Pagi datang, namun WarKoDuBa belum buka seperti biasa.Bukan karena kesiangan. Tapi karena ada yang terasa... berat.Dimas membuka gorden jendela dan melihat kursi nomor empat. Kursi itu kosong, seperti biasa, tapi ada hawa berbeda. Seperti aroma kopi yang belum diseduh tapi sudah menyesakkan dada.Karina datang dengan ekspresi bingung. “Semalam... aku mimpi. Aku duduk di kursi itu, tapi semua warna di sekitarku menghilang. Hanya tinggal hitam putih.”Toyo menggigil saat lewat di depannya. “Mas... kursi itu... manggil aku.”Randi mengangkat alis sambil membawa tripod. “Apa jangan-jangan itu konten viral baru? ‘Kursi Kesepian, Duduk Sekali Jadi Mellow Seharian?’”Dimas mendesah. “Kayaknya kursi nomor empat belum selesai bicara.”---Siang harinya, pelanggan pertama datang. Seorang perempuan tua membawa tas kain berisi buku lusuh dan selembar foto anak kecil.Ia langsung menuju kursi nomor empat dan duduk tanpa ragu.“Kopi pahit, tanpa gula. Tapi... tambahkan sedikit rasa rindu,” pintan
Malam bergulir pelan. Suasana WarKoDuBa mulai tenang setelah drama emosi yang mewarnai hari. Karina kini tampak lebih ringan, seperti beban yang selama ini menggantung di dadanya telah dicuci bersih oleh air mata dan kopi ekstrak rasa tertunda.Namun, saat jam menunjukkan pukul 00:01, hal aneh kembali terjadi.“Mas Dimas... meja nomor dua... ngorok,” bisik Toyo sambil menunjuk pelan ke salah satu meja kayu yang tak ditempati siapa pun sejak pagi.Dimas menoleh. “Ngorok?”“Kayak... suara dari bawah meja gitu. Tapi jelas banget.”Randi, yang tengah mengedit konten ‘Karina Reborn’, meletakkan laptopnya. “Eh... ngorok bukan ciri-ciri arwah penasaran yang belum tidur abadi ya?”Karina berdiri, mendekat dengan hati-hati.“Bawah meja ini?” tanyanya.Mereka semua mendekat.Dan benar. Dari bawah meja nomor dua, terdengar suara berat, pelan, seperti seseorang tidur mendengkur.---“Mas, jangan-jangan ada homeless antar-dimensi lagi mampir,” ujar Randi sambil siap-siap merekam.“Ini beda,” bisik
Pagi di WarKoDuBa dibuka dengan kebiasaan baru: Toyo menyapu lantai sambil menyanyikan lagu daerah versi dangdut remix, Dimas menyeduh kopi untuk dirinya sendiri (karena pelanggan belum ada yang datang), dan Randi sibuk merekam semua aktivitas itu dari sudut-sudut absurd untuk konten “Behind the Beans.”Namun pagi itu berbeda. Semua kegiatan terhenti saat suara isak tangis terdengar dari meja pojok.Karina menangis.Diam-diam. Perlahan. Tapi nyata.Padahal ia tidak sedang meminum kopi rasa ‘kehilangan’ atau ‘penyesalan’. Cangkirnya hanya berisi kopi susu biasa—resep nostalgia dari hidupnya dulu. Tapi air mata mengalir begitu saja. Tanpa sebab, tanpa aba-aba.---“Ada apa ini?” Dimas mendekat sambil menaruh lap di bahunya.Karina buru-buru menyeka matanya, meski itu sia-sia.“Gak tau. Aku... nangis aja. Tiba-tiba.”Toyo ikut mendekat, wajah polosnya bingung. “Kak Karina habis nonton drama Korea dimensi sebelah ya?”Karina menggeleng. “Nggak nonton apa-apa. Nggak mikirin siapa-siapa.”R
WarKoDuBa selalu punya aroma khas: campuran kopi robusta panggang, kemenyan sisa ritual pelanggan, dan sedikit bau kenangan yang belum reda. Tapi malam itu, ada aroma lain menyusup di antara semuanya. Aneh. Lembut. Seperti... ingatan akan tempat yang belum pernah dikunjungi.“Mas Dimas, ini apa ya?” tanya Toyo sambil mencium udara di belakang mesin espresso. “Kok kayak bau... anggrek yang pernah mimpi?”“Bau anggrek mimpi apaan?” Randi mencibir. “Itu pasti sisa seduhan kopi rasa rindu-dalam-tidur.”Namun Dimas hanya diam, matanya tajam menatap pintu belakang.“Mas,” bisik Karina, “bau itu... datang dari dimensi lain. Aku kenal baunya. Itu... aroma transisi.”---Mereka berkumpul di belakang warung, tempat dinding tua dan jendela kecil menghadap ke gang buntu yang biasa dilalui makhluk-makhluk ‘bukan pelanggan’. Tapi malam ini, gang itu tidak sepi. Temboknya berdenyut pelan. Seperti napas. Dan dari sana, aroma aneh itu semakin kuat.Tiba-tiba, suara ketukan tiga kali terdengar. Bukan d
Pagi di WarKoDuBa selalu punya suara unik: dengkuran tuyul yang baru tidur setelah semalaman keluyuran, suara mesin penggiling kopi kuno yang batuk-batuk, dan kadang dentingan sendok yang jatuh sendiri padahal tak ada yang menyentuh. Tapi pagi ini, semua itu tenggelam oleh satu suara: ketukan di pintu warung.Toyo membuka pintu dengan semangat. Ia baru pulang dari semedi pelatihan “mengerti rasa lewat mimpi” selama dua hari. “Selamat pagi! Silakan masuk—eh?”Tak ada siapa pun.Di depan pintu hanya ada satu koper besar berwarna hitam dengan stiker dunia: ‘Dunia Bawah’, ‘Ruang Mimpi Retak’, ‘Zona Transit Kenangan’, bahkan satu dari ‘Lapisan Ketujuh Kekecewaan’. Di atas koper itu... secarik kartu nama.Karina mengambilnya.Tertulis:> “Tuan X. Tamu Sementara. Profesional dalam Rasa yang Tak Terdefinisi.”Dimas menatapnya lama. “Kayaknya ini bakal jadi hari yang panjang.”---Dua menit kemudian, seseorang muncul dari balik bayangan pojok warung. Tingginya sedang. Rambutnya bergelombang, s
WarKoDuBa memiliki banyak benda aneh yang tidak bisa ditemukan di warung kopi biasa: teko yang pernah menangis, mesin espresso yang terkadang menyeduh lagu sedih, dan piring-piring yang hanya retak kalau pemiliknya sedang jatuh cinta. Tapi dari semua benda aneh itu, tak ada yang lebih misterius daripada Kursi Nomor Empat.Kursi itu terletak di pojok dekat rak buku tua, tepat di bawah lukisan kabur yang selalu bergoyang sendiri meski tak ada angin. Sejak awal warung ini berdiri, kursi itu sudah ada. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang ingat kapan pertama kali dibawa masuk.Dimas pernah bilang, “Kursi itu... bukan kita yang beli.”Toyo, si asisten polos yang kembali dari pelatihan magang di dimensi lain, pernah mencoba duduk di kursi itu waktu awal-awal magang. Lima menit kemudian dia menangis tersedu-sedu karena tiba-tiba merasa bersalah pada ayam kampung yang pernah ia usir saat kecil.Setelah kejadian itu, kursi nomor empat dibiarkan kosong. Selalu kosong.---Suatu sore, warung m