"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka."
Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang karam. Sunyi. Tapi bukan ketenangan—lebih seperti jeda sebelum badai. Dia menoleh ke cermin besar di dinding. Napasnya tercekat. Wajahnya ada di sana… tapi tidak sendirian. Di belakang bayangannya, berdiri sosok-sosok gelap, memanjang seperti bayangan tanpa sumber cahaya. Mata mereka tak berbentuk, hanya lubang-lubang hitam yang menganga. Satu di antaranya mendekat ke permukaan cermin. Wajahnya mulai terlihat—Pak Edwin. Tapi bukan seperti tadi. Wajahnya sekarang rata, mulutnya menyatu, hanya suara yang keluar: “Enam lagi, Naira. Lepaskan kami. Atau kami lepaskanmu.” Naira mundur, hampir terjatuh. “Pergi… jangan dekat-dekat!” Ibunya berdiri di pojok, tubuhnya kaku. “Mereka tidak bisa pergi, Na. Mereka terikat padamu.” “Kenapa mereka bicara begitu?!” “Karena kau membuka pintu pertama. Mereka mencium darahmu.” Naira meraih keris. Bilahnya dingin sekarang, seolah lelah setelah ritual. “Kalau aku hancurkan cermin ini… apa mereka hilang?” Ibunya menggeleng. “Cermin hanya jendela. Kalau kau pecahkan, mereka akan mencari jalan lain. Mungkin lebih dekat.” Tiba-tiba, suara Revan dari TV yang menyala sendiri. Ia berdiri di depan dinding penuh cermin, matanya gelap seperti lubang. “Bayangan di balik cermin itu bukan mimpi burukmu, Naira. Itu tamu yang menunggu giliran.” “Apa yang mereka mau dariku?!” Revan tersenyum. “Sisa jiwamu. Tapi jangan takut—kau masih punya pilihan. Beri mereka nama.” “Apa maksudmu nama?!” “Siapa yang akan kau putuskan jadi pengorbanan berikutnya. Rantai kedua.” TV padam. Cermin di sebelah kiri bergetar, lalu retak sedikit. Dari celahnya, tangan kurus kehitaman menjulur, kuku panjangnya menggores udara. Naira menjerit, melangkah mundur. Tapi di cermin lain, Linda muncul lagi. Menatapnya dengan senyum datar. “Na…” suara Linda pelan, seperti berbisik di telinganya. “Kalau kamu lambat… mereka akan memilih untukmu.” Cermin retak semakin besar. Bayangan-bayangan itu mulai keluar. Naira berlari ke meja, meraih kertas kosong. Tangannya gemetar. Jika dia tidak menulis satu nama… mereka akan mengambil siapa pun yang mereka mau. “Siapa sekarang, Naira?” Bisikan itu menyatu jadi satu suara, berat dan bergema: “Beri kami nama. Atau kami ambil sendiri.” getar hebat. Satu nama—hanya satu. Tapi siapa? Bisikan-bisikan itu tak berhenti. “Nama…” “Tulis… tulis…” “Beri kami darahnya.” Cermin di sisi kanan retak besar. Tangan lain muncul, menggenggam tepian kaca, kuku panjangnya menancap ke marmer. Lantai terasa berdenyut, seperti penthouse itu punya nadi sendiri. Ibunya melangkah mendekat. “Na, cepat. Kalau kamu tidak menulis nama, mereka akan memutuskan sendiri. Dan kamu tidak akan suka siapa yang mereka pilih.” “Ini gila… aku tidak bisa!” “Naira!” suara ibunya menggelegar. “Kalau kamu tidak lakukan sekarang, mereka akan mengambil Linda. Kamu mau itu terjadi?” Nama adiknya diucapkan membuat dadanya terasa hancur. Ia menggigit bibir sampai berdarah. Revan muncul lagi di TV. Kali ini lebih dekat, menatapnya seakan berada di ruangan yang sama. “Lihat ke cermin, Naira. Mereka tidak bohong. Mereka tidak pernah bohong. Mereka hanya… lapar.” Naira menoleh. Di cermin, bayangan Linda semakin jelas. Tapi sesuatu berubah—kulitnya pucat, matanya hitam seluruhnya. Mulutnya bergerak, berkata: “Na… pilih aku. Biar aku berhenti sakit.” Air mata Naira mengalir deras. “Kamu bukan Linda! Kamu cuma… sesuatu yang pakai wajahnya!” Tawa panjang menggema dari semua arah. Bukan tawa manusia—melainkan suara logam bergesekan. Revan masih di layar, menunduk sedikit. “Kalau kau tak bisa memilih dengan sadar, maka biarkan gerbang memilihkan untukmu. Tapi ingat… harga acak selalu lebih mahal.” Pegangan pintu depan berputar sendiri. Asap hitam menyusup masuk. Suara langkah kaki berat mendekat dari lorong. Naira melempar pena ke meja. “Aku tidak akan ikut permainanmu!” Tiba-tiba, tangan kurus dari cermin meraih pergelangan kakinya. Cengkramannya dingin dan kuat. Naira berteriak, menendang keras, tapi cermin-cermin lain mulai bergetar. Semuanya kini punya tangan yang menjulur. “Nama…” “Nama…” “Beri kami nama!” Ibunya meraih bahu Naira. “Dengar aku! Ini bukan permainan, Na. Ini ritual. Kalau kamu tidak menulis, kamu yang jadi tumbalnya!” Naira menatap kertas kosong itu. Tangannya gemetar. Setetes darah dari bibirnya jatuh ke kertas—dan tinta merah muncul sendiri, membentuk kata: Kirana. Dia terperanjat. “Aku… aku tidak menulis itu!” Revan bertepuk tangan dari layar. “Gerbang memilih lebih cepat darimu. Kirana… sahabatmu. Manis sekali.” Cermin berhenti bergetar. Tangan-tangan menarik diri. Sunyi. Tapi Naira tahu: sesuatu di luar sana baru saja mengambil tubuh Kirana. Dia jatuh terduduk. Kertas itu terlipat sendiri, terbakar dari dalam, berubah jadi abu. Revan mendekat ke layar, senyumnya lebar. “Satu pintu lagi puas. Lima tersisa. Kau mulai mengerti cara kerjanya.” Air mata Naira jatuh ke lantai. “Aku membunuh sahabatku sendiri…” Ibunya berlutut di depannya. “Kamu tidak membunuhnya. Kamu… menyelamatkan dirimu. Dan Linda. Untuk sekarang.” Revan mendengus. “Tapi jangan senang dulu. Kelaparan ini… tidak pernah selesai.” TV padam. Naira menatap cermin. Bayangan Linda masih ada di sana. Kali ini, ia menangis. “Na… cepatlah. Sebelum mereka ambil aku juga.” Dan untuk pertama kalinya, Naira tahu: permainan ini baru saja berubah jadi perang." Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan
"Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp
"Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M
"Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto