Share

Bagian Tujuh

“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja.

Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding  di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral.

Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen.

Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan.

Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir membuatnya berakhir di kantor polisi.

Hari jum’at pukul 6.40 sore di taman yang sama pada tahun pertama, Lucy berteriak minta tolong mengatakan bahwa orang yang berkata ‘hai’ itu adalah orang jahat yang berusaha menculiknya. Rino yang panik itupun kabur dan tak mengganggu Lucy untuk satu minggu kemudian.

Ia bahkan sempat menjadi buronan oleh polisi setempat atas laporan Lucy. Untung saja Rino berhasil meyakinkan Lucy sebelum ia mendapat kawalan polisi untuk masuk ke dalam kantor polisi.

Ia tertawa kecil mengingatnya. Meskipun gadis yang termenung itu mendengarnya, ia tetap tak mempedulikannnya.

Rino menggigit bibirnya dan mengernyitkan dahi, mulai berpikir kembali cara mengisi kembali kekosongan raga yang masih setengah penuh itu. Dan sepertinya harus menggunakan strategi yang tepat untuk ini.

Sementara Lucy masih asik melihat keluar jendela, menekuk kedua kakinya, menyangga wajahnya dengan satu tangan. Untungnya dia masih sadar akan kewajibannya untuk mandi.

Masalah pakaian ganti mereka berdua sudah terpecahkan. Karena lelaki itu tak tahu apa yang ingin Lucy pakai, ia meminta Bik Nah untuk mengirimkan beberapa pakaian ke alamat mereka. Dan Rino sendiri membeli beberapa pakaian di toko terdekat. Setelah mengecek Maps, rupanya ada toko pakaian yang baru dibuka di sana.  Ia tak ingin meninggalkan Lucy terlalu jauh dan lama.

Rino mengangkat tubuhnya, ia akan meninggalkan Lucy dan mencari strategi yang jitu untuk memaksa Lucy makan. “Kau ingin aku membawa semua ini pergi atau kutinggalkan di sini saja?” ujarnya dengan posisi kepala dimiringkan. Tak ada jawaban, ia memalingkan tubuhnya.

“Oooke,” imbuhnya.

Tiba-tiba ia terdiam. Rino tak bisa melangkah pergi dari sana, jantungnya berdegup dua kali speed. Rasanya tak ada masalah pada kakinya, sumber masalahnya berada di tangannya.

Lucy menahannya. Ia membawa tubuhnya mendekat ke posisi pria itu. Menggenggam tangannya dengan maksud, “Don’t leave me”. Perlahan Rino memutar tubuhnya dengan tangan Lucy di tangannya. Tarikan napas panjang ia ambil, menguatkan hatinya.

“Aduh. Mengapa begini?”

Dilihatnya Lucy, rambutnya terurai panjang menutupi sebagian sweater yang ia pakai, kedua kakinya sudah menyentuh lantai. Ia memiliki banyak stok sweater di rumah, ‘sweater everywhere’ slogan yang ada di buku hariannya satu tahun yang lalu saat mulai menginjak jenjang Sekolah Menengah Atas.

 Ia masih menggenggam tangan Rino, tatapannya tak mengibaratkan apapun.

Tak sesuai ekspestasi Rino. Sebenarnya, ia membayangkan bahwa Lucy mungkin tersenyum atau menekuk bibirnya ke bawah dengan tatapan memelas. Ia hanya menatap Rino normal pada umumnya, biasa aja.

Tapi tak apa pikirnya, apa yang ia harapkan dari Lucy?

Kini tatapan mereka saling bertemu dengan kedua tangan yang masih tersambung. Rino mengangkat kedua alisnya. Lucy masih tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Ia menarik tangan Rino dengan tenaga untuk mendudukannya di kursi di belakang Rino.

Oh, ia menggunakan tenaganya terlalu banyak. Rino malah tertarik ke hadapannya, lebih dekat. Nasib baik Rino segera menumpukan tangannya ke tepi ranjang dan kepekaan tubuh Lucy untuk memundurkan dirinya. Sehingga tak terjadi tabrakan di antara mereka. Mereka berdua tampak terkejut dengan mata yang membulat. Terlebih lagi Rino.

Lucy lansung mendorong kedua bahu Rino untuk duduk di kursi itu. Ia ingin mulai mengobrol dengan Rino. “Maaf,” kata pertama yang keluar dari mulut Lucy setelah tiga hari itu.

Rino masih merasa sedikit terkejut dan canggung. Ia melipat kedua bibirnya masuk ke dalam dan mengangguk. Lalu tersenyum ala iklan di TV. Ia bahkan melupakan fakta bahwa Lucy sudah mulai berbicara karena perasaan canggung yang terasa.

Lucy hanya terus memperhatikan Rino yang melihat ke segala arah, kecuali Lucy.

“Ada apa kau menyuruhku tetap di sini?” ujarnya yang masih terus melihat ke arah lain.

“Aku tak menyuruhmu tetap di sini,”

“Benarkah? Aku rasa ada seseorang yang menahan tanganku tadi. Itu memiliki arti....”

“Hm. Aku hanya ingin kau menemaniku, jika kau mau. Aku teringat sesuatu yang membuatku takut,” Lucy berkata seraya menjatuhkan pandangannya ke lantai, suaranya bergetar. Rino mulai berani melihat ke arah Lucy mendengar suaranya seperti itu.

 “Apa itu?”

“Aku hanya teringat saat pertama kali menemukan Ibuku,” ia berkata dengan parau. Terlihat mulai gelisah kembali.

Di benaknya, semua darah yang berceceran itu masih tercetak jelas dalam memorinya. Ibunya tergeletak di bawah meja dapur, tempat di mana ia berada sebelumnya. Ia tergeletak dengan rapi, penampilannya tak kacau seolah ia telah melakukan perlawanan.

Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri sejak saat itu. Mengapa aku tidak di sana? Mengapa Ibu tidak memberikan sinyal? Apakah ia benar-benar sukarela untuk mati atau tidak mengetahuinya saja?

Air mata mengalir di pipinya. Wajahnya masih terlihat monoton. Tertunduk memeluk tubuhnya sendiri dengan rambut yang disimpan di belakang telinganya.

“Apa kau tahu? Dia mati kehabisan darah! Kenapa Ibu tak berteriak? Ia bisa selamat,” ujar Lucy parau mencoba membendung air matanya.

“Bagaimana kau tahu?” Rino tak melihat kondisi terakhir ibu Lucy saat ditemukan, karena setelah memanggil polisi dan ambulans Lucy tak mengabari siapapun lagi. Bahkan Kakek dan Neneknya diberitahukan oleh warga setempat.

Para tetangga berkerumun mendengar teriakkan Reika lalu mendengar suara ambulans. Lucy tak berteriak sama sekali!

Ayahnya berada di luar kota, adiknya berada di luar bersama Bik Nah. Kakek Lucy menyuruh Bik Nah untuk mengajak Reika berjalan-jalan seharian penuh.

“Apa kau yakin tidak sedang memakai earphone? Mungkin saja Ibumu berteriak tetapi kau sementara tuli buatan.”

“Aku yakin! Berhentilah bercanda!” ujar Lucy dengan nada lemas namun terdengar kesal di saat bersamaan.

Rino mengedipkan mata beberapa kali. Ia terpikirkan untuk menendang dirinya dengan keras. “Maafkan aku. Ini sudah takdir, bersabarlah. Aku yakin pasti ada alasan lain dari mendiang Ibumu.”

Rino melihat gadis itu dengan tatapan yang dalam. Ia tak tahu harus bagaimana, “Sebenarnya aku punya pemberitahuan untukmu mengenai hal itu.”

Lucy menoleh ke arah Rino di depannya. Kedua pipinya penuh dengan air mata, Rino mengambil tisu di meja. Ia mengusap pipi gadis itu seraya menghela napas. Lucy memajukan wajahnya tiba-tiba, ia terkejut dan menghentikan usapannya.

