Jane pernah bilang pada seseorang kalau nanti di masa depan waktu ia jadi seorang istri Jane sesumbar akan melakukan tugas-tugas ibu rumah tangga dengan baik, berbeda dengan ibunya yang hanya ibu-ibu saja.
Tetapi hari ini, Jane rasa ia bisa mencabut kembali kata-kata yang ia ucapkan.
Jane menghela napas.
Jemari putihnya mencoba menaikan topi dan mulai menyeka peluh di dahi, menggunakan tangannya yang di balut sarung tangan karet.
Jangan pernah bilang kalau Jane terlalu lebay untuk ukuran orang yang tengah membersihkan rumput di halaman.
Jane itu wanita. Sun screen yang ia kenakan memang sudah banyak tapi taukah kalian, matahari negara ini sangat jahat. Tidak lucu kalau kulit lengan Jane belang hanya dalam satu hari.
Jane mengumpulkan lagi guguran bunga warna-warni keatas tumpukan rerumputan hijau yang ada di pengki. Ia juga memotongi deaunan layu yang sudah comong dari pot bunga miliknya.
Waktu Jane bangkit untuk membuang kumpu
Memasak bukanlah hal susah bagi Jane. Malah cenderung mudah, bisa di bilang hoby dan kemampuan Jane memang terletak pada jemarinya saat memasak. Meski kadang, sebagai manusia, ada saja mood swing yang membuat Jane benar-benar tak ingin memegang alat dapur apapun. “Udah nemu tempat kursus pastry belom?” Pertanyaan itu menggema dari dalam dapur yang terlihat sibuk. Sambil masih menunggu mesin kopi yang diinginkannya ready dan di kirim Jane berniat untuk mengikuti kursus membuat dessert. Kecil-kecilan mah tidak usah rekrut pastry chef dulu. Jika Jane belajar, ia pasti bisa membuat kue-kue rumit seperti chef toko kue Italia. “Belum, gue baru mau tanya.” Jane berbicara pada handphone-nya yang di letakan di atas meja, jemari gadis itu pun mengaduk-aduk sayur yang sedang di masak di awas kompor yang menyala. “Lo nggak ada kenalan?” “Ntar gue coba tanya mama.” Maria di seberang sana menyahut. “So, udah review tempat? Mau buka di mana?”
Berjalan beriringan dengan satu pria bersama troli besar dalam dorongan biasanya terlihat kalau memang pasangan baru sedang membeli belanjaan bulanan. Mereka dikira demikian. Sejak tadi berjalan, beberapa orang terang-terangan menatap Jane dan Theo seolah mereka adalah pasangan visual yang terpilih di acara tahunan. Padahal kenyataannya apa? Hubungan mereka hanyalah sebatas tetangga, atau lebih tepatnya sekarang ini, pohon manga yang dermawan membiarkan parasite baik menempel di salah satu rantingnya. Jane seratus persen mengabaikan pandangan-pandangan orang. Ia sudah biasa di pandangi demikian, kendati tidak terlalu peduli dengan apa yang mereka pikirkan, tapi apapun itu, masa bodoh. Troli yang di dorong Theo berbelok pada deretan rak-rak yang lain. Dengan suhu ruangan yang lebih dingin, mengikuti langkah gadis berjaket navy yang memimpin di depannya. Jane menyortir segala sayuran yang singgah di pandangan matanya. Karena di rasa
Terpujilah kalian para penghuni kota Tangerang dengan segala kesibukannya. Jane menghela napas lelah. Sepertinya Jane mamang terlahir sebagai cenayang sebelum menjadi seorang pramugari. Lihatlah? Prediksi Jane waktu mereka masih di parkiran mall pun terjadi. Mereka terjebak dalam kungkungan mobil-mobil dalam kemacetan di jalan raya. Tetapi memang setiap hari begini sih, bisa di bilang ramalan Jane tadi itu karena pengalamannya mengarungi kota ini tiap malam hari. Sementara Theo mengetuk-etukan jemarinya di setir mobil, Jane mulai meraih ponselnya untuk menghilangkan bosan. Hening masih melanda. Karena Theo tidak di ijinkan sama sekali memutar lagu dari playlistnya, Jane menentang dengan tegas ide yang mengerikan itu. Sebaliknya. Theo hanya mengangguk saja ketika Jane tanpa ijin mengoneksikan handphonenya dengan speaker mobil. Memutar lagu berbahasa Inggris yang sepertinya di nyanyikan oleh penyanyi muda yang punya suara raspy.
