Loria thought she was just a normal girl with overprotective parents and a best friend who knew her better than anyone. But everything changes on her seventeenth birthday—when her body shifts into a wolf and the truth unravels faster than she can run. She isn’t human. And she may not even be fully werewolf. Fleeing home with nothing but instinct and a mysterious amulet, Loria follows a pull she can’t explain and discovers a hidden pack led by the Alpha she’s fated to love. But Simon is more than just her mate—he’s the anchor in a storm she never saw coming. Inside her, another voice grows louder: Zerina, a powerful wolf spirit with memories of fire, blood, and ancient magic. As Loria uncovers the divine truth of her origins and the depths of the power she carries, she must learn to balance two souls, protect her found family, and decide whether survival is enough—or if she was born to lead. In a world of wolves, witches, and wars long buried, Loria must embrace who she is... even if it burns everything she thought she knew.
View More“Shanna! Semangat, ya!”
Suara teriakan Viona terdengar keras meski Shanna sudah berlari cukup jauh dari sahabat-sahabatnya. Dia melambaikan tangan tanpa berhenti ataupun sekadar menoleh. Langkahnya semakin cepat menuju gerbang kampus, di mana Damar sudah menunggunya di dalam mobil.
“Maaf lama, Ba,” ucap Shanna ketika berada di dalam mobil. “Baba sudah dari tadi?”
“Tidak apa-apa. Baba juga baru saja sampai, kok.”
Damar mengemudikan mobil meninggalkan area kampus. Ia mengendarai mobil menuju sebuah restoran bintang lima. Pagi tadi, dirinya sudah berjanji akan mengajak Shanna makan siang bersama.
“Kenapa harus pesan private room sih, Ba? Bukannya di luar sama aja?” protes Shanna setelah pelayan pergi meninggalkan mereka.
Bukannya Shanna tidak suka, dia hanya merasa ayahnya itu berlebihan dengan memesan private room untuk sekadar makan siang.
Damar tersenyum kecil.
“Ya beda dong, Sayang. Kalau di luar ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi kalau di sini kan tenang dan tidak ada yang mengganggu. Apalagi hari ini kan hari ulang tahunmu, baba khusus memesannya tadi pagi hanya untukmu. Lagi pula sudah lama kita tidak makan berdua di restoran bintang lima seperti ini. Kalau baba tidak salah ingat, itu sekitar enam bulan yang lalu.”
Shanna memutar mata malas, menganggap ucapan Damar berlebihan. Namun, apa yang dikatakan Damar memang benar. Mereka jarang sekali makan di restoran bintang lima. Bukan karena mereka tidak punya uang, tetapi karena memang Shanna yang tidak terlalu suka makan di restoran mewah. Baginya, makan di restoran mana pun sama saja.
Shanna menatap lekat-lekat wajah Damar. Kedua tangannya yang berada di atas meja saling bertaut. Keringat perlahan membasahi telapak tangannya. Jantungnya pun mulai berdetak lebih cepat.
"Baba, ada yang ingin kukatakan sama baba."
Damar menatap Shanna yang menatapnya serius. Raut penasaran tergambar jelas pada sorot mata pria itu. "Mau mengatakan apa?"
Shanna mengambil napas, menenangkan debaran jantungnya yang semakin menggila. Kakinya sedikit bergetar. "Baba, aku mencintaimu," ucapnya cepat dan tegas.
Damar tersenyum lebar. "Baba tahu. Baba juga sangat mencintai dan menyayangimu."
Shanna menggeleng pelan. "Aku serius, Baba. Aku mencintaimu seperti wanita mencintai laki-laki, bukan sebagai ayah dan anak."
Mata Damar melebar. Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya yang terdapat luka bakar. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Damar segera mengubah ekspresinya kembali seperti semula. Dia membuka mulut untuk memberikan jawaban, tetapi tiga orang pelayan masuk membawa pesanan mereka, membuat pria itu kembali mengatupkan mulutnya.
"Lebih baik kita makan dulu," ajak Damar mengubah topik pembicaraan.
Shanna kecewa karena tidak bisa mendengarkan jawaban Damar. Namun, dia juga lega, sebab dia sendiri sebenarnya belum siap mendengar jawaban pria itu. Meski dia sudah menguatkan mentalnya, tetapi sedikit banyaknya Shanna takut akan penolakan Damar.
Shanna menatap hidangan yang tersaji begitu banyak di hadapannya. “Perasaan tadi kita nggak pesan sebanyak ini deh, Ba,” ucapnya setelah pelayan meningalkan mereka.
“Memang. Sebenarnya ... baba sudah melakukan pemesanan tadi pagi. Baba sengaja tidak memberitahumu karena baba tahu kamu pasti akan menolaknya kalau baba memberitahumu.” Damar menjawab tanpa menatap Shanna. “Lebih baik sekarang kita makan saja. Baba sudah sangat lapar sekali.”
Mereka pun menyantap hidangan dengan ditemani sepi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang ingin membuka suara.
"Ulang tahunmu kali ini, kamu ingin mengajak teman-temanmu ke mana?" tanya Damar di sela-sela makannya, memecah keheningan yang terjadi.
Shanna tersentak, ditatapnya pria di hadapannya. “Aku belum memikirkannya, Ba. Mungkin aku akan mengajak mereka makan, nonton, dan belanja aja.”
Shanna tidak memiliki rencana untuk membawa sahabat-sahabatnya bepergian. Lagi pula sahabat-sahabatnya sendiri pun tidak ada yang membahas hal itu. Sehingga Shanna sendiri tidak tahu harus mengajak mereka pergi ke mana.
“Tahun kemarin kamu juga mengajak mereka makan, nonton dan belanja, ‘kan? Memangnya kamu tidak mau mengajak mereka jalan-jalan? Misal liburan atau ke mana gitu?”
“Aku nggak tahu mau mengajak mereka ke mana, Ba. Nggak ada rekomendasi. Lagian mereka juga nggak akan protes meski kuajak jalan-jalan ke mall buat belanja. Asal ditraktir, mereka senang-senang aja.”
Shanna tipe wanita yang tidak terlalu suka berbelanja atau jalan-jalan untuk bersenang-senang, kecuali kalau diajak secara paksa oleh sahabat dan ayahnya.
Damar menggeleng pelan. “Cobalah sesekali kamu pergi rekreasi bersama teman-temanmu. Ke puncak atau ke mana gitu. Masa setiap ulang tahun selalu mengajak mereka makan, nonton dan belanja saja.”
Damar menatap Shanna. “Baba tidak memaksamu mengajak mereka jalan atau berbelanja, tetapi cobalah untuk menyenangkan dirimu sendiri. Asal kamu tahu, baba bekerja mencari uang itu untuk kamu. Kamu tidak perlu takut baba kehabisan uang. Baba justru senang kalau kamu bisa menyenangkan dirimu dengan pergi berlibur atau berbelanja bersama teman-temanmu.”
Shanna menghela napas pelan. “Hm, nanti aku cari rekomendasi dulu di internet.”
“Bagaimana kalau kita pergi berkemah saja di puncak akhir pekan besok?” usul Damar yang tahu kalau Shanna pasti tidak akan melakukannya.
“Ya. Besok aku akan memberi tahu mereka.”
Selama makan siang, mereka terus mengobrol. Namun, tidak ada sedikit pun tanda-tanda Damar akan membahas atau menjawab penyataan cinta Shanna. Bahkan sampai mereka keluar dari restoran, mengantar Shanna pulang sebelum pria itu kembali ke perusahaan, Damar masih tetap tidak memberikan jawaban apa pun.
“Baba, apa yang aku katakan pada baba di restoran tadi siang itu, aku benar-benar serius, Ba. Aku benar-benar mencintai baba dan ingin menikah dengan baba,” ucap Shanna, nadanya serius.
Saat ini mereka sedang bersantai di ruang tengah setelah makan malam.
Shanna tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Sudah enam tahun dirinya memendam rasa kepada ayahnya. Shanna pun sudah memikirkan dengan matang konsekuensi dari apa yang dia lakukan. Apa pun keputusan ayahnya, Shanna sudah siap menerima. Bahkan kalau Damar akan membencinya serta menganggapnya tidak tahu diri dan terima kasih kepada pria itu.
“Dengar, Shanna.” Damar berkata dengan nada tegas dan serius. Nada yang tidak pernah dia gunakan ketika berbicara kepada Shanna selama ini. Ditatapnya lekat-lekat mata Shanna. “Baba memang sangat menyayangi dan mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini. Tetapi bukan berarti baba mau menikah denganmu.”
Rasa sakit seketika menjalari hati Shanna. Dirinya telah ditolak oleh ayahnya.
“Kasih sayang yang baba berikan padamu itu adalah kasih sayang murni antara ayah dan anak,” Damar terus berkata tegas. “Jadi baba harap kamu berhenti dan buang jauh-jauh pemikiran untuk menikah dengan baba. Sampai kapanpun baba tidak akan mungkin bisa menikahimu. Karena bagi baba, sampai kapanpun kamu adalah putri baba. Anak kesayangan baba satu-satunya.”
Mata Shanna berkaca-kaca. “Tapi, Ba, bukankah kita tidak memiliki hubungan darah?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, mencoba mencari secercah harapan.
“Baba tahu kita tidak memiliki hubungan darah. Walaupun begitu, bagi baba, kamu tetap anak baba, putri baba satu-satunya. Dan tidak pantas bagi kita untuk memiliki hubungan seperti itu.”
“Tapi, Ba, aku—"
“Cukup, Shanna!” Damar menghentikan ucapan Shanna. “Lebih baik sekarang kamu istirahat. Tenangkan dirimu. Baba juga akan beristirahat, besok ada banyak pekerjaan yang harus baba kerjakan.”
Damar bangkit dari duduknya. Tidak lupa dia mencium kening Shanna dan mengucapkan selamat malam seperti biasanya sebelum meninggalkan ruang tengah.
Shanna menatap kepergian Damar dengan mata berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tidak jatuh membasahi wajahnya. Dia tidak menyangka hatinya akan sesakit ini mendapatkan penolakan langsung dari orang yang dicintainya.
Apakah dia salah dan berdosa karena telah mencintai ayah angkatnya sendiri?
Simon’s POVThe hallway was quiet now. Still glowing faintly with magic left behind by our work, but hushed—like the castle was holding its breath.Loria stood beside me, one hand cupped gently around a golden sphere of light. It hovered just above her palm, pulsing softly like a heartbeat.“What is that?” I asked, watching as it floated upward and drifted slowly down the corridor ahead of us.“A locator spell,” she murmured. “Designed to find the Headmaster’s quarters—or, in this case, the quarters meant for whoever’s in charge.”My brows lifted. “You’re assuming it’s not just a bedroom.”She smirked. “Have you seen the rest of this place?”Fair point.The sphere glided steadily, turning corners, drifting past doors until—finally—it stopped. It hovered in front of the very last door at the end of the hall, spinning slightly in place.“This is it,” she said, excitement threading through her voice.I stepped ahead of her and laid my hand on the door. The wood was ancient, reinforced wi
Loria’s POVThe castle shifted around us like it was listening.We walked the halls together—our strange little family—our footsteps echoing softly along the stone corridors of the residential wing. The walls here were older, quieter. Less touched by restoration. Thick velvet curtains hung over arched windows, moth-bitten and dusty. The floor runners were faded but elegant, and everything smelled faintly of wood polish and time.A few of the witches had gone ahead of us earlier. I could hear their voices up ahead—gentle, guiding. Laughter too. They’d found dormitories and were already helping the werewolves settle in. Every now and then, the sound of someone shifting a mattress or enchanting a light fixture echoed down the corridor.It warmed me, knowing people were claiming spaces. Breathing life into stone.Beside me, Simon carried Moon, who had curled up again with her face tucked into his shoulder, thumb in her mouth. Anthony walked between us with Andy and Amy just behind, each o
