Seminggu setelah kematian Maya, apartemen Andreas di kawasan Menteng terasa lebih sunyi daripada biasanya. Di meja makan, laporan keuangan perusahaan yang seharusnya ia tandatangani masih terbuka, pena tergeletak begitu saja di samping kopi. Andreas duduk di balkon, memandang lampu kota yang berkelap-kelip, segelas whiski di tangannya hampir kosong. Andreas tak ingat kapan terakhir tidur lebih dari dua jam.
Di kantor efek duka tersebut terlihat nyata. Andreas yang biasanya tegas nan penuh kendali, kini sering membatalkan rapat tanpa alasan jelas. Asistennya, Bima sudah tiga kali mengingatkan presentasi penting dengan investor minggu depan, tapi Andreas hanya menjawab dengan tatapan kosong. “Nanti saja,” katanya.
Email-email kantor menumpuk di kotak masuk. Telepon dari mitra bisnis hanya dijawab dengan pesan singkat oleh Bima: “Pak Andreas sedang tak bisa diganggu.”
Pagi itu pintu apartemen diketuk keras, dan Andreas mengabaikannya. Namun, ketukan itu berubah menjadi dering bel yang tak henti-henti. Dengan langkah gontai, Andreas membukanya. Di depan sana berdiri Rina, sang adik perempuan yang berusia 32 tahun. Bersama sang ibu, yang telah menua tapi masih tampak segar.
“Kak, ya Tuhan kok kamu jadi gini?” Rina masuk tanpa permisi. Matanya langsung memindai kekacauan dalam ruangan. “Ini apa? Kamu nggak makan ya? Lihat, mukamu sampai pucet banget!” serunya cemas.
“Masuk aja, Rin,” jawab Andreas lemah. Suaranya datar, dan ia kembali ke balkon tak peduli sang ibu mengikuti dengan tatapan khawatir.
Mahrani duduk di kursi seberang Andreas, tangannya memegang tas kecil yang selalu ia bawa. “Nak, Ibu tahu kamu lagi susah hati. Maya pergi … itu pasti berat buat kamu dan keluarganya. Tapi kamu nggak boleh gini terus. Kedua mertuamu lho sampai menanyakan kemarin. Bagaimana kondisi Andreas? Kata mereka, sampai Ibu bingung bagaimana menjelaskannya. Lihat dirimu, kayak orang ilang jiwa.”
Andreas menatap gelas wiskinya. Rina yang sibuk memeriksa dapur kembali dengan berkacak pinggang. “Kak! Kulkasmu kosong melompong, terus ada laporan di meja kantor numpuk banget! Kamu nggak kerja lagi sekarang? Perusahaan gimana?”
“Perusahaan baik-baik saja,” balas Andreas terdengar dingin. “Ada orang lain yang ngurus, jadi kamu diem aja. Semua ini nggak ada hubungannya sama kamu.”
“Baik-baik aja kata Kakak?” Rina mendekat, suaranya menunggi. “Padahal aku denger dari temenku di kantormu, katanya kamu nggak pernah bales e-mail. Rapat banyak yang batal, investor pada bingung ngadepin kamu. Kak, aku paham kamu sedih, tapi jangan nyerah gini!”
“Rina, cukup,” potong Maharani lembut. Matanya tak lepas dari Andrewaa. “Nak, Ibu nggak mau maksa kamu cerita, tapi kurang tega melihatmu hancur berantakan. Maya udah pergi, tapo hidupmu nggak boleh ikutan berhenti, hm?”
Andreas tertawa pelan, tapi pahit. “Hidupku sudah berhenti lima tahun lalu, Bu. Waktu istriku kecelakaan. Sekarang lebih jelas aja.”
Rina menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Kak, kita semua sayang Maya. Aku sudah menganggapnya kakak sendiri. Tapi lihat … kamu udah nggak mandi berapa hari? Bajumu bahkan sama dari kemarin. Aku takut, Kak. Kamu merusak kehidupan yang udah dibangun selama ini—jadi tolong. Perhatiin diri kamu juga.”
“Aku baik-baik aja, Rin,” balas Andreas, tapi suaranya kosong tak meyakinkan. Ia menuang sedikit whiski ke gelas, tangannya agak gemetar.
“Kamu bilang gitu tapi nyatanya nggak Kak!” Rina hampir berteriak. “Kantor butuhin kamu, keluarga butuhin kamu. Aku juga butuh kamu—aku ingin … melihat kakakku bahagia lagi seperti dulu. Jangan sampai aku kehilangan kakakku gara-gara peristiwa ini.”
Maharani mengangkat tangan, menenangkan Rina lalu menatap Andreas dalam-dalam. “Nak, Ibu rasa kamu sangat kehilangan. Bapakmu pergi waktu kamu kecil, Ibu juga ngerasa dunia ini selesai. Tapi kamu punya banyak perbedaan. Kamu masih muda dan pantas memperbaiki banyak hal lebih dini. Kamu juga punya tanggung jawab. Atas pekerjaanmu dan orang-orang yang ngandelin kamu. Ibu yakin Maya pun nggak mungkin seneng lihat kamu kayak gini.”
Andras memandang ibunya, matanya mulai basah tapi masih berusaha ditahan. “Bu, aku cuma butuh waktu. Aku … nggak tahu caranya lanjut. Setiap membuka mata dan bangun tidur, aku berpikir masih berada di rumah sakit. Aku genggam tangan Maya. Tapi sekarang dia nggak ada.”
Rina duduk di samping Andreas, menggenggam tangannya begitu erat. “Kak, aku nggak bilang kamu harus lupain Maya. Kamu hanya harus tetep hidup baik. Kalau nggak buat kamu sendiri, buat kami. Buat perusahaan yang udah kamu pegang selama bertahun-tahun. Aku tahu Kakak bisa.”
Andreas menunduk, jari-jarinya mencengkeram gelas lebih erat. “Aku coba, Rin. Tapi aku capek. Capek ngurus semuanya, capek pura-pura kuat.”
Maharani mengangguk, lalu berdiri memeluk Andreas dari samping. “Sayang, kamu nggak harus kuat sendirian. Kami di sini untuk kamu. Bangkit pelan-pelan ya Nak. Mulai pekerjaanmu dan hidupmu.”
Andreas tak menjawab, tapi pelukan ibunya begitu hangat. Sesuatu yang lama tak dia rasakan. Rina menghela napas, lalu mengambil gelas wiski dari tangan sang kakak. “Mulai sekarang nggak ada minuman kayak begini lagi. Aku masakin kamu, terus kamu mandi. Besok kamu ke kantor, aku anterin kalau perlu.”
“Rin, aku nggak—”
Andreas mulai protes tapi Rina memotongnya.
“Nggak ada tapi-tapian! Aku adikmu, pokoknya harus boleh maksa!” tegasnya lalu berjalan ke dapur dengan langkah tegap.
Maharani pun tersenyum kecil sebelum duduk kembali. “Dengerin tuh Adikmu. Dia bahkan rela ke sini dan membatalkan kencan dengan pacarnya. Rina khawatir banget, ingin kamu supaya lekas-lekas menjalani segalanya dengan bahagia seperti dulu.”
Andreas hanya menghela napas pasrah.
Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke