Saiful mondar-mandir di dalam sel nya, pria itu sangat bingung dan ketakutan. Ini sudah hari ke 3 sejak Ratih memberikannya penawaran kebebasan, ke-dua temannya hanya diam sembari saling menatap penasaran.
Suara langkah kaki dari kejauhan terdengar menggema, itu adalah pengawas penjara dan menghampiri sel Saiful. Pria buncit berseragam polisi membuka kunci gembok dan menatap tajam tiga orang didalamnya."Atas nama Saifullah, ada yang ingin menemui Anda." Ucapan sang pengawas itu membuat Saiful tercekat sejenak, pria itu mengangguk lemas dan bersiap keluar.Tangannya di borgol sembari di tuntun berjalan ke ruang pertemuan, di kursi sana sudah duduk seorang gadis dengan aura gelap yang mencekam.Ratih memandang rendah Saiful didepannya, gadis itu mengulas senyum manis palsu sebagai ungkapan sambutan dengan telepon penghubung yang sudah ia angkat.Saiful mengangkat telepon penghubung dengan gemetaran, keringat dingin membasahi tubuhnya bagian dalam."Apa jawaban mu?" Tanya Ratih membuka percakapan.Saiful terdiam di seberang sana, pria itu sudah memikirkan jawabannya sejak tadi. Gelengan kecil nan pelan pria itu sudah menjawab pertanyaan Ratih barusan, membuat gadis itu tersenyum manis karena sudah menduga jawabannya."Ah, nampaknya kau meragukan ku."Ratih perlahan mengambil ponselnya dan menunjukkan gambar yang membuat Saiful berteriak kesetanan.Pria itu berlari mendekati kaca pembatas dan menggedor-gedor kaca itu hingga sedikit retakan terjadi di sana. Napasnya memburu hebat dengan wajah memerah.Ratih masih duduk tenang memandangi Saiful, pengawas datang dan mengamankan Saiful. Pria itu dibawa kembali kedalam sel tahanan meninggalkan Ratih yang masih diam tenang di sana.***Tak ada yang tahu siapa dalang di balik penghilangan nyawa ibu dan anak itu, kabar yang beredar hanya penemuannya tanpa jejak pembunuhan yang tertinggal.Adam yang masih dalam masa hukumannya yaitu di pasung sebulan pun ikut menangis mendengar berita duka, ia menyalahkan diri sendiri seolah ia penyebab semuanya terjadi."Ya Allah kasihan sekali, apa kau sudah melihat bekas sayatan di tubuh wanita itu?""Iya aku melihatnya dengan jelas, aku tidak bisa makan setelahnya.""Ku dengar pak RT juga mendapatkan teror dari pembunuh nya, beliau di tinggali satu keresek berisi daging sapi yang masih berdarah-darah.""Astaga mengerikan sekali, ada apa dengan desa kita?""Pasti karma akibat zina itu!"Sudah mati saja masih difitnah, betapa malangnya nasib wanita satu itu. Para warga yang berkerumun di area sekitar tempat ditemukannya Sarah dan Rama masih berceloteh mengemukakan pendapat masing-masing."Bagaimana kita memandikannya?""Bungkus saja langsung, merepotkan."Keduanya ditemukan dalam keadaan mengenaskan, baju robek-robek dengan luka sayatan yang dalam. Di area kemaluan Sarah itu juga ditemukan seperti bekas dimasuki benda tajam yang menyebabkan darah mengucur deras. Sedangkan Rama, bocah itu seperti di cekik kuat hingga napasnya berhenti sebelum disayat pelaku.Proses penyemayaman jenazah keduanya berlangsung dalam diam, beberapa warga takut untuk sekedar menyentuhnya. Jadinya jenazah tak dimandikan hanya di balut kain kafan kemudian dikuburkan di hutan nan jauh dari pemakaman umum.***Reva sedang bersiap-siap didalam kamarnya, gadis itu mengangkat baju-bajunya untuk disesuaikan dengan dirinya sendiri didepan cermin."Cantik-cantik, jarang-jarang diajak liburan. Sekali liburan ke tempat yang jauh nan menawan, hihi."Deringan telepon masuk mengalihkan perhatiannya, Reva meletakkan bajunya sebelum mengambil ponselnya.Message (2)Regina : Hei, sudah bersiap-siap?Regina : Ayah tidak ikut ada kerjaan mendadak, jadi hanya kau dan aku. Bagaimana jika kita mengajak Ratih?Revalina : Oh begitu? Coba kau chat dia, aku masih berkemas-kemas.Regina : BaiklahDi lain tempat Ratih sedang makan di warung yang tampak sepi di siang ini, soto didepannya ia santap dalam diam beberapa lelaki di tempat duduk lain memperhatikan dirinya kagum. Ratih tampak mencolok dengan jaket hitam dan celana jeans-nya, membuatnya terlihat sangat keren.Ting!Notifikasi masuk membuatnya berhenti makan sejenak.Tiga Dara Menggoda (3)Regina : Ratih ayo kita liburan, kau senggang tidak?Regina : Kita