.” Jantung Naira terasa tenggelam. “Kalau aku tidak kasih?” Revan menyeringai. “Kalau kamu tak beri… mereka mengambil sendiri. Dari orang-orangmu. Atau dari tubuhmu. Kau mau coba?” Tiba-tiba, cermin di dinding kiri bergetar. Bayangan Kirana muncul. Bukan Kirana yang ia kenal. Wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya sobek seperti dijahit. “Na… aku haus…” bisiknya. Naira menjerit, menjatuhkan keris. Revan tertawa kecil. “Kau lihat? Nama hanya mengikat mereka padamu. Tapi darah… memberi mereka makan. Kau yang putuskan bagaimana mereka makan: dari pengorbananmu… atau dari orang yang kau sayangi.” Naira menatap tangannya. Luka lama di telapak kiri terbuka sendiri, mengalirkan darah segar. Simbol akar di bawah tulang selangkanya merambat ke pundak, lebih tebal, lebih merah. “Ini… menghancurkanku,” gumamnya. “Tidak.” Revan mendekat ke layar. “Ini membentukmu.” Ibunya menatap Revan di layar. “Kalau dia beri darah, apa mereka berhenti?” “Untuk sementara,” jawab Revan santai. “Tapi semakin kau beri, semakin mereka ingin. Itulah mata uang gerbang. Sekali kamu bayar… kamu tidak bisa berhenti.” Naira mengambil keris, memandang bilahnya. Ujungnya seperti berdenyut, meminta. “Kalau aku harus bayar,” bisiknya, “aku yang tentukan caranya.” Revan tersenyum lebar. “Akhirnya. Kau mulai bicara seperti penjaga.” Naira berdiri. Tangannya dingin, tapi keringat membasahi tengkuk. “Kalau mereka mau darah… mereka ambil dariku. Bukan dari yang lain.” Ibunya melangkah mendekat, menahan lengannya. “Na, darah itu tidak sekadar memberi makan. Setiap tetesnya mengikatmu lebih kuat. Kamu akan sulit kembali.” “Aku tidak pernah kembali sejak masuk ke sini.” Revan tertawa kecil di layar. “Jawaban yang bagus. Tapi jangan lupa, Naira… kamu tidak bisa bermain aman. Sedikit darah hanya menunda. Kalau kau mau pintu ini tetap tenang, kau harus memberi lebih.” “Berapa banyak?” suaranya nyaris tak keluar. Revan mengangkat bahu. “Sampai mereka berhenti mengetuk.” Cermin bergetar. Retakan di permukaannya membentuk pola seperti mulut yang terbuka lebar. Dari celah, suara-suara itu datang lagi—lebih jelas, lebih rakus: “Darah… darah… darah…” Keris di tangan Naira bergetar, seolah memberi tahu: waktunya. Ibunya menggenggam wajahnya. “Kalau kamu lakukan ini, lakukan dengan sadar. Jangan biarkan mereka ambil semua.” Naira mengangguk, walau tubuhnya gemetar. Dia melangkah ke tengah ruangan. Simbol akar di tubuhnya berpendar merah, seolah mengerti apa yang akan dia lakukan. Dia mengangkat keris. Ujungnya diarahkan ke lengan. “Untuk keluargaku… untuk Linda… untuk siapa pun yang masih hidup karena aku.” Bilah itu menembus kulit. Sakitnya membuat dunia berputar. Darah mengalir deras, menetes ke lantai marmer. Tapi kali ini, lantai menyerap darah itu, seperti spons haus. Cahaya merah menjalar dari titik tetesan, membentuk lingkaran rumit. Penthouse berubah. Dindingnya seperti bernafas, udara mengental. Dari balik cermin, wajah-wajah itu mendekat, tapi kali ini… mereka tidak menggeram. Mereka seperti mencium aroma sesuatu yang mereka tunggu. “Manis…” suara itu terdengar di kepalanya. “Hangat… cukup untuk malam ini.” Naira terhuyung, hampir jatuh. Tapi lingkaran merah di lantai mengangkatnya, menopangnya. Luka di lengannya berhenti berdarah—tertutup sendiri, meninggalkan bekas seperti ukiran baru. Simbol di tubuhnya berubah bentuk. Dari akar menjadi sesuatu seperti peta bercabang ke seluruh dada. Revan bertepuk tangan pelan dari layar. “Indah. Kau baru saja memberi mereka lebih dari tubuhmu. Kau memberi mereka akses.” “Akses ke mana?” Naira menatapnya, nafasnya berat. “Ke dalam. Ke dirimu. Dan sebentar lagi… ke dunia luar.” Ibunya menoleh ke layar. “Berapa lama sampai mereka puas?” Revan tersenyum samar. “Sampai Naira tidak bisa membedakan mana dirinya, mana mereka.” Naira terduduk di lantai. Tubuhnya lemas, tapi pikirannya terasa aneh—terlalu jernih. Dia bisa mendengar suara di luar dinding. Bisa merasakan sesuatu merayap di bawah kulitnya. “Mereka ada di dalamku,” bisiknya. Ibunya memeluk bahunya. “Kamu sudah jadi bagian dari pintu itu.” Cermin berhenti bergetar. Bayangan-bayangan itu mundur. Untuk pertama kalinya sejak malam-malam sebelumnya… sunyi. Revan mendekat ke layar. “Nikmati kedamaian ini, Naira. Itu hadiah kecil… sebelum pintu berikutnya menagih.”" Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan
"Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp
"Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M
"Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto