Home / Romansa / Balada Cinta Sang Presdir / Bab 2: Napas Terakhir

Share

Bab 2: Napas Terakhir

Author: Rihanna Roi
last update Last Updated: 2025-01-10 14:35:48

Sore itu langit Jakarta mulai memerah di ufuk barat, menyisakan cahaya lembut yang menyelinap melalui jendela kamar 407 di RS Medika Senayan. Andreas baru saja meninggalkan ranjang Maya setelah kunjungan singkat. Kini ia duduk di balik kursi kemudi sedan hitamnya. Andreas berhenti di lampu merah di kawasan Sudirman. Tak jauh dari rumah sakit. Jas hitamnya tergeletak di balik kursi penumpang. Kemeja putih Andreas agak berkeringat setelah hari yang panjang. Ia menyalajan musik klasik, mencoba mengusir keheningan ketika ponsel dalam dashboard bergetar keras.

“Nomor rumah sakit?” batin Andreas. Tak seperti biasanya, jantung Andreas pun berdebup kencang. Dia mencoba menenangkan diri sebelum menekan tombol accept. Mungkin cuma laporan rutin. Tapi … kenapa nggak secara offline tadi?”

“Halo?” kata Andreas.

“Halo, Pak Andreas?” suara perawat di ujung telepon terdengar canggung dan penuh hati-hati. “Ini dari RS Medika Senayan. Saya … saya perlu bicara soal Ibu Maya.”

“Apa kabarnya?” tanya Andreas cepat. Nada tegas menyembunyikan getaran kecil di ujung kalimat. Tangan mencengkeram kemudi lebih erat, dan mata tertuju ke lampu merah yang masih menyala.

Perawat itu terdiam sejenak, lalu berkata. “Maaf, Pak. Baru saja Ibu Maya … beliau meninggal. Elektrokardiogram di kamar 409 mendadak berubah flatline. Kami sudah mencoba resustasi, tapi tidak ada respon. Dokter Rudi sudah berusaha tetapi tidak ada perubahan apa pun.”

“Apa?” Seketika Andreas merasa dunia sekitarnya membeku. Bunyi klakson mobil di belakangnya terdengar jauh. Lampu merah yang berubah hijau tak lagi ia pedulikan. “Nggak mungkin. Aku baru dari sana, tadi aku di kamarnya! Dia … dia baik-baik saja tadi, sungguh!”

“Saya tahu ini berat, Pak,” balas perawat itu, suaranya penuh empati. “Kami juga kaget, kondisinya masih stabil saat Bapak pergi. Tapi tiba-tiba drop beberapa menit kemudian. Bisa Bapak balik ke sini secepatnya? Dokter Rudi ingin menyampaikan sesuatu.”

Andreas pun tak menjawab dan memutus telepon tanpa pamit. Tangannya gemetar meletakkan ponsel kembali ke dashboard. Nggak mungkin,” katanya lebih keras seolah menolak kenyataan. Dengan gerakan cepat, Andreas memutar setir mengarahkan mobil menuju rumah sakit yang baru dia tinggalkan. Jalanan sore itu pada, tapi Andreas memaksa masuk celah-celah. Pikiran kacau dan tanpa sadar lelaki itu meneteskan air mata.

“Sayang ….”

Di kamar 407, Andreas berdiri di depan ranjang Maya yang kini kosong. Selimut sudah dilipat rapi dengan buket mawar putih yang dia bawa tadi sore. Kelopaknya mulai gugur. Alat-alat yang biasanya berbunyi kini diam, menyisakan keheningan menusuk ke dalam dada.

Dokter Rudi berdiri di sampingya memegang berkas medis dengan ekspresi muram. Lelaki itu membiarkan Andreas menerimanya dengan tatapan mata kosong.

“Aku benar-benar nggak ngerti, Dok ….” kata Andreas dengan suara serak. “Tadi aku di sini memegang tangannya, dan bakal balik seminggu lagi. Dia juga nggak ngasih tanda apa-apa.”

Dokter Rudi menghela napas panjang. “Kami juga terkejut karena CCTV menampilkan, saat Bapak pergi paramternya masih stabil. Tapi beberapa menit setelah itu detak jantung pasien berhenti tiba-tiba. Kami tim medis mencoba memeriksa kondisinya setelah itu, namun beliau ternyata sudah pergi. Kami mohon maaf sebesar-besarnya.”

Andreas menatap dokter itu, matanya merah. “Jadi, ini salah siapa, Dok? Salahku karena ninggalin dia tadi? Atau Bapak yang nggak merhatiin dia lebih baik?” tukasnya.

“Ini bukan salah siapa-siapa,” jawab Dokter Rudi pelan. “Kecelakaan lima tahun lalu telah mengambil banyak dari hidup pasien. Tubuhnya hanya sanggup bertahan sampai di sini.”

Andreas tertawa kecil, tapi tak ada kegembiraan di dalamnya. “Lima tahun belakangan aku masih ngomong sama dia, dan sekarang Bapak bilang dia pergi begitu saja?” katanya. Dokter Rudi pun meletakkan tangan di Pundak Andreas, untungnya tidak ditepis kasar.

“Bapak sebaiknya istirahat sejenak,” kata Dokter Rudi. Dia pun keluar, untuk membantu proses pemindahan jenazah. Andreas sendiri tahu harus mengurus pemakaman, dokuman dan segalanya secepat mungkin. Namun dirinya duduk dan tenggelam dalam duka yang menyerang tanpa aba-aba. Di dalam dirinya, ada bagian dari hati Andreas yang mati bersama sang istri tercinta.

“Kenapa kamu nggak menunggu aku mikir dulu, May?” batin Andreas. “Kenapa kamu meninggalkan aku kayak gini,”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 26: Menuju Pengadilan

    Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 25: Berjuang Bersama

    Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 24: Harga Kepercayaan

    Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 23: Bayang di Ambang Pintu

    Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 22: Bukanlah Jurang

    Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 21: Konfrontasi Mama

    Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status