berlibur 2 hari, tenang saja nanti aku yang izinkan ke wali kelas.Revalina : Ayolah Rat, ikut ya!Weningratih : Kemana?Regina : Ke pantai Lakadeksa dan gunung Rajawarta. Ayo!Ratih berpikir sejenak, ia memiliki rencana besar untuk hari esok jika ia liburan maka rencananya akan tertunda.Weningratih : Aku tidak bisa, ada kerjaan.Revalina : Yah! Ayolah sekali-kali, ayah Gina yang akan membiayai kau tinggal berangkat saja.Regina : Iya, ayahku yang akan membayar semuanya.Weningratih : Tidak bisa, kalian saja yang berlibur.Regina : Yah, ya sudah kalau begitu.Revalina : :')Ratih menutup ponselnya melanjutkan makannya, ia sedikit waspada di sini sejak tadi ia merasa ada yang mengawasi dari kejauhan.Mempercepat makannya Ratih bergegas menghabiskan soto dan minumannya, berlalu membayar dan pergi dari sana.Dalam perjalanan pulang ke rumah, gadis itu di buntuti dua lelaki besar yang tampak seperti preman. Ratih membelokkan arah ke gang sempit di kiri dan berjongkok di belakang pohon mangga besar."Kemana tuh cewe?" Salah satu di antara lelaki itu bertanya, badannya terlihat seperti preman kasar dengan gigi kawatnya."Cari, jangan sampe ilang!"Keduanya berpencar mencari Ratih, sedangkan Ratih berpikir keras haruskah ia melawan keduanya. Ia tak mungkin menang dengan mudah jika tangan kosong, ia harus membuat rencana.Ratih mengambil korek api dan mengendap-endap mendekati salah satu yang sedang dekat di areanya. Posisinya aman karena semak belukar menutupi tubuhnya, didepan sana preman itu berdiri membelakangi.Dengan pelan Ratih menyulut api ke arah celana pria itu hingga perlahan apinya merambat ke atas. Setelahnya Ratih berpindah dan mendekati yang satunya lagi, si botak itu sedang mencari-cari dibelakang tumpukan kayu."Bau apa nih?""Kaya ada yang gosong," ungkap salah satunya.Bruak!Ratih menendang perut tengah si botak kemudian menindihnya, lalu dengan kuat ia siku dada si botak dari atas. Setelahnya ia tonjok beberapa kali wajahnya hingga jeritan pilu menggema, sedangkan di sisi lain si preman itu berlarian kebingungan."Argh! Panas, panas!"Ia segera melepaskan celananya dan membuangnya sejauh mungkin, melepaskan juga pakaiannya hingga hanya memakai dalaman tanpa baju. Seperti tuyul dewasa dilihat-lihat membuat Ratih tertawa ngakak, ia bangun dari si botak dengan cepat menghentakkan kakinya keras di area kemaluannya."Arghhhh! Cewe gila!""Hahha, sudah tahu gila kok di kejar juga! Goblok!"Tak puas hanya begitu saja Ratih mendekati salah satunya yang masih mengipasi dirinya, betapa menyedihkannya pria itu kena luka bakar menjalar dari kaki hingga pupu dalamnya."Masih kurang?" Tanya Ratih sembari mengangkat korek apinya.Si preman hanya bisa menggelengkan kepalanya, rasanya ia ingin menangis gila. Malu dan takut menjadi satu, ia telanjang hanya dengan celana dalam berwarna merahnya."Hahahha, dah tahu kecil kok pecicilan!"Tatapan Ratih remeh menuju arah selakangan pria itu, menggeleng sejenak gadis itu berjongkok mendekat."Siapa yang nyuruh?"Si preman masih diam, pandangannya ke arah temannya yang masih berbaring lemah di jauh sana."Aku bisa saja menghabisi kalian sekarang, hm?"Ratih mengeluarkan besi kecil dari tasnya bentuknya seperti linggis, itu buatannya sendiri. Dengan bentuk runcing di bagian ujung kemudian di ujung satunya tumpul bagai palu."Mau bagian mana dulu nih?" Tawar Ratih senang."A-ampun, kami cuma nurutin kemauan orang."Ratih mengangkat besi itu ke depan wajah si preman."A-ampun, maafkan kami! Kami cuma suruhan, kami tidak tahu apa-apa!" Suaranya yang cempreng membuat Ratih murka, dengan kejam gadis itu memukul kening si preman."Siapa?" Lanjutnya setelah kening si preman lecet dipukulnya."Tu-tuan Herdian, iya! Kami mohon ampun!"Mengerutkan keningnya dan menatap tajam lawan bicara, Ratih mendekatkan besinya ke mulut si preman."Herdian siapa ha?""Tu-tuan Herdian Gairelo."Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu
Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la
"Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari
"Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti
Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"
Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan