Share

Chapter 1

last update Last Updated: 2024-04-04 05:59:02

"Tuhan akan melaknat para keparat itu, aku takkan membiarkan mereka bertaubat!"

Ratih kembali menjalani hari-harinya dengan sisa tenaga yang ia punya, rasanya aneh jika rumah begitu sepi tanpa siapapun selain dirinya. Malam yang begitu sunyi dan senyap, hanya suara televisi yang memenuhi ruangan.

Melongok ke dapur memandang sendu, biasanya malam sebelum hari berganti Ratih memasak bersama ibunya dan membuat beberapa makanan untuk dijual dikemudian hari. Kini ia sendirian duduk di ruang tengah dengan televisi yang menyala menontonnya.

Ratih terbangun dengan pegal di sekujur tubuhnya, posisinya sungguh tak karuan, kakinya di atas dengan badannya menyamping kebawah. Selimutnya teronggok tak berdaya dilantai dengan bantal kecil disebelahnya.

"Sial, ini sungguh pegal," gerutu Ratih memegangi pinggangnya.

Televisi masih menyala belum dimatikan, untungnya tidak meledak karena terlalu lama dinyalakan. Mencari remote control dan menekan tombol power off, Ratih melihat ke ponselnya sudah menunjukkan pukul 5.14.

"Masih ada sedikit waktu untuk mengasah kapak, huh."

Ratih berjalan ke dapur belakang, masih ada sisa kayu bakar untuk memasak air. Melihat itu membuatnya teringat sang ibu, rasa sendu menghampirinya seketika. Dirinya teringat setiap pagi sang ibu sedang memasak air di dapur belakang dan dirinya yang menunggu air untuk mandi.

"Hm, mandi air dingin saja."

Tak butuh waktu lama untuk Ratih mandi dan bersiap, kini ia sudah rapi dengan seragam abu-abunya. Ia belum makan sejak malam tadi, perutnya keroncongan meminta di isi. Memutuskan untuk memasak mi instan saja dengan telur dadar pelengkapnya, kalaupun menanak nasi akan memakan waktu lama.

"Tuhan, terimakasih untuk makanan di pagi ini, tolong kuatkan langkahku menegakkan keadilan. Aameen," do'a Ratih penuh kesungguhan, barulah gadis itu menyantap makanannya.

***

"Apa kau akan tetap berangkat nanti?" tanya Reva, teman sekelas Ratih.

"Ya," jawab Ratih datar.

Reva dan Gina saling menatap dalam diam, mereka paham temannya masih dalam keadaan berduka. Reva kemudian mendekati Ratih dan memeluknya penuh kehangatan, Gina mengikutinya, mereka bertiga berpelukan saling menguatkan.

Ratih menangis dalam diam, dirinya begitu merasa terharu, setidaknya ia masih memiliki teman di sekolah. Di sini di kelas, Ratih tidak sendiri, ada 2 teman yang setia sejak mereka mengenal di bangku kelas 10.

"Aku bisa mengizinkan mu ke pelat-"

"Tak perlu, aku harus berangkat," tegas Ratih memotong pembicaraan Reva.

Hari ini ada jadwal untuk latihan beladiri, Ratih takkan melewatkan latihan ini, ini akan sangat membantunya. Membantunya lebih kuat dan tahan banting menghadapi tantangan di masa depan.

Reva mengangguk paham, temannya yang satu ini selalu teguh pada pendiriannya. Kadang Reva juga heran, ia tahu betapa beratnya hidup Ratih yang hanya hidup berdua dengan sang ibu, dan kini malah ibunya meninggalkannya sendirian selamanya.

Reva mengeratkan pelukannya ke Ratih, hatinya begitu sesak matanya perih membayangkan kejadian memilukan itu. Ia dan Gina ikut menyaksikan bagaimana hasil kekejian para keparat berbatang itu. Sial, membayangkannya saja bagian bawahnya terasa ngilu.

"Ayo, aku sudah lapar," ajak Gina melepaskan pelukannya, mata gadis itu sedikit sembab.

"Siapa yang mengajak, dia yang membayar," sahut Reva senang.

"Siapa takut," ucap Gina sembari memamerkan uang berwarna merah dari sakunya.

"Dasar orang kaya."

Mereka bertiga berjalan keluar menuju kantin, kantin tampak begitu ramai hanya sisa bangku di sisi pojok kanan ruangan.

"Kau pesan, kami tunggu disana," titah Gina ke Reva dan berlalu menggandeng Ratih.

Menghela nafas pasrah Reva pergi ikut mengantri, memesan jenis makanan seperti biasa.

Ratih dan Gina duduk di bangku mereka, disini sudah lumayan sepi karena berada di pojok.

"Sebenarnya aku merasa aneh, kau tau kan 3 orang itu?" tanya Ratih tiba-tiba.

Gina mengeluarkan ponselnya menunjukkan beberapa foto, "Aku juga, coba kau perhatikan mereka. Ada yang aneh, tapi ..., aku tidak tahu apa?"

Ratih ikut melihat ke layar ponsel itu, disana ada tiga pria tersangka yang sudah ditangkap. Mereka bertiga memiliki fisik yang buruk dimatanya dari sisi manapun, seketika tangannya mengepal kuat. Sudah jelek, bejat, bodoh pula, geramnya. Ratih sangat ingin menghajar mereka, namun ia tahan dengan sangat karena itu urusan pihak berwenang.

Lama memandangi foto itu, Ratih menyadari sesuatu.

"Coba perbesar ini," tunjuk Ratih ke area telinga belakang foto pria pertama. "Apa kau melihatnya?"

"Hm? Anting?" tanya Gina.

"Bukan, ini seperti ..., tato?"

Gina memperhatikan kembali yang Ratih tunjukkan, memang benar di area telinga belakang pria itu ada tato kecil berwarna coklat yang menyatu dengan kulit sehingga tidak terlalu terlihat.

Ratih menggeser foto mencari-cari pria tersangka lainnya, dan benar masing-masing dari mereka memiliki tato kecil di area belakang telinganya.

"Hei, apa yang kalian lakukan?" tanya Reva yang datang membawa nampan berisi pesanan, meletakkannya ke tempat masing-masing.

"Duduklah, lihat ini."

Reva duduk dan memandang mengikuti arah yang ditunjuk Ratih.

"Mereka? Tersangka?" tanya Reva setelahnya.

"Ya, perhatikan kesamaan ini."

Reva mendekat lagi, Ratih menunjukkan beberapa foto tato kecil itu.

"Kalian tau apa yang ku pikirkan?" ucap Ratih.

Gina dan Reva mengangguk pelan, mereka tahu jika ini adalah tanda. Ini bukan pemerkosaan sekedarnya, ini pembunuhan berencana. Ratih ingat tato kecil itu hampir mirip dengan ukiran naga di gagang celurit itu.

"Kita izin ke pelatih untuk hari ini? Sepertinya ini lebih menarik," tanya Gina.

"Jika bertiga pasti pelatih akan curiga, kita tetap berangkat. Aku ..., ingin memastikan sesuatu," jelas Ratih, pelatih mereka orang yang tegas, pernah ia izin tidak berangkat karena sakit masuk angin, pertemuan selanjutnya dirinya di hukum lari 20 kali di lapangan. Harus benar-benar sakit yang sekarat baru pelatih memakluminya, ya mungkin begitu, pikirnya.

***

Gerimis sore hari menciptakan genangan air di lapangan, Ratih dan teman-temannya berlatih dengan tiap gerakan yang menciptakan percikan air.

"Weningratih, fokus!" tegur salah senior, kakak tingkat seorang lelaki.

Ratih hanya melamun sebentar memikirkan pelatihnya, agaknya gurunya itu tidak datang untuk pertemuan hari ini.

"Weningratih, maju!"

Ratih hanya menurut saja, maju ke depan mendekati sang senior. Arga, seniornya yang sedikit galak itu memberinya hukuman pull-up 20 kali.

"Perbaiki fokus mu, musuh bisa datang kapan pun."

"Iya, Kak."

Dipersilahkan kembali oleh Arga, Ratih merasa lega setidaknya ia tadi melirik sedikit ke arah telinga lelaki itu. Tidak ada apapun di sana, kecurigaannya pupus seketika.

Latihan hari ini sedikit ringan, hanya sparring sebagian yang lainnya menonton, Ratih terpilih maju melawan Arga.

Ratih dan Arga berdiri di tengah lapangan terbuka, keduanya mempersiapkan diri untuk sparring. Senja di pelupuk mata seolah ikut menyaksikan keduanya, dengan suasana yang sejuk dilalui angin sepoi-sepoi sore hari.

Ratih, dengan sikap yang tenang namun waspada, mengatur nafasnya sebelum memasuki posisi siap tempur. Sedangkan Arga, dengan ekspresi penuh semangat, menatap adik tingkatnya dengan tajam, siap untuk melancarkan serangan.

Tanda dimulainya sparring diberikan, dan keduanya segera bergerak dengan cepat. Gerakan mereka lincah dan gesit, seolah keduanya telah menjadi satu dengan angin yang menyapu lapangan. Setiap gerakan mereka menimbulkan beberapa dedaunan beterbangan, debu-debu beterbangan bekas pijakan.

Ratih melancarkan serangan pertamanya dengan teknik cepat dan presisi. Namun, Arga dengan sigap menangkis dan dengan lincah membalas serangan. Mereka saling berhadapan dalam serangkaian pertukaran pukulan dan tendangan yang cepat dan dinamis.

"Hei, menurutku mereka cocok," ucap Gina saat menonton Ratih dan Arga, menyenggol lengan Reva pelan.

"Ya, cantik dan tampan. Tentu!" seru Reva menyetujui.

"Nah! Cantik dan tampan, kak Arga juga masih belum memiliki pasangan," ungkap Gina senang, sepertinya gadis itu akan menjodohkan temannya dengan kakak tingkatnya itu

"Tapi Ratih bukan gadis yang mau diajak pacaran, kau tahu sudah berapa banyak yang ditolaknya?"

"Huh, ya ..., kau benar. Entahlah, terlalu banyak. Hingga ada yang mengiranya menyukai sesama jenis, gila." Gina mengambil ponselnya mengabaikan momen pertarungan itu, ia berencana untuk mengunggahnya di sosial media.

Ratih dan Arga saling menghormati satu sama lain dalam sparring ini, tanpa ada niat untuk melukai, ya mungkin saja. Karena yang terlihat sejak tadi Ratih seolah bertarung bersama amarahnya, Arga berkali-kali terkena pukulannya meski membalas kembali namun mampu Ratih tangkis.

Permainan mereka berlangsung dengan intensitas yang tinggi, membuat penonton yang berada di sekitar lapangan terpukau oleh keindahan gerakan mereka. Bahkan Gina sejak tadi merekam tidak bisa tenang sangking semangat nya.

"Hah, ini pasti akan menjadi perbincangan. Ini gila, Ratih mengeluarkan taringnya!" seru Gina, gadis itu memposisikan diri untuk mendapatkan sudut pandang yang bagus.

"Ya, baru taring ..., belum bisa nya," sahut Reva, Reva merasa ada yang tidak beres dengan Ratih. Gadis itu seperti dikuasai amarah, terlihat seperti orang yang ingin membunuh, entahlah matanya begitu berkilat tajam menghunus pandangan.

Meskipun keringat mengalir deras di wajah, tetapi semangat untuk bertarung tidak pernah padam, apalagi Ratih yang terlihat begitu menggebu-gebu ingin memenangkan permainan.

Setelah beberapa menit berlalu, tanda akhir sparring diberikan, dan keduanya menghentikan serangan mereka. Tepukan tangan bergema menyoraki keduanya, Ratih terlihat lebih cantik dengan keringat diwajahnya bahkan Arga tak bisa menahan senyumannya.

Mereka berdiri di tengah lapangan, saling melempar senyum kepuasan, Ratih menyeringai kecil. Sparring ini bukan hanya latihan fisik, tetapi juga merupakan bentuk kehormatan dan penghargaan atas kemampuan satu sama lain.

Ratih dan Arga saling berjabat tangan dengan penuh rasa hormat dan persahabatan.

"Kemampuan mu meningkat pesat, pelatih akan senang mengetahuinya." Arga tersenyum bangga saat mengucapkannya.

"Terimakasih Kak, kau juga. Kemampuan mu hebat, aku merasa terhormat bisa bertarung denganmu," ungkap Ratih sopan.

Ratih kembali ke tempat duduknya, Gina sudah tidak sabar memamerkan hasil rekamannya.

"Lihatlah ini! Ini pasti langsung viral!" tunjuk Gina, memutar video singkat permainan tadi.

"Sebaiknya jangan," ucap Ratih keberatan.

"Kenapa? Kau hebat, cantik dan percaya diri," sahut Reva disebelahnya penasaran.

"Aku tidak mau, jangan unggah wajahku." Ratih tegas saat mengucapkannya, bukan tanpa alasan ia benar-benar anti menonjolkan diri, itu berbahaya.

Ah, keduanya kini paham. Ya, itu memang benar, Ratih jarang menunjukkan diri di sosial media, ia tau dirinya cantik pasti akan dengan mudah memiliki penggemar, akan sangat berbahaya jika ada yang menggunakan fotonya untuk keburukan.

Latihan hari ini selesai, semuanya berdoa lalu melingkar setelahnya,

menumpuk satu tangan menjadi satu dan berseru lantang.

"Bersatu menggapai kemenangan, berpisah meninggalkan kenangan! Armalana selalu jaya!" seru mereka semua.

Setelah saling bersalaman, Ratih mendekat ke Gina dan Reva.

"Jangan lupa kerjakan PR mu kawan!" seru Gina.

"Kau kan pintar, jadi tinggal menunggu punyamu kelar," sahut Reva, menyalin jawaban teman memang menyenangkan baginya, meski tidak sama persis setidaknya ia tetap mengerjakan.

"Nah, pintar sekali temanku ini!" Ratih merangkul pundak Reva dan tersenyum manis menaik-turunkan alisnya memandang Gina.

Gina memutar bola matanya malas, "Ya ya ya, aku kan gadis yang baik dan tidak pelit," ucapnya. "Nanti ku kirimkan, aku duluan ya. Ayah ku sudah menunggu." Gina berlari kecil menghampiri sang ayah yang menatapnya dari dalam mobil.

"Hati-hati di jalan!" teriak Reva.

"Gina! Sandalmu tertinggal!" seru Ratih mengangkat sandal pink Gina.

Gina yang sudah lumayan jauh pun berbalik, dengan malas gadis itu kembali ke sana mengambil sandalnya.

"Kenapa tidak kau bawa kan saja besok ke sekolah," pinta Gina saat sampai didepan Ratih, mengulurkan tangannya mengambil sandal pink itu.

"Nanti jika aku lupa, kau yang marah-marah lagi."

"Hahha, biasa ..., sudahlah pulang sana.," usir Reva mendorong Gina pelan.

Gina hanya menjawab dengan deheman, berlalu dari sana dan pulang bersama ayahnya. Setelahnya Reva pamit dengan Ratih, Ratih mengiyakan saja toh rumah Reva yang paling jauh dari sini.

Sebelum pulang Ratih menyempatkan diri untuk bertanya ke Arga. Mendekati Arga yang sedang memasukkan beberapa peralatan beladiri ke bagasi mobil.

"Maaf Kak, izin bertanya."

"Ya, tanya apa, Ratih?" Arga menghentikan kegiatannya sejenak menanggapi Ratih, masih ada beberapa peralatan yang harus dimasukkan.

"Apakah pelatih sedang diluar kota?"

"Tidak, beliau ada urusan penting, mungkin pertemuan selanjutnya pelatih belum bisa datang juga," jelas Arga.

Ratih mengangguk paham, gadis itu mengajukan diri untuk membantu Arga.

"Ah jadi begitu ya, biarkan aku membantumu kak."

"Boleh, bisakah kau angkat itu?" tunjuk Arga ke mallet atau yang biasa disebut palu latihan, Ratih mengangguk mengerti. Diambilnya palu itu diberikan kepada Arga.

"Hah, kau gadis yang kuat ya. Itu beratnya sekitar 10 kg," kagum Arga, Ratih mengangkat mallet dengan entengnya.

"Hanya 10 kg, kak." Ratih merendah, dirinya terbiasa mengangkat beban berat, pernah kala itu ia mengangkat kayu besar sendirian yang beratnya hampir 30 an kg dari hutan dibawa kerumahnya.

Arga menggeleng sejenak, gadis yang unik menurutnya. Biasanya yang sering ia temui gadis-gadis yang bahkan mengangkat botol 1 liter saja mengeluh tidak kuat.

"Kita satu arah kan, ayo naik bersama," ajak Arga setelah mereka berdua selesai memasukkan semuanya.

"Ah, iya satu arah. Baiklah kalau begitu, dengan senang hati."

Arga membukakan pintu penumpang untuk Ratih, barulah setelahnya berlari memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi. Mobil melaju dengan pelan, jalanan sedikit lenggang mungkin karena hari sudah mulai gelap.

Ratih kagum dengan mobil Arga, dalamnya terawat dan bersih juga wangi mint yang segar, tidak ada pengharum mobil dari buah bulat itu yang membuatnya mabuk. Pikirannya melayang jauh ke depan membayangkan jika suatu hari ia memiliki mobilnya sendiri, pasti akan ia rawat dengan sangat.

Tangannya terulur begitu saja menyentuh dasboard, memperhatikan beberapa alat yang tertera di sana. Selama ini ia hanya melihat mobil dari layar kaca, kini sungguhan berada di dalamnya.

"Ingin mendengarkan musik?" tawar Arga, Ratih terlihat bersemangat dari sampingnya.

"Oh iya, boleh, Kak."

Arga mengatur alat pemutar musik, mencari lagu yang ingin diputarnya. Alunan musik pop memenuhi pendengaran, lagu berjudul Confident yang di nyanyikan oleh Justin Bieber itu menggema dalam mobil.

Ratih seperti familiar dengan lagunya, Arga yang disebelahnya sesekali melirik kearahnya. Tiba-tiba pipi Arga memanas, berdehem kecil menetralkan diri, lelaki itu mengambil botol air mineral dan meneguknya tergesa.

Hanya suara lagu saja sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan entah canggung atau terlalu menikmati alunannya.

Ratih menatap tajam ke depan, rumahnya sudah terlihat dari sini ada beberapa anggota dari kepolisian menunggunya di sana.

"Ah maafkan aku, turut berduka atas kematian ibumu." Arga sungguh malu, kemarin ia tak sempat melayat karena ada acara diluar kota, dan kini ia lupa mengungkapkan duka.

Ratih hanya berdehem membalasnya, sore yang petang seolah mewakili perasaannya yang mendung. Arga ingin lanjut bertanya namun canggung melihat raut wajah Ratih yang dingin.

"Bastard," lirih Ratih.

Entah sejak kapan lagunya mati, Arga merasa tidak mematikannya, apa mungkin Ratih yang mematikannya, batin Arga.

Begitu sampai tepat di depan rumah Ratih, Arga keluar berlalu memutari mobil dan membukakan pintu untuk Ratih.

"Terimakasih banyak, Kak, ingin mampir sebentar?" tawar Ratih.

"Ah, iya boleh." Sebenarnya Arga lebih ke khawatir, melihat adanya beberapa pria dewasa berbaju coklat gelap disana.

"Selamat sore, kami dari aparat kepolisian," ucap salah satu diantara mereka, di tag namanya tertulis Hartanto, perawakannya besar dengan perut yang sedikit membuncit.

"Sore Pak, apakah ada masalah?" tanya Ratih, nadanya begitu datar namun tetap sopan, ditatapnya satu-persatu mereka semua dengan waspada.

"Saya ingin menyampaikan ini kepada Nona Weningratih," jelas Hartanto menyerahkan beberapa dokumen kepada Ratih, Ratih menerimanya dengan raut wajah yang datar.

"Ini adalah hasil dari penyelidikan yang kami temukan, mohon dengan hormat agar Nona memahami kebijakan kami." Hartanto menjelaskan dengan singkat, Ratih memandang rendah matanya memicing curiga.

"Baiklah kalau begitu, terimakasih banyak, Pak."

"Terimakasih kembali, kalau begitu kami permisi, selamat sore."

"Selamat sore."

Setelah para polisi itu pergi Ratih mempersilahkan Arga masuk, sebenarnya Arga penasaran apa isi dokumen itu namun itu privasi tidak seharusnya ia ketahui.

"Diminum kak." Ratih menyuguhkan teh hangat dan roti ke Arga, Arga berterimakasih dan menerimanya dengan senang.

"Ratih, jadi kau tinggal sendirian mulai sekarang?" tanya Arga memberanikan diri, rumah Ratih terasa begitu sepi dan sedikit gelap.

"Ya, begitulah, Kak. Aku tidak memiliki sanak saudara," jawab Ratih datar.

Arga turut prihatin mendengarnya, hatinya ikut sedih pikiran berkelana memikirkan bagaimana Ratih bertahan hidup untuk hari-hari berikutnya, siapa yang akan membiayai di kebutuhan sehari-harinya.

"Lalu? Kau akan kemana setelah lulus ini?"

Ratih menatap tajam, Arga mengedip pelan bingung apakah dirinya salah bertanya.

"Ah maaf sepertinya itu hal yang privasi, tidak perlu dijawab jika kau keberatan." Arga menjadi tak enak, pemuda itu hanya ingin berusaha membantu saja jika memungkinkan.

"Aku akan ke kota, Kak," jawab Ratih, dan mencari para keparat itu dan membuatkan mereka neraka, lanjutnya dalam hati penuh ambisi.

Arga menelan ludah kasar, pandangan Ratih begitu tajam menghunus dirinya. Gelas ditangannya berguncang kecil menumpahkan sedikit teh itu, dengan pelan Arga meletakkan gelas ke meja.

"Jadi begitu ya, em." Arga terdiam sejenak. "Jika kau membutuhkan sesuatu, tolong beritahu aku pasti akan ku bantu sebisanya. Ah iya, omong-omong sudah petang, aku pamit pulang," lanjutnya pelan.

Menormalkan kembali raut wajahnya, Ratih tersenyum manis. Arga terpana, bagaimana bisa gadis itu cepat merubah suasana.

"Tentu akan ku beritahu, terimakasih bantuannya. Sebaiknya Kak Arga segera pulang, tidak baik berkendara di waktu sandekala."

Itu benar, ada waktu-waktu tertentu yang tidak baik digunakan untuk berpergian kecuali jika sudah dalam perjalanan.

"Dengan senang hati akan ku bantu!" tegas Arga memantapkan kesanggupannya.

Ratih mengantar Arga ke depan hingga pemuda itu masuk ke mobil dan menatap dirinya sendu, ia melambaikan tangan begitu mobil Arga melaju. Menatap kosong jalanan sepi karena rumah-rumah disini tidak terlalu dekat masih ada kebun yang menjadi jaraknya, ia mendongak melihat langit yang mulai menggelap berganti malam.

"Arga Ananta Prabu ....." Ratih bergumam lirih, otaknya memikirkan sesuatu, keningnya berkerut tidak menemukan apapun yang bisa ia ingat.

"Ananta?" tanyanya lagi.

"Prabu? Siapa Prabu?"

Karena sudah gelap ia pun kembali masuk ke rumah dan membereskan ruang tamu, setelah beres Ratih masuk ke kamar membuka dokumen tadi. Ada sekitar 3 dokumen dengan warna dan judul yang berbeda.

"Hasil otopsi, hasil hukum, tersangka ....." Ratih membuka dokumen yang bertuliskan tersangka, didalamnya terdapat 7 lembar yang setiap lembar mewakili 1 deskripsi pelaku.

Dibacanya dengan teliti satu-persatu, dicocokkan nya tiap-tiap foto, dapat, ini yang Ratih cari. Hampir ke 6 pelaku memiliki tato kecil di belakang telinga, hanya 1 pelaku tersangka yang bersih tanpa tato, hanya anting hitam di telinga kirinya.

"Semarang, Semarang, Malang, ini? Jakarta?" monolognya memperhatikan alamat tiap tersangka, Ratih mengambil ponselnya mencari tahu berdasarkan nama dan alamat.

Begitu lincah jari-jemarinya menelusuri laman, mulai dari sosial media hingga web negara Ratih cari.

"Semua palsu?"

Bahkan Ratih mencari lewat muka para pelaku, yang muncul jauh berbeda dengan yang tertera di dokumen. Tidak menyerah dan tetap mencari sampai ke seluk beluknya, hingga dirinya menemukan petunjuk.

Satu-persatu dicarinya dengan niat, mencatat, menyesuaikan, dan dapat. Semua saling berkaitan satu sama lain, ada satu sesi foto bersama yang diunggah disalah satu akun F******k berisi 10 orang dengan 7 orang yang Ratih tau itu tersangka.

Ratih menyalin linknya, mengunduh foto dan mengambil beberapa hal yang perlu di catat termasuk tanggal, tagar, dan latar belakang.

"Hasil hukum ...," gumam Ratih mengambil dokumen lainnya, dibaca lah isinya dengan pelan berusaha memahami dengan tenang dan setelah selesai membaca ia meremasnya dengan kuat.

"Sialan, kalian semua benar-benar bajingan!"

Ratih begitu marah, laporan hasil hukuman yang didapatkan hanya penjara dan denda, juga proses pencarian diberhentikan secara sepihak, jika ingin melanjutkan pencarian maka Ratih harus mengeluarkan uang yang tak sedikit.

Dengan penuh amarah Ratih pergi keluar kamar, mengunci pintu rumah dan berjalan tanpa alas kaki menuju kebun belakang. Bermodal pencahayaan dari ponsel pintarnya, Ratih telah sampai di rumah pohon buatannya.

Disinilah dirinya menempa diri, tidak ada gadis pendiam nan lembut seperti yang ia perlihatkan ke dunia sana, hanya ada gadis dingin dan kejam. Ratih naik melalui tangga tali masuk kedalam, rumah pohon ini terawat dan sangat bersih, ia menyalakan beberapa obor, terlihatlah isi dari ruangan itu. Ada ranjang kecil di pojok dengan lemari kayunya, satu kursi dan meja, juga rak buku yang tertata rapi, ia duduk bersila di tengah ruangan.

Diambilnya tatakan kayu, pena dan kertas untuk menulis beberapa rencana, begitu fokus hingga gemuruh petir dan hujan deras pun tidak Ratih dengar.

"Selamat datang di neraka ...." Ratih menyeringai lebar, ia benar-benar tidak sabar menunjukkan diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 22

    Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 21

    Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 20

    "Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 19

    "Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 18

    Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 17

    Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status