Share

GUNDUKAN TANAH, MAKAM.

“Harusnya kamu belajar dari Lee, dia bisa menjadi apa saja tanpa harus bekerja terlalu keras sepertimu!” seru ayah dengan tangan menunjuk Lee yang diam di ambang pintu kamarku.

Saat itu, Lee dan aku belum bermusuhan seperti sekarang ini.

“Ayah, kami berbeda. Lee bukan orang indonesia asli,” ujarku membela diri.

Namun bukan tanggapan baik yang kudapatkan, ayah malah menampar pipi kiriku dengan sangat kencang, aku terduduk di karpet kamar dengan kedua tangan memegangi pipi kiri yang berdenyut sakit.

Netraku melirik pada Lee, gadis itu sama terkejutnya denganku. Merasa iba akan tatapannya yang takut, aku menyuruh Lee untuk keluar dari kamarku melalui kontak mata. Lee yang mengerti pun langsung keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya lebih dulu.

“Ayah, aku berjanji semester depan akan jauh lebih baik lagi,” ujarku memelas. Tanganku tergerak memegangi kedua kakinya, memeluknya masih dengan posisi terduduk di atas karpet sebagai bukti bila sekarang ini diriku bersungguh-sungguh dengan ucapanku.

Ayah bergeming, deru napasnya yang masih memburu selalu membautku takut.

“Bukannya itu perkataanmu tahun kemarin,” ucapnya dengan nada datar, rupanya mencoba mengingatkanku.

Aku meneguk ludah susah payah, badanku kembali bergetar tatkala atyah menghempaskan tubuhku menggunakan salah satu kakinya. Aku terjungkal ke belakang, kedua siku tanganku yang sialnya menapak pada lantai yang tidak tertutup karpet berdenyut sakit karena benturan yang kencang.

“Awh...,” rintihku. Aku mendonggakan kepala, berharap ayah ikut berjongkok di hadapanku dan memelankan nada suaranya. Setidaknya berdoa agar keajaiban datang dan laki-laki paruh baya itu menolongku serta mengatakan ribuan kata maaf atas perlakuannya barusan pada anak kandungnya ini.

Namun memang itu hanya ekspetasiku, ayah memang berjongkok, tetapi aku tidak terlalu yakin ia akan menolongku.

Ayah menekan daguku dengan tangan kanannya, terpaksa membuatku mendonggak menatapnya dengan kedua air mata berlinang.

“Ini kesempatan terakhirmu, bila semester depan kau kalah dengan Lee, jangan harap bisa tinggal dinegara ini lagi, anak sial.”

Terasa ditancap ribuan anak panah, hatiku berdenyut mendengar umpatan yang ayah lontarkan untukku pada kalimat akhirnya barusan.

Ia menghempaskan tangannya dari daguku, hal itu membuat kepalaku menoleh kasar dengan rambut panjang yang menutupi wajahku. Di ambang pintu, aku jelas-jelas melihat Lee yang melihat kami takut-takut.

Aku tak berniat kembali menatap ayah hingga derap langkah kaki terdengar seiring dengan Lee yang melotot dan menyembunyikan tubuhnya dibalik pintu.

Ayah keluar dari kamarku dengan langkah lebarnya, syukurlah, kali ini aku aman. Semesta, berbaikhatilah padaku setelah ini, permudah aku mendapatkan peringkat pertama di kelas.

***

“AYAH!”

Mataku melebar dengan napas yang terengah-engah, mataku menatap sekeliling dengan linglung, mimpi buruk tadi terasa sangat nyata. Terjadi di kamar ini, ruangan istirahatku ini.

Aku menyugar rambutku ke belakang, tangan kananku tergerak menggapai air putih dalam cangkir yang selalu kuisi sebelum tidur. Menyesapnya hingga tandas masih dengan napas yang terengah-engah.

Aku menyandarkan tubuhku pada kepala ranjang, menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan horden putih tipis yang bergerak bersama angin. Semilir angin diiringi dengan suhu pendingin ruangan tak membuatku melupakan ingatan buruk yang seolah terputar ulang.

Mataku memejam, menelan ludah susah paya tatkala mengingat mimpi yang sudah lama tak mampir kini menghampiriku kembali. Kembali setelah hampir dua bulan ini tenang-tenang saja. Namun mengapa daatng lagi?

“Aku belum mengunjungi makam ayah dan bunda,” ucapku setelah mengingat-ingat.

Setelahnya tubuhku kembali rilex. Aku kembali merebahkan tubuhku setelah mengetahu jawabannya.

Satu bukan ini sibuk bersama tugas sekolah dan ujian praktik membuatku lupa mengunjungi rumah terakhir ayah dan bunda.

Aku kembali menarik selimut tebal yang merosot ke bawah karena pergerakanku, bersiap kembali tidur setelah merasa tenang.

Ayah, bila kau ingin putrimu mengunjungimu, tolong jangan menggunakan mimpi buruk itu, aku ketakutan, yah. Juga bunda, baik-baik di sana ya.

***

Dres berwarna hitam dengan bunga mawar dua ikat menemani langkahku pada pemakaman umum yang tampak sepi.

Aku memelankan langkah kakiku tatakala sampai di depan makam Bunda dan Ayah yang berdampingan, setelahnya mendudukan tubuhku di antara dua makam itu.

“Bunda, Ayah, Lu datang,” ucapku memberti tahu dengan senyuman manis.

Tanganku meletakan satu mawar di makam ayah dan satu mawar di makam ayah masih dengan senyuman yang merakah.

Beralih pada nisan bernamakan ayah dan bunda, mengusapnya penuh sayang bak benda rapuh yang bisa saja tumbang bila dipegang terlalu kencang.

“Maaf jarang berkunjung. Lu mendapat nilai yang kurang baik ulangan beberapa hari lalu, ayah jangan marah, Lu pasti bisa mengatasinya pada ulangan depan. Bunda, Lu rindu nasi goreng buatan Bunda. Lu pernah mencoba membuatnya sendiri, dengan resep dan tahap yang sama seperti bunda memasak dulu, tetapi mengapa rasanya berbeda? Apa karena berbeda tangan pembuatnya?” cerocosku panjang lebar kepada dua gundukan itu.

Menahan cairan kristal yang sudah hampir tumbang dipelupuk mata. Ah, Lu, kau bukan anak kecil lagi, dulu Bunda pernah bilang bila orang dewasa pandai menyembunyikan tangisannya.

Namun apalah, diriku bisa tegar dan acuh di hadapan siapa saja. Terkecuali di depanayah dan bunda, mana ada anak yanga bisa menahan air matanya bila di hadapkan dengan orang tua?

Aku sama, cairan bening itu kini perlahan menetes, membasahi tiap inchi wajahku yang merasa tidak terima.

Awan mendung di pelupuk mataku kian menjadi, lautan darah pada warna mataku yang basah juga kentara, serta sandaranku pada pelupuk mata agar tak terpejam dan menghasilkan tangisan juga angkat tangan.

Aku menangis tersedu-sedu di antara peristirahatan ayah dan bunda.

Percaya bila manusia bisa lemah kapan saja jika berhadapan dengan orang tua mereka. Lu, kau mempercayainya secara penuh sekarang.

Aku kembali melangkah keluar dari pemakaman umum ini setelah puas menangis, genggaman tanganku pada slingbagku kian mengerat, satu jam lebih menumpahkan air mata di depan ayah bunda terasa kurang jua. Namun kali ini aku memilih menahan tangisanku ini, sudah bersedihnya.

Setelah sampai pada jalanan raya, langkah kakiku kembali berhenti, menatap banyaknya kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat. Mataku terpejam, menghirup oksigen rakus sebelum kembali melanjutkan langkah.

Melihat banyak mobil dan kendaraan lainnya yang berhanti karena lampu merah, aku kembali melangkahkan kaki diatas aspal dengan strip berwarna putih. Gaun berwarna hitam yang kaukenakan ikut bergerak sesuai dengan langkah kakiku dan angin sore ini.

Langkah kakiku berlanjut dengan irama santai setelah sampai pada trotoar seberang jalan, berjalan lurus menuju halte bus yang letaknya tak jauh dari sini.

Embusan napas keluar dari mulutku setelah menatap arloji yang menempel pas pata pergelangan tanganku. Pukul 17.01 WIB, semoga waktunya cukup.

Mataku membola tatkala mendapati bus sore ini telah berjalan dari halte dengan penumpang yang cukup sesak. Aku berdiri di pinggir trotoar, melambai-lambaikan tangan agar bus itu berhenti.

Senyumku terbit tatkala melihat kendaraan besar itu berhenti di depanku, seorang Kenet keluar dan memberikanku jalan masuk. Setelah menempelkan kartu langganan pada mesin yang tersedia, kakiku kembali melangkah menyusuri bus besar ini.

Aku mendengus sebal tatkala mendapati kursi yang biasa aku duduki kini sudah ditempati oleh gadis muda yang asing dalam netra.

Dengan perasaan tidak rela, aku kembali melanjutkan langkah dan duduk di kursi paling belakang dan paling pojok yang ada di bus ini.

Ah, posisi yang tidak terlalu buruk untuk mulai hanyut dalam duniaku sendiri.

Athala, kamu sedang apa di dunia nyata?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status