Setelah Viano pergi, apakah aku hanya akan berdiam diri? Tentu tidak! Lusi memiliki ribuan rencana untuk bertindak. Ia mulai berpura-pura sakit kepala, mual, dan lemas."Ayo berhenti berpura-pura, Lus!" Viano langsung menyadari bahwa Lusi hanya berakting.Sungguh, tidakkah dia malu diperhatikan oleh orang-orang? Mereka bisa mengira dia sedang mengidam. Dan jika terus begini, bukankah itu berbahaya? Viano bisa dituduh macam-macam."Sepertinya aku salah makan." Lusi mencari alasan. Yah, setidaknya, jika tidak diantar oleh Viano, dia bisa menunggu taksi yang dipesan tiba. Menyesal juga karena tidak membawa kendaraan sendiri. Berniat untuk bertingkah, malah berakhir sia-sia.Lusi mencoba mencari kesempatan dengan memegang tangan Viano. "Pegang aku," pintanya.Baiklah, demi kemanusiaan, Viano memegang tangan Lusi.Semakin lama, gadis itu semakin berani. Kini ia malah mengaitkan lengannya dengan lengan Viano. Orang-orang yang lewat memperhatikan mereka.Baru-baru ini, si Edo—staf dari perus
"Mari makan siang bersama!"Apa! Hanya berani berteriak dalam hati, karena kalau keras-keras takut akan disumpal dengan permen karet."Pergilah minta izin dari bosmu!" Viano mengarahkan dagunya ke K Mart milik Kevin.Si Bos yang terkadang bersikap semena-mena. Nesta tidak akan mengikuti ajakan Viano. Paling juga, hanya ingin menjahili. Nanti, kalau banyak bicara sedikit saja, langsung disumpal dengan permen karet.Satu kata dari Nesta, TIDAK!"Kamu kok berpikirnya lama sekali, ya!" Viano merasa kesal. Makin yakin, IQ Nesta di bawah 100.Nesta mendelik, mantan bos yang masih suka mengatur!"Eh, Bapak! Mau ngapain?" Nesta terkejut saat Viano langsung masuk ke dalam toko. "Wah, Bapak ini benar-benar berani sekali!" Mengomel sambil mengejar Viano.Viano sudah lebih dahulu berada di dalam toko. Di depan Kevin yang masih terbengong-bengong, dia antara meminta izin atau seolah-olah menodong."Karyawanmu punya waktu istirahat, 'kan?"Kevin yang sebenarnya belum memahami maksud Viano, hanya me
Lusi masih menyimpan dendam, karena ditinggalkan Viano begitu saja. Sungguh, pria itu sepertinya tidak memiliki hati! Harus menelan malu karena ketahuan hanya berpura-pura, ditambah kini harus repot menunggu taksi untuk kembali ke kantor sendiri.Tentu saja, rekan-rekan di kantor menjadi penasaran. Mengapa mereka kembali secara terpisah, padahal mereka menghadiri rapat di tempat yang sama? Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Lusi dan Viano memiliki kedekatan yang lebih dari sekadar atasan dan sekretaris.Namun, apa pun yang dibicarakan orang, bagi Viano, Lusi hanyalah teman lama. Tidak lebih!Lusi harus bersikap seolah tidak peduli, meskipun dia tahu bahwa saat ini rekan-rekan kantor sedang membicarakan hubungannya dengan Viano. Pandangan mereka yang mencuri-curi atau bahkan ada yang sampai terpana melihat Lusi selama beberapa detik. Ah, semuanya benar-benar merusak suasana hati."Ayah Viano belum datang ke kantor?" tanya Lusi kepada Ujang yang menyuguhkan teh."Eh, saya kira Ra
"Coba, Ayah bertanya. Lebih ganteng mana, Ayah atau si Kevin yang di toko Kak Nesta itu?" Malam-malam, kalau tidak sibuk Viano biasanya mengobrol dengan Raja. Mata si kecil itu mendongak ke atas, menatap langit-langit rumahnya sambil membayangkan wajah Kevin. Setelah beberapa detik menunggu, jawabannya sungguh mengejutkan. "Ayah itu ganteng, tapi Ayah sudah tua." Viano mengerutkan dahi. Untunglah Raja adalah anak kesayangannya, kalau bukan, sudah dia cubit kepalanya. "Bagaimana mungkin Ayahnya dibilang tua." Tanpa disadari oleh Viano, memang dia jauh lebih tua dari Kevin. "Rambut Ayah itu sudah seperti orang tua. Kalau Om Kevin, rambutnya bagus, ke atas semua. Dahi Ayah sudah ada keriputnya, Om Kevin belum." "Tapi, Ayah tetap yang paling keren, 'kan?" Raja mengangguk. "Ayah itu keren, tapi kerjaannya marah-marah terus. Kalau Om Kevin itu orangnya baik, sabar. Jadinya, Kak Nesta lebih suka sama dia." Memang benar. Kevin lebih santai, ada masalah atau yang tidak beres dia diskusi
"Keluarlah kamu, Van!" seru Viano. Memang kesalahannya, saat ditanya oleh atasan memberikan jawaban yang tidak masuk akal.Dengan sikap yang masih tenang, Ivan bisa saja berpura-pura. Namun, di dalam hatinya, ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Sungguh, saya serius, Pak. Kalau memberikan yang lain, belum tentu digunakan, tapi kalau yang itu, pasti akan digunakan.""Lantas, saya tidak tahu ukurannya!" Viano meradang. "Kenapa kalau terlalu kecil atau terlalu besar, bagaimana coba?""Coba tanyakan dulu, kepada orangnya langsung atau Bapak gunakan ilmu kirologi alias perkiraan."Karena Ivan menyebutkan tentang menggunakan ilmu perkiraan, Viano tanpa sadar malah mulai memikirkan Nesta."Bapak pasti bisa!" bisik Ivan."Ish!" Viano merasa ngeri. Ia merasa jijik dengan pikirannya sendiri. Lalu, untuk apa Ivan memberikan semangat kepadanya?"Keluar, Van, atau saya akan memecat kamu!" Viano benar-benar marah.Ivan tidak bisa menahan lagi, tawanya pun pecah. Bosnya memang keras, tapi bukan tipe ya
Viano pulang dari pekerjaannya. Suasana di rumah terasa biasa saja, tidak ada perubahan apapun. Mia akan segera mengucapkan selamat tinggal untuk pulang jika Viano sudah berada di rumah. Raja sama sekali tidak mengungkapkan bahwa Garseta sempat mampir ke rumah hari itu, begitu pula dengan Mia. Keduanya sama-sama tidak berani mengatakannya, takut akan menimbulkan masalah. Namun, ekspresi muram di wajah Raja tidak bisa berbohong. Saat ditanya mengapa ia begitu pendiam, dia berusaha menutupinya dengan mengatakan tidak ada apa-apa.Sebenarnya, bisa dikatakan perasaan Raja saat ini sangat sakit dan hancur. Meski ia belum dewasa dan kurang memahami apa yang dikatakan oleh neneknya, namun Raja sedikit banyak mengerti maksud dari perkataannya.Selama ini ia sering bertanya siapa ibunya. Namun, Viano tidak pernah bersedia menjawab dengan jujur. Ia selalu mengarang cerita atau mencari alasan lain. Dan tadi, Raja mendengar langsung dari Garseta bahwa seharusnya ia ikut meninggal bersama ibunya.
Mempertimbangkan saran Ivan—yang menyebutkan tentang memberikan hadiah berupa barang yang benar-benar dibutuhkan—Viano memutuskan untuk membelikan Nesta sebuah jam tangan. Bukan jam tangan mewah seperti Rolex atau Richard Mille, hanya jam buatan lokal, namun dengan kualitas yang terbaik.Nesta belum memiliki jam tangan, dia pasti membutuhkannya. Sebaiknya, jam tersebut dilengkapi dengan alarm, agar ia bisa menyadari jika terlalu lama berada di dekat Kevin.Cemburu? Oh, tidak! Viano tidak merasa cemburu terhadap Nesta. Dia hanya tidak suka melihat Nesta bersikap sopan dan berpikir lurus hanya ketika bersama Kevin, sementara ketika dengan dirinya, Nesta selalu bertindak sembrono dan membuatnya kesal.Setelah mencari-cari sejenak, Viano memilih sebuah jam tangan yang tampak etnik, dengan tali jam terbuat dari kayu. Awalnya dia berpikir bahwa itu akan tidak nyaman dipakai, ternyata dia salah. Jam tersebut nyaman untuk dipakai dan tentunya, ia juga telah mendukung program 'Cintai Produk In
Demi apa, Kevin sepanjang malam dipenuhi pikiran tentang Nesta yang mengungkit masalah goyang. Hingga ia pulang kerja tadi, sebelum apa-apa, yang pertama ia lakukan adalah pergi ke depan cermin. Berdiri di sana sambil merenung; kira-kira bagaimana cara Nesta bisa membuktikan pria sesuai dengan kriteria yang diinginkannya, terutama masalah 'goyang' itu.Apakah memang harus praktik terlebih dahulu, baru dianggap sah? Itu kan tidak dibenarkan. Kevin merasa takut dengan hal seperti itu. Tidak ada hubungan seksual sebelum menikah.Lalu, jika Kevin tidak bisa membuktikannya, apakah harus pria lain yang membuktikannya? Berarti Nesta....Aduh, demi apa! Kevin sampai menggeleng-gelengkan kepala sendiri karena kepolosan Nesta yang begitu terang-terangan dikombinasikan dengan sifat Kevin yang mudah terganggu oleh hal-hal sepele, akhirnya menjadi seperti ini.Sungguh, sepertinya Kevin harus bertanya langsung kepada Nesta besok. Jika bisa, memberikan arahan kepadanya agar tidak terfokus pada masal