Beranda / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 8 – Tumbal yang Hilang

Share

Bab 8 – Tumbal yang Hilang

Penulis: T.Y.LOVIRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-28 20:25:39

"Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri."

Gedoran di pintu tak berhenti.

DUK! DUK! DUK!

Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?”

Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.”

“Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!”

“Tidak cukup.”

DUK!

Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira.

TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.”

“Siapa mereka?!”

“Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.”

Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira.

Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, perempuan tua, laki-laki asing—tapi semuanya memanggil namanya.

“Naira…”

“Buka…”

“Kami haus…”

Tiba-tiba, cermin di dinding bergetar. Retak, lalu menampilkan bayangan bukan dirinya.

Linda.

Adiknya berdiri di balik cermin, mengenakan baju rumah sakit, menatap Naira dengan mata kosong.

“Linda?” suaranya pecah.

Revan mendekat ke layar. “Kau tahu apa yang harus dilakukan. Kalau kau mau mereka berhenti… berikan mereka sesuatu yang lebih dari kata-kata.”

“Apa maksudmu?”

“Darah.”

Keris di tangan Naira berdenyut. Bilahnya menyala merah, haus.

Gedoran di pintu berhenti. Sunyi.

Tapi itu bukan kelegaan. Itu penantian.

“Naira,” suara Revan dingin, “setiap pintu butuh mata uang. Dan satu-satunya mata uang yang mereka mengerti… adalah pengorbananmu sendiri.”

Cermin retak. Linda di baliknya tersenyum samar.

“Kalau kau tidak memberi,” bisik Revan, “mereka akan mengambil.”

Naira terjatuh di lantai, tubuh gemetar. Ia tahu, ini baru permulaan.

Dan pintu… belum puas.

Keheningan setelah gedoran itu lebih menakutkan daripada suara apa pun.

Naira memegang keris dengan tangan gemetar. Simbol di kulitnya berdenyut cepat, seirama dengan jantungnya.

“Kenapa berhenti?” bisiknya.

Ibunya melangkah ke depan, berdiri di antara Naira dan pintu. “Karena mereka menunggu. Mereka tahu kamu mendengar.”

“Menunggu apa?”

“Menunggu kamu sadar… bahwa ini bukan sekadar permainan Revan.”

Revan tertawa kecil dari TV. “Oh, ini lebih dari permainan. Ini ujian. Kau baru saja membuat perjanjian tanpa sadar, Naira.”

“Aku nggak pernah setuju apa pun!”

“Menandatangani kontrak 90 hari berarti menyetujui semua harga di dalamnya. Dan sekarang harga itu… menagihmu.”

Naira merangkak mendekati meja, mencari napas. “Aku nggak sanggup.”

“Kalau begitu,” suara Revan semakin dingin, “biarkan mereka mengambil yang mereka mau.”

Tiba-tiba, cermin di kamar mandi memantulkan sosok-sosok asing. Bukan Naira. Bukan ibunya. Tubuh-tubuh tinggi, kurus, kulitnya seperti arang, wajahnya samar. Mereka menempel di sisi lain cermin, mengetuk pelan.

“Naira…”

“Buka…”

“Satu tetes saja…”

Linda muncul di antara mereka. Tapi wajahnya kosong, suaranya datar. “Na… jangan biarkan mereka lapar. Tolong aku.”

Naira menutup mata. “Ini bohong. Ini cuma halusinasi!”

Revan bersuara tenang, seperti sedang mengajar. “Itu bukan halusinasi. Itu pantulan dunia yang sudah kamu buka. Semakin banyak rantai yang kau putus… semakin tipis dindingnya.”

Pintu berderak pelan. Pegangannya berputar sendiri.

Ibunya menoleh ke Naira. “Kalau kau diam… mereka masuk.”

Naira teringat kata-kata kakeknya: “Jangan tidur kalau jarum kembar. Itu bukan waktu manusia.”

Ia melihat jam digital. 03:33.

Napasnya tercekat.

Cermin retak lagi. Tangan hitam kurus keluar dari sela retakan, meraih udara.

“Tidak!” Naira berteriak.

Revan bersuara datar. “Berikan mereka harga, Naira. Atau mereka mengambil milikmu. Tubuhmu. Orang-orangmu.”

Linda di cermin menangis. “Na… tolong…”

Naira menggenggam keris sekuat tenaga. Bilahnya mendesis, merahnya makin terang.

Ia tahu apa yang diminta.

“Kalau aku kasih… mereka berhenti?” suaranya bergetar.

“Untuk malam ini,” jawab Revan. “Tapi besok, mereka akan haus lagi.”

Asap hitam dari celah pintu makin tebal, naik sampai lututnya.

Naira menatap keris. Satu-satunya kunci. Satu-satunya mata uang.

Pelan-pelan, ia goreskan bilah itu ke telapak tangannya.

Darahnya menetes ke lantai.

Simbol di tangannya menyala terang, bercabang semakin luas ke lengan.

Suara-suara berhenti. Pegangan pintu diam.

Tapi dari lantai, suara serak terdengar pelan:

“Satu pintu terpuaskan. Tapi banyak yang menunggu.”

Naira jatuh terduduk. Pandangannya kabur.

Ibunya mendekat, mengusap darah di tangannya. “Kau baru saja memberi makan gerbang.”

Revan di TV tersenyum tipis. “Selamat, Naira. Kau sudah tahu cara menenangkan mereka.”

“Ini… tidak akan berhenti, ya?”

“Tidak,” jawab Revan. “Sampai semua pintu terbuka.”

Naira masih duduk di lantai, tangan berdarah, napas pendek-pendek. Rasanya tubuhnya kosong, seperti sebagian dirinya ikut ditarik keluar bersama darah itu.

“Ini… apa yang mereka mau?” suaranya serak.

Ibunya menatapnya tanpa ekspresi. “Mereka tak butuh jawabanmu, Naira. Mereka hanya butuh pintu yang terus terbuka.”

“Berarti… aku ini apa? Penjaga? Korban?”

Revan terkekeh dari layar. “Keduanya. Dan sebentar lagi, kau akan tahu… kau juga kuncinya.”

Cermin di sekeliling ruangan mulai memantulkan hal yang berbeda. Bukan hanya Naira—tapi juga wajah-wajah asing. Wajah-wajah penuh luka, terbakar, remuk, menatapnya dari balik permukaan kaca.

Salah satunya mendesis, suaranya seperti ribuan bisikan jadi satu.

“Satu tetes sudah kau beri. Enam lagi, Naira… enam lagi…”

Naira mundur ke dinding. “Apa maksud mereka enam lagi?!”

Revan mendekat ke kamera, menatapnya lurus.

“Enam pintu. Enam pengorbanan. Setelah itu… gerbang akan terbuka seluruhnya.”

“Dan kalau gerbang itu terbuka?”

Revan tersenyum samar, menakutkan. “Maka dunia akan tahu arti sebenarnya dari warisanmu.”

Lampu mati mendadak.

Gelap total.

Bisikan terakhir terdengar tepat di telinganya—dekat sekali, seolah ada yang berdiri di sampingnya:

“Kami sudah masuk, Naira.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 9– Bayangan di Balik Cermin

    " Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab10-Darah Sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 10 – Darah sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 8 – Tumbal yang Hilang

    "Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 7 – Rantai yang Diputus

    "Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 6 – Luka Pertama

    "Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status