Share

Bab 1: Bayangan

Author: Rihanna Roi
last update Last Updated: 2025-01-10 14:26:57

Pagi itu udara Jakarta terasa lebih dingin daripada biasanya. Andreas melangkah masuk ke dalam Lorong steril rumah sakit swasta di bilangan Senayan. Kamera keamanan berdengung pelan di sudut plafon, aroma antiseptic menusuk hidungnya. Andreas mengenakan jas abu-abu tua yang sedikit kusut setelah dipakai rapat direksi. Di tangannya terdapat buket mawar putih—yang merupakan favorit Maya, istrinya.

Kamar 407, ruangan khusus yang menjadi bagian hidup Andreas lima tahun terakhir, terletak di ujung koridor. Dua perawat berpapasan dengannya mengangguk sopan. Mata Andreas tertuju lurus ke depan, pikirannya bergulat dengan perkataan dokter kemarin sore.

Dokter Rudi, spesialis saraf yang menangani Maya sejak awal mengajak Andreas duduk di ruang konsultasi yang dipisahkan meja kayu sederhana. “Sudah lima tahun, dan aktivitas otak istri Anda terus menurun. Alat bantuan hidup ini mungkin hanya memperpanjang penderitaannya. Saya sarankan Bapak pertimbangkan melepasnya saja. Kami selaku tim medis sudah berusaha maksimal, tetapi sepertinya kali ini tak ada harapan.”

“Melepas?” Andreas menatap dokter itu dengan mata merah, suaranya serak. “Maksud Anda apa ya, Dok? Nyawa manusia itu cuma barang yang bisa dilepas?”

Dokter Rudi pun menghela napas, menjaga nada tetap tenang. “Saya paham perasaan Bapak, tapi secara medis peluangnya hampir nol. Kita bicara kualitas hidup, Pak. Kalau kita terus bertahan hanya akan menyakiti dia lebih lama. Saya tak tega melihat istri Bapak berjuang seperti itu, saat setiap hati saya tahu kondisi beliau sudah tak mampu bertahan.”

“Menyakiti?” Andreas tertawa pahit. Tanganya mengepal di atas meja. “Dia nggak bilang apa-apa, Dok. Istri saya cuma diam di sana, bukankah justru bila aku melepas alat itu, aku lah yang bunuh dia?” bantahnya.

Dokter Rudi membalas lembut, ingin Andreas berangsur tenang. “Bapak tidak membunuh dia, Pak. Bapak itu membiarkan istri pergi dengan damai. Bukankah Bapak tahu kecelakaan kemarin bukan salah Bapak? Lagipula nggak ada Bapak di TKP sehingga dulu murni kecelakaan karena mabuk.”

Andreas bangkit dari kursi, dadanya terasa sesak. “Bukan salahku? Tapi aku terlalu sibuk waktu itu—sampai tidak tahu istriku memendam rasa stress karena dinyatakan mandul oleh dokter obygn pribadinya. Aku tidak ada waktu bersamanya, Pak. Aku yang membiarkan dia frustasi sendirian dalam posisi itu.”

Dokter Rudi pun hanya diam, tak tahu kata apa yang tepat untuk disampaikan untuk menembus rasa bersalah Andreas. Dia biarkan Andreas mempertimbankannya kembali dengan pikiran jernih.

Kini di depan pintu kamar 407, Andreas menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintunya. Ruangan itu terasa menggigil karena AC dan suasana hati memburuk. Andreas hanya ditemani bunyi ritmis alat bantu napas dan monitor jantung berdetak lambat. Maya terbaring di ranjang, wajahnya pucat pasi tapi masih secantik dulu. Rambut hitamnya disisir rapi oleh perawat dan selimut putih menutupi tubuhnya yang makin kurus. Di samping ranjang sebuah foto pernikahan mereka tersenyum dari bingkai kecil. Momen yang sudah lima tahun berlalu.

Andrram menarik kursi ke samping ranjang, lalu duduk. Ia memandang wajah Maya lama, tangannya gemetar saat meletakkan buket di atas nakas. “Pagi, Sayang,” sapanya pelan. Suara hampir tenggelam oleh bunyi mesin. “Aku … aku bawa mawar putih buat kamu. Masih suka, kan?”

Tentu tak ada jawaban, hanya desis pelan ventilator yang mengisi keheningan. Andreas menunduk, jari-jarinya mencengkeram lutut sendiri. “Kemarin dokter bilang sesuatu, May. Dia bilang … aku harus menyerah perjuangin kamu. Dia bilang kamu nggak bakal bangun lagi, dan kembali ke pelukanku.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu harus apa, karena lima tahun ini bayangan kamu nggak pernah hilang dari hidup aku. Tapi … aku sebenarnya juga nggak bisa lihat kamu kayak gini terus. Kamu nggak layak kayak gini.”

Andreas mengusap wajahnya kasar, mencoba megusir air mata yang berakhir jatuh. “Lima tahun aku ke sini, setiap minggu buat ngomong sama kamu. Tapi kamu belum buka mata juga. Aku pikir, aku kuat tapi nggak tahu harus gimana lagi. Pekerjaan numpuk banget, orang-orang ngomongin nasib kamu di belakang, dan sekarang dokter bilang aku harus relain kamu?”

Andreas memandang tangan Maya yang tergeletak lemah di sisi ranjang. Dia menggenggam pelan dan jari jemari membelai kulit yang sudah dingin. “Sebetulnya, kemarin aku bertemu seseorang Bernama Lara. Padahal obrolan kami biasa, tapi aku merasa ringan saat bicara dengannya. Aku juga tertawa kecil di tengah-tengah stress, padahal kan … aku nggak seharusnya tertawa di situasi ini. Aku harusnya tetep nunggu kamu sampai sembuh.”

Ia menutup mata, napasnya tersendat. “Kalau kamu bisa ngomong, apa yang bakal kamu bilang? Kamu bakal suruh aku bertahan atau nyerah sampai sini aja …”

Ruangan tetap sunyi, hanya bunyi mesin yang menjawab, dan Andreas berjelan menuju ke jendela. Dia melepaskan tangan Maya, kemudian memandnag keluar ke arah kota yang ramai. “Aku nggak tahu harus apa, mungkin cuma capek ngurus perusahaan dan ngerasa kangen kamu setiap hari.”

Andreas menoleh lagi ke ranjang, matanya penuh dengan konflik. “Aku balik lagi minggu depan ya? Aku … aku cuma butuh waktu buat mikir, Sayang,” katanya.

Lelaki itu lantas meninggalkan kamar dengan langkah berat. Pintu menutup pelan di belakangnya, sementara di dalam Maya tetap diam dan terperangkap dalam tidur abadinya karena mendadak elektrokardiogram telah menunjukkan garis lurus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 26: Menuju Pengadilan

    Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 25: Berjuang Bersama

    Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 24: Harga Kepercayaan

    Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 23: Bayang di Ambang Pintu

    Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 22: Bukanlah Jurang

    Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 21: Konfrontasi Mama

    Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status