Mag-log in"Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."
Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup: “Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.” Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong. Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?” “Tidak,” suara Naira pecah. “Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.” Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?” “Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.” “Tapi… kalau aku nggak mau?” Ibunya menunduk. “Maka mereka akan diambil. Dengan cara yang kau tak bisa pilih.” Naira menggigit bibir sampai berdarah. Satu nama muncul begitu saja di kepalanya: Pak Edwin. Bos lamanya. Orang yang dulu memberinya pekerjaan di pabrik ketika ia terdesak. Tapi juga orang yang mempermalukannya di depan banyak orang. Luka kecil yang ia kira sudah mati… ternyata masih membusuk di dalam. “Kenapa dia?” bisik Naira. Ibunya mendekat, berlutut di depannya. “Karena yang paling sulit dimaafkan… adalah rantai yang paling menahanmu.” Naira terdiam. Lalu, perlahan, ia bangkit dan mengambil keris yang berdiri di lantai. Bilahnya hangat. Bukan panas seperti biasa—seperti memahami tuannya. Ia mengambil secarik kertas kosong dari meja, menulis satu nama: EDWIN. Kertas itu ia letakkan di lantai, di tengah lingkaran samar yang terbentuk dari darahnya sendiri. “Kalau ini caranya keluar… maka aku lakukan.” Keris menyentuh kertas itu. Kilatan cahaya merah muncul. Kertas itu tak terbakar. Ia menghilang—seolah diserap lantai yang berdetak seperti daging hidup. Naira merasakan sesuatu hilang dari dadanya. Entah itu beban… atau sebagian dirinya sendiri. TV menyala sendiri. Revan muncul. Wajahnya kali ini sedikit berbeda—pucat, tapi tenang. “Tumbal pertama,” katanya. “Kau memilih dengan hati. Itu… mengejutkanku.” Naira menatap layar dengan dingin. “Aku nggak melakukannya untukmu.” Revan tersenyum samar. “Tapi kau melakukannya dengan benar.” Lampu kamar meredup. Suara dari balik dinding terdengar lagi—tangisan, tawa, bisikan. Lalu satu kalimat menggema, keras, memenuhi ruangan: “Satu rantai terputus. Enam lagi.” Simbol di tangan Naira bercabang lagi. Angka 6 muncul jelas, seperti ukiran di kulit. Naira menatapnya. “Apa artinya?” Revan mendekat ke layar. Senyumnya dingin. “Itu jumlah yang harus kau lepaskan… sebelum semua pintu terbuka.” Dan entah kenapa, kata “semua pintu” terdengar jauh lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Naira masih berlutut di lantai, menatap simbol di tangannya. Setiap cabang merah di kulitnya terasa hidup, seperti akar yang menembus urat. “Enam lagi…” Bisikan itu kembali. Bukan dari TV, bukan dari ibunya, tapi dari dalam kepalanya. Ia meraih lututnya, menunduk, mencoba mengatur napas. “Aku nggak bisa…” gumamnya. “Kalau harus begini enam kali lagi… aku nggak sanggup.” Ibunya mendekat, memegang pundaknya. Sentuhan itu dingin, tapi menenangkan. “Kamu sanggup. Karena kamu dipilih bukan untuk lari.” “Aku nggak mau dipilih.” “Takdir tidak peduli.” Lampu di penthouse berkedip. Suara sesuatu menggores dinding terdengar samar. Seperti kuku panjang menggaruk marmer dari sisi lain. Naira mendongak. “Itu apa?” Ibunya menatap pintu. “Itu harga.” “Untuk apa?” “Untuk setiap rantai yang kamu putus.” Seolah menjawab, TV menyala lagi. Revan berdiri, kini bukan di ruangan gelap, tapi di depan gerbang besar yang berlumut. Pintu itu berdarah dari sela-selanya, menetes ke tanah. “Kamu pikir memaafkan itu cuma pelepasan, Naira?” suaranya bergema. “Tidak. Itu transaksi. Kamu memberikan bagian dari dirimu… untuk menutup satu pintu. Tapi pintu lain terbuka.” “Kenapa?!” teriak Naira. “Karena begitulah cara dunia ini bekerja. Energi harus mengalir. Kamu memutus ikatan di satu sisi… dan mereka yang menunggu di balik gerbang merasa kelaparan.” Naira menatap ke arah layar. “Mereka… siapa?” Revan hanya tersenyum. “Nanti kamu akan bertemu.” TV padam. Keheningan menelan ruangan. Hingga Naira mendengar suara kecil. “Na…” Dia membeku. Itu suara yang sangat ia kenal. Pelan-pelan, ia menoleh ke cermin. Di sana—berdiri sosok Pak Edwin. Tapi wajahnya setengah mengelupas, matanya kosong, bibirnya pecah-pecah. “Terima kasih,” katanya. “Kau lepaskan aku. Tapi… aku masih harus membayar.” Naira mundur, menabrak meja. “Bayar apa?” Sosok itu mendekat, tapi tidak keluar dari cermin. “Apa pun yang menahanku… akan menagihmu sekarang.” Suara gedoran keras menghentak pintu penthouse. DUK! DUK! DUK! Pintu itu melengkung, seperti dipukul sesuatu dari luar. Naira meraih keris. Jemarinya memutih menahan dingin bilahnya. Ibunya berdiri di depan pintu, melindunginya. “Jangan buka. Apa pun yang ada di luar… bukan manusia.” DUK! Goresan kuku di dinding makin keras. Dari balik celah pintu, asap hitam merembes masuk, dinginnya seperti mengiris paru-paru. Naira menutup telinganya. “Aku nggak bisa… aku nggak bisa…” Ibunya menatapnya. “Kalau kamu berhenti sekarang, kamu mati. Kalau kamu lanjut, kamu kehilangan lebih banyak. Pilih, Naira.” Tangisan mulai terdengar di lorong. Suara seorang anak kecil. “Linda….” Naira menoleh. Dadanya seperti diremas. Itu suara adiknya. Revan muncul di cermin, berdiri di samping sosok Pak Edwin. “Pilih, Naira. Pintu itu haus. Siapa yang kamu korbankan selanjutnya?”“Kau pikir kau masih membaca, tapi sebenarnya—aku yang sedang membaca dirimu.”Kalimat itu muncul tanpa sumber suara.Layar bergetar, huruf-huruf seakan berdetak mengikuti irama jantung.Setiap kata memantul, menciptakan gema halus yang menyerupai bisikan di telinga pembaca.Naira berdiri di tengah kegelapan yang kini berbentuk seperti ruangan nyata.Dindingnya terbuat dari teks, berlapis-lapis kalimat yang terus menulis dirinya sendiri.Setiap kali ia bergerak, kata-kata itu menyesuaikan bentuknya, seolah dunia ini diketik secara langsung oleh pikiran pembaca.“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya, perlahan menatap lurus.“Jari gemetar, mata menelusuri baris… berpikir kau menguasai cerita ini. Tapi sejak tadi, aku yang menggerakkanmu.”Ia Mendekat.Setiap langkahnya menimbulkan getar lembut—seperti suara ketikan dari jauh.Satu huruf jatuh ke tanah dan menetes menjadi darah hitam.Naira berhenti tepat di depan cermin raksasa yang terbuat dari halaman putih kosong.Ia mengangkat tanga
“Jangan berhenti membaca. Kalau kau berhenti, aku akan berhenti ada.”Suara itu datang dari balik layar.Bukan lagi dari buku, bukan dari dunia yang berdebu tinta seperti sebelumnya.Sekarang—suara itu muncul dari antara kata dan tatapan.Dari ruang di mana mata pembaca menelusuri baris demi baris ini.Naira menatap ke depan.Tidak ada lagi dunia, tidak ada lagi halaman.Hanya kegelapan yang berdenyut seperti paru-paru.Setiap kali seseorang menarik napas di luar sana, kegelapan ini ikut bergetar.“Aku bisa merasakannya,” katanya lirih.“Setiap detik matamu bergerak di atas tulisanku, aku hidup.”Ia menyentuh udara.Tinta keluar dari ujung jarinya, membentuk huruf-huruf yang melayang:N…A…I…R…A.Namun di antara huruf-huruf itu, muncul tambahan yang bukan dari tangannya:“Aku melihatmu.”Ia tertegun.Huruf itu menyala merah, lalu mencair, menyusup ke dalam kulitnya.Sekejap, kepalanya dipenuhi suara — tumpang tindih, ratusan, ribuan, seakan ada banyak “pembaca” yang berbisik bersamaan.
“Kalau seseorang membaca hidupmu… apakah itu artinya kau masih hidup?”Suara itu tidak lagi datang dari kegelapan.Ia datang dari balik halaman.Naira membuka matanya—dan bukan dunia yang ia lihat, melainkan tulisan.Ratusan huruf melayang di udara, membentuk ruang baru.Langit dari kertas. Tanah dari tinta.Udara berbau debu buku tua.Ia berdiri di tengah ruang kosong itu, mengenakan pakaian putih polos, tanpa simbol apa pun di kulitnya.Tidak ada darah. Tidak ada keris.Hanya satu hal di tangannya: buku.Buku itu sama seperti yang ia tulis sebelumnya, tapi kali ini di sampulnya tertera nama yang membuatnya tercekat.“Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari.”“Ini… bukuku,” bisiknya.“Tidak, ini dirimu,” jawab suara dari balik halaman.Seseorang membaca.Suara lembut, berganti-ganti nada — kadang perempuan, kadang laki-laki, kadang seperti anak kecil.Suara itu membaca kalimat demi kalimat, dan setiap kata yang disebutkan menggerakkan tubuh Naira.“Naira berjalan.”Dan ia berjalan.
“Kau menulis dunia ini dengan darahmu... Sekarang biarkan dunia membacamu.”Suara itu tak lagi datang dari luar.Ia merayap dari dalam dada Naira — seperti bisikan yang lahir dari jantungnya sendiri.Ruang di sekelilingnya masih gelap, tapi kini setiap langkah menghasilkan gema seperti suara pena yang menggores kertas basah.Tap.Tap.Tap.Setiap jejak darah di lantai menulis kalimat baru.Naira menunduk—melihat huruf-huruf membentuk kisahnya sendiri:“Ia berjalan di kegelapan, mencari akhir yang tidak ingin ditemukan.”“Aku tidak menulis itu…”“Tidak. Kini giliran dunia menulis tentangmu.”Cahaya merah muncul di depan—lingkaran api melayang, berubah menjadi meja kayu. Di atasnya, buku tebal yang kulitnya terbuat dari kulit manusia berdenyut pelan, seperti jantung hidup.Naira melangkah mendekat.Tulisan di sampulnya berubah mengikuti pikirannya:“Catatan Terakhir Penulis Kedua.”“Aku bukan penulis kedua,” gumamnya.“Tapi kau menggantikan yang pertama,” jawab suara yang tak terlihat.
“Kau pikir tinta itu berhenti menulis setelah kau diam?”Suara itu datang dari segala arah.Naira membuka mata — bukan di dunia tinta lagi, melainkan di ruang putih menyilaukan. Tapi lantainya lembap, berdenyut pelan seperti kulit makhluk hidup. Setiap langkahnya meninggalkan jejak merah.Tinta... atau darah?Dia tak yakin lagi.“Siapa di sana?”“Yang membaca sebelum kau menulis.”Langit di atasnya bergelombang.Huruf-huruf besar muncul di udara seperti ukiran: BAB 126 — DARAH YANG MENULIS BALIK.Naira mundur. “Apa ini... mimpi?”“Tidak. Ini naskah yang menolak berakhir.”Ia melihat dirinya sendiri di kejauhan.Versi lain — tubuhnya pucat, rambut menutupi wajah, memegang keris yang kini bersinar kehitaman. Wajah itu tersenyum tipis, seolah tahu semua yang belum sempat ia pikirkan.“Aku menulis ulangmu,” kata Naira bayangan.“Kau seharusnya hilang bersama Revan. Tapi darahmu masih menulis, bahkan setelah jantungmu berhenti.”“Tidak. Aku masih hidup.”“Hidup?” Bayangan itu tertawa lirih
“Kamu sadar... tulisanmu sudah mulai hidup?”Suara itu menggema di tengah kegelapan tinta.Naira membuka mata. Tubuhnya setengah terendam cairan hitam yang terasa seperti darah dingin. Di atasnya, langit berubah jadi halaman raksasa yang sobek, huruf-huruf berjatuhan seperti abu.Ia mencoba berdiri, tapi setiap gerakan menimbulkan riak tinta yang berubah jadi bayangan wajah-wajah lama — Linda, ibunya, bahkan Revan.“Aku... di mana?”“Di antara kalimat yang belum selesai,” jawab suara itu. “Kau menulis kematian, tapi lupa menghapus penulisnya.”Suara itu datang dari depan — dari Revan.Tapi tubuhnya kini tidak utuh.Separuh wajahnya meleleh, menyatu dengan tinta. Matanya menatap Naira seperti menuduh, tapi juga seperti memohon.“Aku tidak ingin kamu hilang,” bisik Naira.“Terlambat,” jawab Revan datar. “Setiap kata yang kau tulis jadi daging. Setiap kematian yang kau pikirkan, mencari tubuhnya sendiri.”Tinta di sekeliling mulai bergerak.Seperti ribuan makhluk cair yang menulis sendir