“Kalo emang ternyata kita pernah ketemu sebelum ini kamu mau apa?” Jane terbengong sebentar ketika kalimat itu menjadi jawaban dari Theo. Betul juga. Kalau memang mereka pernah bertemu sebelum ini, mau apa dia? Mengucapkan senang bertemu kembali? Tetapi tidak. Kenapa juga harus ada pertanyaan macam itu. kalau mereka pernah bertemu sebelum ini ya berarti Jane harus tau di mana? Apa mereka sempat ngobrol atau cuma berpapasan saja. Itu hal normal yang biasa ditanyakan orang-orang, tidak perlu ada ‘memangnya kenapa kalau’ untuk bertanya demikian. Tapi, yah. Memang tidak penting juga, sih. Jane menggeleng. “Ya enggak papa, sih.”Gadis berjaket navy itu mulai menyuapkan hidangan yang terlihat lezat dari piring makannya. Jane mengangguk-angguk ketika merasakan kelezatan menyentuh setiap indra perasanya. Hujan di luar masih berlanjut. Orang-orang mungkin akan kegirangan, menghirup aroma tanah
“Enggak.”Begitulah rasanya harga diri Jane yang terkenal tinggi itu seketika terhempas ke dalam jurang curam.Theo dengan raut wajah santai menolak permintaan yang dengan sulit Jane ucapkan, Jane bahkan harus berpikir matang-matang.Oh harga diri.Jane mengerjap pelan.Lalu dari permukaan kening mulus miliknya muncul semburat gurat halus.“O-oke, gue cuma kasian, lo nggak pernah nonton jadi gue ajak. Jangan GR,” kata Jane dengan acuh sebelum melarikan pandangan kepada hujan di luar.Sejatinya Jane tidak pernah mengalami penolakan seperti ini maka wajar jika dia sedikit merasa shock, tetapi sisi dalam diri Jane yang lain tak mengijinkan siapapun tau seberapa malu-nya dia.“Kalau saya bilang mau, nanti makin sulit meyakinkan kamu kalau saya bukan laki-laki gampangan.”Jane masih menghadap luar.Dia dapat mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan Theo. Oke itu bagus, Theo melakuk
“Gue udah daftarin nama lo.” suara manis milik laki-laki berkulit putih ini mengalun di dalam café yang sepi pengunjung. Dengan jemari bercincin miliknya ia menyugar rambut hitamnya ke belakang. “Walau sebenarnya dia cuma ambil tiga murid per sesi. Berhubung dia CS gue, jadi lo bisa masuk.” Tenang saja. Butuh berapa kali Jane katakan, godaan semacam itu yang menggunakan gestur-gestur tubuh apalagi oleh Edgar tidak berefek sama sekali terhadapnya. Jane memutar mata, gadis berhills lima centi yang rambutnya di kepang dua itu mendengus kesal. “Udah?” Edgar mengangguk. Jane memainkan lidah dalam mulutnya guna menekan sabar. “Gitu aja mah bisa lewat hp!” Tau tidak? Gara-gara janji temu yang katanya penting ini Jane jadi menunda test drive dengan calon pemilik baru Mendes. Yang dimana hal itu merupakan hal paling penting bagi Jane saat ini. Mendes harus laku. Suara tawa kecil keluar dari mulut kecil Edgar. “Nggak ada
Sore ini langit cerah tiba-tiba berubah mendung karena mulainya musim penghujan. Seusai janji temu-nya dengan Edgar siang tadi, Jane langsung mampir ke bengkel tempat Mendes diperbaiki. Sebenarnya sudah selesai dari lama namun Jane baru memutuskan mengambilnya sekarang karena tawaran mobilnya pada Theo berhasil masuk pada tahap test drive. Tak lupa Jane juga memandikan Mendes sebelum benar-benar bertemu pemilik barunya. Kan tidak lucu kalau Theo batal membayar Mendes hanya karna mobilnya berdebu dan sedikit bau. Maka dari itu setelah semua persiapan beres, dan Mendes pun sudah rapih Jane membawa mobil kesayangannya pulang untuk janji temu yang sudah dia iya-kan setengah jam yang lalu. Setelah sampai di kompek perumahan dan Jane membelokan Mendes ke depan halaman rumah Theo, mematikan mesin, gadis itu pun buru-buru turun, bahkan tak sempat mendandani penampilan karena sudah amat terlambat. Jane berjalan cepat ke arah pintu rumah Theo. M
Diantara deretan resto-resto kecil di tengah kota itu, Jane dan Theo singgah. Memilih tempat yang tepat untuk makan malam. Menurut Jane, karena dari awal Theo hanya iya-iya saja ketika gadis ini mengajaknya kemari. Mereka duduk di meja di luar ruangan, ingin sesekali makan sembari menghirup udara kota malam-malam. Warung makan dengan signature menu bakso urat ini menjadi bentuk kesenangan Jane, ia tidak lagi memikirkan seberapa banyak mecin yang tertuang di dalam kuah bakso yang sedap itu. anggap saja ini cheating day. Jane mengulurkan buku menu pada Theo. “Nih, di Jerman nggak ada bakso kan?” Dan langsung di terima dengan senang hati oleh si lelaki. Theo memeriksa beberapa daftar menunya. Semua bakso. Ya, karena ini memang restoran bakso, jadi ia harus pilih apa? Theo meletakan buku menu itu di atas meja. “Saya ikut kamu aja.” Jane mendengar itu mengangguk mengiyakan. Jemari lentik Jane terangkat di udara. Memanggil wa