Home / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 7 – Rantai yang Diputus

Share

Bab 7 – Rantai yang Diputus

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 19:46:06

"Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."

Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:

“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”

Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.

Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”

“Tidak,” suara Naira pecah.

“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”

Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”

“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”

“Tapi… kalau aku nggak mau?”

Ibunya menunduk. “Maka mereka akan diambil. Dengan cara yang kau tak bisa pilih.”

Naira menggigit bibir sampai berdarah.

Satu nama muncul begitu saja di kepalanya: Pak Edwin.

Bos lamanya. Orang yang dulu memberinya pekerjaan di pabrik ketika ia terdesak. Tapi juga orang yang mempermalukannya di depan banyak orang. Luka kecil yang ia kira sudah mati… ternyata masih membusuk di dalam.

“Kenapa dia?” bisik Naira.

Ibunya mendekat, berlutut di depannya. “Karena yang paling sulit dimaafkan… adalah rantai yang paling menahanmu.”

Naira terdiam.

Lalu, perlahan, ia bangkit dan mengambil keris yang berdiri di lantai. Bilahnya hangat. Bukan panas seperti biasa—seperti memahami tuannya.

Ia mengambil secarik kertas kosong dari meja, menulis satu nama: EDWIN.

Kertas itu ia letakkan di lantai, di tengah lingkaran samar yang terbentuk dari darahnya sendiri.

“Kalau ini caranya keluar… maka aku lakukan.”

Keris menyentuh kertas itu.

Kilatan cahaya merah muncul. Kertas itu tak terbakar. Ia menghilang—seolah diserap lantai yang berdetak seperti daging hidup.

Naira merasakan sesuatu hilang dari dadanya. Entah itu beban… atau sebagian dirinya sendiri.

TV menyala sendiri. Revan muncul. Wajahnya kali ini sedikit berbeda—pucat, tapi tenang.

“Tumbal pertama,” katanya. “Kau memilih dengan hati. Itu… mengejutkanku.”

Naira menatap layar dengan dingin. “Aku nggak melakukannya untukmu.”

Revan tersenyum samar. “Tapi kau melakukannya dengan benar.”

Lampu kamar meredup.

Suara dari balik dinding terdengar lagi—tangisan, tawa, bisikan. Lalu satu kalimat menggema, keras, memenuhi ruangan:

“Satu rantai terputus. Enam lagi.”

Simbol di tangan Naira bercabang lagi. Angka 6 muncul jelas, seperti ukiran di kulit.

Naira menatapnya. “Apa artinya?”

Revan mendekat ke layar. Senyumnya dingin.

“Itu jumlah yang harus kau lepaskan… sebelum semua pintu terbuka.”

Dan entah kenapa, kata “semua pintu” terdengar jauh lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri.

 

Naira masih berlutut di lantai, menatap simbol di tangannya. Setiap cabang merah di kulitnya terasa hidup, seperti akar yang menembus urat.

“Enam lagi…”

Bisikan itu kembali. Bukan dari TV, bukan dari ibunya, tapi dari dalam kepalanya.

Ia meraih lututnya, menunduk, mencoba mengatur napas.

“Aku nggak bisa…” gumamnya. “Kalau harus begini enam kali lagi… aku nggak sanggup.”

Ibunya mendekat, memegang pundaknya. Sentuhan itu dingin, tapi menenangkan. “Kamu sanggup. Karena kamu dipilih bukan untuk lari.”

“Aku nggak mau dipilih.”

“Takdir tidak peduli.”

Lampu di penthouse berkedip. Suara sesuatu menggores dinding terdengar samar. Seperti kuku panjang menggaruk marmer dari sisi lain.

Naira mendongak. “Itu apa?”

Ibunya menatap pintu. “Itu harga.”

“Untuk apa?”

“Untuk setiap rantai yang kamu putus.”

Seolah menjawab, TV menyala lagi. Revan berdiri, kini bukan di ruangan gelap, tapi di depan gerbang besar yang berlumut. Pintu itu berdarah dari sela-selanya, menetes ke tanah.

“Kamu pikir memaafkan itu cuma pelepasan, Naira?” suaranya bergema. “Tidak. Itu transaksi. Kamu memberikan bagian dari dirimu… untuk menutup satu pintu. Tapi pintu lain terbuka.”

“Kenapa?!” teriak Naira.

“Karena begitulah cara dunia ini bekerja. Energi harus mengalir. Kamu memutus ikatan di satu sisi… dan mereka yang menunggu di balik gerbang merasa kelaparan.”

Naira menatap ke arah layar. “Mereka… siapa?”

Revan hanya tersenyum. “Nanti kamu akan bertemu.”

TV padam.

Keheningan menelan ruangan.

Hingga Naira mendengar suara kecil.

“Na…”

Dia membeku. Itu suara yang sangat ia kenal.

Pelan-pelan, ia menoleh ke cermin.

Di sana—berdiri sosok Pak Edwin. Tapi wajahnya setengah mengelupas, matanya kosong, bibirnya pecah-pecah.

“Terima kasih,” katanya. “Kau lepaskan aku. Tapi… aku masih harus membayar.”

Naira mundur, menabrak meja. “Bayar apa?”

Sosok itu mendekat, tapi tidak keluar dari cermin. “Apa pun yang menahanku… akan menagihmu sekarang.”

Suara gedoran keras menghentak pintu penthouse.

DUK! DUK! DUK!

Pintu itu melengkung, seperti dipukul sesuatu dari luar.

Naira meraih keris. Jemarinya memutih menahan dingin bilahnya.

Ibunya berdiri di depan pintu, melindunginya. “Jangan buka. Apa pun yang ada di luar… bukan manusia.”

DUK!

Goresan kuku di dinding makin keras. Dari balik celah pintu, asap hitam merembes masuk, dinginnya seperti mengiris paru-paru.

Naira menutup telinganya. “Aku nggak bisa… aku nggak bisa…”

Ibunya menatapnya. “Kalau kamu berhenti sekarang, kamu mati. Kalau kamu lanjut, kamu kehilangan lebih banyak. Pilih, Naira.”

Tangisan mulai terdengar di lorong. Suara seorang anak kecil.

“Linda….”

Naira menoleh. Dadanya seperti diremas. Itu suara adiknya.

Revan muncul di cermin, berdiri di samping sosok Pak Edwin.

“Pilih, Naira. Pintu itu haus. Siapa yang kamu korbankan selanjutnya?”

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 70 – Pintu Inti

    “Bukankah kau takut, Naira?” suara Revan serak, bergetar bukan karena dingin, melainkan karena ngeri. “Takut? Aku sudah kehilangan wajah ibuku. Apa yang lebih menakutkan dari lupa pada orang yang melahirkanku?” Pintu kesepuluh berdenyut pelan. Seperti jantung raksasa yang baru saja terbangun. Urat-urat merah merambat di dinding, bercabang ke lantai, hingga menjalar kaki mereka. Setiap detaknya menyalurkan getaran ke tulang. Naira berdiri di depan pintu itu. Dadanya masih perih, luka tikaman belum menutup. Justru dari luka itu, darahnya menetes dan terserap langsung ke dalam urat-urat pintu. Suara berat, dalam, bergema dari balik daging yang berdenyut: “Wadah telah kosong. Saatnya warisan kembali.” Naira menelan ludah, keris di tangannya bergetar seperti mengenali suara itu. “Apa maksudnya… warisan kembali? Warisan siapa?” Revan memalingkan wajah, seolah tak sanggup menatap langsung ke arah pintu. “Warisan yang kakekmu sembunyikan. Warisan yang membuat keluargamu jadi target. K

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 69 – Menghunus ke Diri Sendiri

    “Apa yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri, Naira?” Suara itu datang dari kegelapan koridor. Revan menatap sekeliling, tapi Naira tahu itu bukan suara Revan—itu suara pintu kesembilan, suara kontrak yang bersemayam di dalam darahnya. Langkahnya berat. Lantai koridor licin, basah, seolah terbuat dari darah yang baru saja ditumpahkan. Setiap pijakan meninggalkan jejak kaki merah yang cepat menghilang. Di ujung koridor, pintu itu berdiri. Pintu kayu tua dengan simbol-simbol merah berdenyut seperti nadi. Dari celah-celahnya, terdengar suara lirih… tangisan ibunya, tawa Linda, batuk ayahnya. Semuanya bercampur, memanggil namanya. “Naira…” suara ibunya bergetar. “Tolong aku… jangan biarkan aku hilang.” Tangannya gemetar menggenggam keris. Revan berdiri di sampingnya, tapi wajahnya kali ini gelap, matanya seperti retak kaca. “Kalau kau masuk, tak ada jalan kembali,” katanya pelan. “Pintu kesembilan hanya membuka kalau kau sudah siap membayar dengan sesuatu yang tak bisa dikem

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 68 – Penjara Wajah

    “Kalau kau buka pintu itu… kau tak akan lagi mengenali siapa dirimu.” Suara Revan pelan, tapi gemanya terdengar dari segala arah. Naira menatap pintu raksasa berurat merah itu. Jantungnya berdetak seirama dengan denyut pintu. Luka di dadanya masih basah, tapi genggaman pada keris semakin kencang. “Aku sudah kehilangan semuanya, Revan. Apa lagi yang bisa diambil dariku?” Pintu berderit. Perlahan, akar merah yang menutupinya terurai, seakan membukakan jalan bukan karena kehendak Naira, tapi karena sesuatu di baliknya sudah menunggu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin menerpa, membuat tubuh Naira gemetar meski peluhnya masih menetes. Ia melangkah masuk. Ruangan itu bundar, dindingnya tinggi menjulang, dan di setiap sisi—menempel wajah-wajah manusia. Linda. Ayahnya. Ibunya. Revan. Bahkan wajah Naira sendiri. Mereka tertanam di dinding seperti ukiran hidup, mata mereka terbuka, mengikuti setiap langkahnya. Suara lirih bergema, ratusan bisikan menyatu: “Kenapa kau tinggalkan kami…?”

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 67 – Satu Simbol Tersisa

    “Apa kau tahu rasanya tinggal satu jiwa saja yang tersisa?” Suara Revan pecah di antara kabut, berat, tapi penuh kegetiran. Naira menoleh. Revan berdiri goyah, tubuhnya masih berdarah, tapi matanya tajam menatapnya. Simbol merah di bawah tulang selangka Naira berdenyut semakin cepat, seperti jantung kedua yang hendak meledak. “Jangan bicara seolah kau mengerti perasaanku,” balas Naira dengan suara bergetar. “Aku yang kehilangan—ibuku, adikku, bahkan wajah sendiri di cermin. Kau masih berdiri dengan bayangan-bayanganmu!” Revan tersenyum samar. “Justru karena itu aku tahu. Kau kira aku masih manusia penuh? Aku hanya sisa dari delapan bayangan yang kau bunuh.” Kabut di sekitar mereka bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasatmata meraih tubuh mereka. Dari jauh, terdengar suara gonggongan anjing bercampur tangisan bayi—suara yang tak masuk akal tapi menusuk ke kepala Naira. Dia menatap simbol merah di kulitnya. “Kalau pintu kesembilan terbuka… aku akan kehilangan apa lagi?” Rev

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 66 – Delapan Bayangan Revan

    “Kalau aku mati… apa kau masih percaya ada yang asli dariku?” Suara Revan terdengar di samping telinga Naira. Dia menoleh cepat—dan jantungnya hampir berhenti. Di ruangan itu, ada delapan Revan. Mereka berdiri melingkar, menatapnya dengan tatapan identik, dingin, menusuk. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan darah yang menetes di kemeja hitam itu pun identik. Naira mundur, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja menelannya masuk. “Ini gila…” bisiknya. Salah satu Revan melangkah maju. “Aku yang asli.” Revan lain menyusul. “Bukan dia. Aku yang kau cari.” Yang ketiga menambahkan dengan nada lebih dingin, “Kalau kau salah pilih, kau akan terjebak di sini. Selamanya.” Delapan suara berbicara hampir bersamaan, bercampur, berlapis, membuat kepala Naira terasa pecah. Dia menutup telinga, tapi suara-suara itu justru bergetar dari dalam otaknya. “Aku kakakmu.” “Aku penjaga kontrak.” “Aku bayangan yang kau ciptakan.” “Aku janji terakhir kakekmu.” Semua bersuara dengan w

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 65 – Revan yang Retak

    “Revan…” Naira hampir tak percaya pada matanya. Di hadapannya berjejer delapan sosok Revan di balik cermin, masing-masing hidup, bergerak, berbicara. Satu mengenakan jas hitam rapi, berwibawa. Satu mengenakan pakaian lusuh, dengan tatapan iba. Satu lagi tersenyum hangat, seperti pria biasa. Tapi ada pula yang matanya merah, wajah retak, tubuhnya miring seperti boneka patah. “Mana… yang asli?” Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya pecah. Delapan Revan serempak berbicara, tapi kalimat mereka berbeda-beda: “Aku pelindungmu.” “Aku pencipta kontrak.” “Aku kakakmu.” “Aku bayanganmu.” “Aku yang akan membunuhmu.” “Aku lelaki yang mencintaimu.” “Aku hanya mimpi burukmu.” “Aku… satu-satunya pilihanmu.” Suara-suara itu bergema, menabrak kepala Naira. Ia mundur selangkah, keris di tangannya bergetar seperti tahu siapa musuhnya. “Cukup!!” teriak Naira, suaranya melawan gaung ruang cermin. “Aku hanya butuh satu Revan. Yang asli!” Delapan sosok itu tersenyum serempak, tapi b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status