“Kumohon berhentilah.”  Ia sering mendapat serangan panik saat bersama Lucy akhir-akhir ini. Jantungnya menggebu-gebu seperti perasaannya.

Tangannya masih terdiam berada di atas pipi Lucy, berusaha mengontrol dirinya.

“Kamu salah hari,” ujarnya dan melanjutkan mengeringkan air mata Lucy. Lucy terdiam. Ia memundurkan kembali wajah beserta tubuhnya. Ia menatap tajam pria yang berada tepat di hadapannya itu.

“Hari apa maksdumu?” Pikirannya tak bisa memahami apa maksud Rino tentang itu. Salah hari untuk apa?

“Hari persidangan.” Lucy terdiam. Gadis itu tak tahu harus berkata apa. Speechless. Ini sangat membingungkan.

“Lalu? Kenapa Pak Beni berada di kursi itu? Apa dia sedang dalam masalah?”

“Dia memperkosa murid lesnya. Sudah kuduga dia memang orang mesum. Aku sudah bilang bukan jika kau jangan terlalu baik padanya?” ujar Rino setelah selesai mengelap wajah Lucy dan membersihkan bekas-bekasnya.

Lucy tak percaya dengan apa yang dikatakan Rino. Pak Beni, guru kenalan Ayah Lucy,  tak tampak seperti itu, bahkan kepribadiannya baik. Meskipun Lucy bukan muridnya.

“Lantas? Mengapa kau tidak....”

“Mau menyalahkanku? Bukankah aku sudah mengajakmu untuk keluar?”

Gadis itu kembali diam, ia memikirkan kembali persidangan itu. Ia menundukkan wajahnya. Perasaannya kacau. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana setelah ini.

Pelakunya masih misterius. Lalu, kapan sidangnya? Kapan Lucy bisa bertemu dengan pelakunya?

“Apa kau tahu siapa pelakunya?” Rino terdiam mendengarnya. Ia tahu jawabannya namun ia tak bisa mengatakannya. Ini bukan waktu yang tepat. Gadis itu akan benar-benar berakhir jika tahu pelakunya.

Aku tahu, Lucy. Tetapi aku tak yakin jika ia pelakunya. Ini sangat ganjil.

“Entahlah. Aku tak bertanya dan mencoba mengendap di kantor polisi. Kau mau aku melakukan hal melanggar privasi seperti itu?”

Tatapannya mulai kosong, matanya terasa berat, pandangannya tiba-tiba sedikit memburam. Tubuhnya mulai tersuyung dan kehilangan keseimbangan. Rino kebingungan melihat gadis di depannya. Ia mendekati  gadis di depannya itu dan duduk di sampingnya.

“Ada apa?”

Lucy mengangkat wajahnya lemas, tampak Rino yang terlihat cemas, ia tersenyum tipis melihat pria di sampingnya. Seketika semuanya menjadi gelap dan tak terkendali dalam tubuhnya.

Brukkk!

Gadis itu terjatuh lemas di pelukan Rino. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia mengabaikannya. Lucy lebih penting saat ini daripada perasaannya. Ia membenarkan posisi gadis itu lalu membaringkannya di kasur senyaman mungkin.

Binarnya khawatir dengan gadis yang terbaring lemas, tak sadarkan diri. Bibirnya pucat, ia tampak sedikit kesulitan bernapas. Rino menyibakkan rambutnya dan meninggikan posisi kepala gadis itu. Ia berusaha setenang mungkin dan tidak panik.

Ya, cover-nya memang tak terlihat panik, namun hatinya sangat ketakutan jika ini adalah hal buruk.

Ia mengambil ponselnya dengan sedikit tergesa, bahkan hampir terjatuh dari genggamannya. “Halo? Bisakah Anda datang? Lucy pingsan, Saya memerlukan bantuan Anda.”

Kini ia hanya bisa menunggu..., seseorang. Seseorang yang bisa merawat Lucy untuk sementara, dengan keahliannya yang hampir setingkat dokter.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status