Loria’s POVThe scent of roasted vegetables, baked bread, and some kind of honey-glazed meat drifted through the air as we entered the grand dining hall—and for the first time all day, my body remembered how hungry I was.It was beautiful in here now. The chandeliers had been polished to a celestial glow, their crystals scattering light across the high stone ceiling like a web of stars. The twin hundred-foot tables stretched out before us, fully set with mismatched plates and silverware. Everyone is sitting in groups.Laughter echoed from one end of the room to the other. Someone had conjured floating candles. Someone else had stacked fruit into towers. It wasn’t just functional—it felt magical. Alive.Amy caught sight of us near the entrance and waved us over, apron smudged, cheeks flushed with kitchen heat and triumph.“There she is,” she said with a grin. “Hope you’re starving.”“Starving might be an understatement,” I replied, sinking onto a bench between Simon and Moon, who promp
Loria’s POVAfter finishing the topmost room of the school tower, we didn’t stop to rest.We should have. I knew that. My legs ached, my hands tingled with magic fatigue, and Moon was still dozing in Simon’s arms—but there was momentum now. A rhythm to the work. And I didn’t want to break it.We made our way back down the spiral staircase, each of us quiet in the way people are when their minds are full. Audrey trailed behind us, muttering under her breath about anchoring more wards near the tower’s base. Simon’s arm brushed mine, warm and steady, his hold on Moon as gentle as if she were made of glass.Once we reached the main corridor again, we veered off into another wing of the castle. The doors here were wide, double-panelled, their carvings faded by time. Simon shouldered the first one open, and we stepped inside what could only have been a classroom for magic theory.The air still buzzed faintly. Magic had been worked here once—heavy, structured magic. There were diagrams etche
Loria’s POVWe stood at the base of the school tower—Simon, Audrey, Moon, and me—clustered beneath a curling stone archway weathered by time. The air held a quiet kind of weight to it, like the tower had been holding its breath for years, waiting for us to climb the stairs and wake it up again.A soft breeze drifted down the spiral, stirring the edge of my long hair. Moon’s tiny fingers tightened around mine. She looked up at me with huge eyes full of wonder, her curly dark hair tumbling over her shoulders in soft disarray. Her magic buzzed faintly beneath her skin like static, a baby storm not yet fully born.Simon stood at my side, silent and steady as always. His energy hummed low and familiar, syncing with mine in ways that felt effortless now. Audrey lingered behind Moon, arms crossed, copper hair catching the light that filtered through a cracked stained-glass panel high above us. Her eyes were sharp and calculating—always reading, always planning.Audrey broke the silence first
Simon’s POVI leaned against one of the marble pillars near the back of the entrance hall, arms crossed, watching the chaos unfold like a perfectly orchestrated storm.Loria just stepped into the madness like it belonged to her—and maybe it did.Her long, dark hair trailed in waves past her knees, catching the golden light as she moved. It still took me off guard every time I saw it.Zyan hummed thoughtfully. “I miss the curls.”“Yeah,” I agreed. “Me too.”Loria didn’t raise her voice. She didn’t need to. She walked up the grand staircase, stopping on the third step.“Everyone,” she said, calm and certain. “Your attention for a moment.”Conversations ceased instantly. All eyes turned toward her.“Alright. Anyone who can wield magic—move to the right side of the stairs.”Forty-three people shifted to the right, including Moon—our powerful little pup, practically glowing with excitement. Andy stood at the base of the stairs with Amy, and Anthony stood close beside him, clutching his fre
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments