“Kalau pintu ketiga terbuka… tidak ada jalan pulang, Naira.” Suara itu terdengar jelas. Tapi kali ini bukan Revan, bukan bayangan. Suara perempuan asing, dalam, tapi seolah sudah mengenalnya sejak lama. Naira memutar tubuhnya. “Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” “Aku cermin yang tak pernah kau lihat. Dan kali ini, aku tidak butuh pantulan untuk bicara.” Udara mendadak membeku. Dari celah tanah yang tadi tenang, muncul retakan baru. Retakan itu bukan hanya di tanah, tapi juga di udara—seperti kaca yang dipecahkan dari dalam. Revan berdiri kaku, wajahnya berubah pucat. “Tidak mungkin… seharusnya belum saatnya…” Naira menatapnya tajam. “Kau tahu siapa dia?” Revan menahan napas, matanya tak lepas dari retakan yang makin melebar. “Kalau benar ini pintu ketiga… berarti yang keluar bukan sekadar bayangan. Itu… darah leluhurmu sendiri.” Naira terdiam. Perutnya terasa perih, simbol akar yang tadinya mereda kini menyala kembali, bercabang-cabang seperti api yang mencari jalan keluar. “Na…”
“Tusuk dia, Na! Sekarang!” Suara Revan meledak di udara. Tapi telinga Naira terasa berat, seperti air menyumbat lubangnya. Makhluk itu masih menyerupai Linda. Mata beningnya berkaca-kaca, tangannya gemetar. “Na… kalau aku mati, siapa yang akan jagain Ayah?” Keris di tangan Naira bergetar hebat, seolah menolak keputusan. Revan menendang tanah, menghadang makhluk itu. “Itu bukan adikmu! Itu hanya jelmaan—!” “Kalau aku salah? Kalau benar ini Linda?” Suara Naira pecah. Air matanya membanjir, pandangan kabur. Makhluk itu—dengan wajah Linda—menjulurkan tangan, menyentuh pipi Naira. Dingin. Terlalu dingin untuk hidup. Tapi raut wajahnya begitu nyata, begitu familiar. “Na… aku takut,” bisiknya. Keris tiba-tiba menyala. Api merah menyembur dari bilahnya, seolah menolak kelembutan palsu. Naira tersentak mundur. Revan mendekat, menekan bahu Naira. “Kau ingat apa kata kakekmu? Gerbang pertama menipu dengan wajah yang paling kau cintai. Kalau kau jatuh… semua pintu lain terbuka!” Naira m
“Kamu dengar itu?” Suara Revan terdengar datar, tapi matanya menajam, menatap langit-langit yang retak halus. Naira menahan napas. Di balik retakan, ada bunyi samar. Ketukan. Tiga kali. Pelan, tapi berirama… seolah ada yang berusaha masuk dari sisi lain. “Siapa… yang ada di sana?” bisik Naira, meski tahu tak akan ada jawaban. Kabut dingin merambat ke lantai, menyusup ke sela-sela jari kakinya. Aroma tanah basah bercampur anyir darah memenuhi ruangan. Tubuhnya merinding, kulitnya seakan disentuh jari-jari tak kasatmata. “Jangan pernah tanya siapa,” kata Revan, tatapannya menusuk. “Karena kalau kau tanya… mereka akan menjawab.” “Kenapa kau bicara seperti itu?” Naira melawan, suaranya gemetar. “Aku berhak tahu siapa yang ingin menelan hidupku.” Revan mendekat. Tangannya terulur, nyaris menyentuh wajahnya. “Kalau kau tahu, kau tak akan bisa tidur lagi. Kau bahkan tak akan bisa menutup mata.” Ketukan berhenti. Diganti suara gesekan. Seperti kuku panjang menggaruk balik dinding kac
“Kamu kenal siapa di foto ini?” Naira membuka mata pelan. Pandangan kabur. Suara itu terdengar di sampingnya—Revan, tenang, tapi dingin. Ia menoleh ke meja. Ada sebuah foto keluarga lama: ayah, ibu, adik… dan satu sosok yang wajahnya kabur, seakan dihapus oleh tangan tak terlihat. Naira berusaha fokus. Mulutnya bergetar. “…Itu… siapa?” Revan menatapnya lekat-lekat. “Kau benar-benar tak tahu?” Naira menggeleng, perlahan. Dadanya sesak, matanya panas. Ia tahu seharusnya ada seseorang di sana—seseorang yang penting. Tapi otaknya kosong, seolah ada lubang hitam di ingatan. “Itulah harga pertama,” ujar Revan lirih. “Pintu sudah menelan satu nama darimu.” Naira menjerit pelan, tangannya memukul meja. “Kenapa aku tidak bisa ingat? Siapa yang hilang?!” Revan tak menjawab. Ia hanya menunjuk keris yang kini terbaring di lantai, bilahnya gelap—tak lagi berdenyut merah. “Setiap pintu butuh tumbal. Kau memilih… meski tak sadar pilihanmu.” Tubuh Naira gemetar. Ia bangkit dengan susah pay
“Kau pikir bisa lari dari darahmu, Naira?” Suara itu muncul bukan dari ruangan, tapi dari dalam dada. Seperti ada orang lain yang berbicara langsung lewat jantungnya. Naira terhuyung, memegangi dadanya. “Siapa kamu? Keluar dari tubuhku!” “Aku bukan tamu. Aku rumah yang kau tinggali sejak lahir.” Naira membeku. Suara itu dingin, tapi intim. Terlalu dekat. Lebih dekat dari Revan, lebih dekat dari siapa pun. “Kau hanya menunda, tapi pintu sudah memilih. Kau tak lagi berhak menutupnya.” Lampu kamar padam serentak. Dari jendela, kota Jakarta yang biasanya terang kini gelap gulita—seolah seluruh dunia ikut mati listrik hanya untuk membuatnya merasa terkepung. Lampu kamar padam serentak. Dari jendela, kota Jakarta yang biasanya terang kini gelap gulita—seolah seluruh dunia ikut mati listrik hanya untuk membuatnya merasa terkepung. Naira mundur, punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya berat, seperti ada tangan yang mencekik dari dalam. “Kau hanya tubuh sementara,” bisikan itu kemba
“Kau sadar nggak, Naira? Kalau setiap nafasmu sekarang… bukan lagi milikmu.” Suara itu terdengar jelas, padahal tak ada siapa pun di ruangan. Naira menoleh cepat. Hanya kaca balkon yang retak, memanjang seperti saraf terbuka. Dari balik retakan itu, bisikan-bisikan lain ikut menyusup—berlapis-lapis, menirukan suara orang-orang yang ia kenal: ibunya, Linda, bahkan Revan. “Pinjamkan tubuhmu sebentar…” “Atau kami akan mengambilnya tanpa izin.” Keringat dingin menetes dari pelipis Naira. Ia meraih keris, tapi kali ini bilahnya gelap, menolak bersinar. Seakan-akan keris pun ikut takut pada sesuatu yang sedang mencoba keluar dari balik kaca itu. Udara kamar mendadak berubah dingin. Setiap helaan napas Naira keluar seperti asap tipis, padahal AC sudah lama dimatikannya. Retakan kaca makin melebar, bercahaya samar merah dan hitam, seperti akar yang tumbuh terbalik dari langit. Ia mundur satu langkah, tapi bisikan itu terus menekan ke dalam telinga, menusuk saraf-saraf kepala. “Kau per