Share

Bagian Satu

Gadis itu membenturkan kepalanya beberapa kali ke meja belajar, dibenturan terakhir ia tak bergerak dan tetap dalam posisi membungkuk. Tangan yang tergantung, rambut hitamnya yang bergelombang terurai jatuh ke bawah. Wajahnya melekat tepat pada meja.

Lucy menangis ditemani oleh kesunyian malam. Tanpa bergeming sedikit pun, air matanya jatuh perlahan di atas meja.

Suara tangisannya seperti diambil oleh angin, menghilang, terbang melayang, pergi meninggalkan Lucy seorang diri hanya dengan berteman kesunyian malam ini.

Beberapa tetesan air matanya telah  menggenang di bawah mata yang tertutup itu. Akankah dia terluka karena benturan di mejanya, atau menangisi kepergian ibunya?

Rintihan mulai terdengar pelan, perlahan keluar dari mulutnya. Angin telah mengembalikan suaranya. Belum sepenuhnya kembali, tetapi lebih  baik dari sebelumnya.

Bahunya bergetar, naik turun mengikuti nada tangisannya. Tangan kanannya naik ke atas meja, memukul-mukul meja dengan lemah. Lucy menangis semakin kencang.

Ia terlihat sangat emosional. Lucy memperbaiki posisi duduknya, menahan kepalanya dengan satu tangan dan mencoba mengeluarkan semua air matanya.

Dia bangkit dari kursi, menyeka air mata di pipinya, mengambil tisu dan menghilangkan genangan air mata di mejanya. Menghabiskan lima helai tisu untuk itu, ia menggulung semuanya, dan melemparnya ke sudut kamar.

“Tak mengapa, berhentilah menangis.” Ya, begitulah cara Lucy menenangkan dirinya sendiri. Bagi beberapa orang, berbicara sendiri merupakan jalan keluar ketika tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara.

Suaranya terdengar parau, isakannya perlahan bisa ia kontrol agar air matanya berhenti mengalir. Lucy tersenyum menyeringai, “Sebentar lagi kau akan bertemu dengannya.” Dia tersenyum dengan mata yang sembab, pipinya masih basah.

Lucy kembali duduk di kursinya, mengamati sekeliling meja di depannya saat ini. Mencari bolpoint dan menuliskan self-reminder di notepad-nya.

Aku akan segera menemukanmu dan akan tahu apa yang telah terjadi.

Lucy Velyyan, 13 Maret 2017

Ia selalu menambahkan titimangsa di bagian bawah notepad-nya, untuk berjaga-jaga ketika Lucy memeriksa kembali semua yang ia tuliskan, ia akan ingat apa yang terjadi saat itu dan kenapa ia menulisnya.

Meletakkan penanya, dan menempelkan memo di layar monitor berpenutup hitam dengan beberapa stiker, di meja belajarnya. Lucy selalu menggunakan komputernya, sehingga ia tak akan melewatkan apa pun jika menaruhnya di sana. 

Lucy mengambil napas panjang bersamaan dengan melihat keluar jendelanya yang masih terbuka di tengah malam yang penuh bintang. Mencoba menghirup udara yang masih segar dari sana.

Mejanya berada dua puluh sentimeter dari arah samping kanan jendela. Memudahkannya untuk melihat bebas keluar jendela, ke langit malam yang indah dan berbagai hiasan terpajang di sana. Lucy menyukai astronomi dan hal-hal berbau luar angkasa lainnya, ia bahkan sampai membeli teleskop untuk memandangi langit dengan jelas.

Angin malam yang berhembus, menyegarkan dan membuatnya merasa tenang. Lonceng angin yang berbunyi di sana, ikut menambah ketenangan hatinya malam itu. Membantunya melupakan kesedihan yang ia rasakan saat ini.

Ia menutup mata sembabnya, senyuman tipis terlukis di pipinya. Ia tampak sangat tenang, dan menikmati hidunya untuk sesaat.

Melirik jam digitalnya yang sudah menunjukkan pukul 10.14 malam, ia memutuskan untuk menutup jendela kamarnya. Tentu ia tak mau hal yang mengerikan datang.

Baru setengah langkah ia melangkah menuju jendela, ketukan pintu terdengar. “Apakah kau sudah tidur, Sayang?” Sebuah pertanyaan melesat dari sela-sela fentilasi di atas pintu kamar, “Jika belum, segeralah tidur tak baik jika remaja sepertimu tidur larut.”

Apa pedulinya terhadap diriku? batinnya setelah mendengar suara kakeknya. Tak ada jawaban untuk pertanyaan kakeknya, sejujurnya Lucy tak begitu menyukai kakeknya.

Itu tak bisa dipungkiri lagi, kakeknya bisa dibilang “Bermuka Dua”. Tetapi, hanya Lucy yang menganggapnya seperti itu. Karena tak ada yang menyadari perbuatan kakeknya, ia sangat pandai bermain peran dan memanipulasi orang di sekitarnya.

Lucy pun kembali pada apa yang akan ia ingin lakukan sebelumnya, menutup jendela kamarnya dan pergi tidur. Malam ini terasa berat baginya, sangat memalukan jika ada yang tahu ia menangis.

Pandangannya tertuju pada bagian bawah bingkai jendela. Kedua tangan Lucy menggenggam ke bingkai jendela itu, ia mendongakkan wajahnya ke atas menghadap langit malam.

Menyempatkan sedikit waktu sebelum ia bermimpi, untuk mengagumi apa yang Tuhan ciptakan untuk langit malam yang gelap. Begitu indah, langit malam yang penuh kelap-kelip.

Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar sangat dekat di telinganya. Lucy mengamati sekitarnya, mulai dari kanan hingga kiri ke setiap objek yang ada di sana. Ia tak ingin melewatkan apapun di sana.

Matanya menangkap seseorang di balik semak bunga di bawah sana, tetapi ia tidak bersembunyi, ia tampak sengaja menampakkan diri. Seseorang itu sedang menatapnya dari bawah sana.

Untuk sesaat Lucy merasa panik tentang ke beradaannya di sana. Berbalut jubah hitam. Lampu jalan di area perumahan kakeknya tidak menyala, sehingga orang di bawah sana terlihat samar. Namun, keberadaannya jelas ada di bawah sana. Lucy yakin itu adalah seseorang!

Karena kamar Lucy berada di lantai dua rumah itu, jarak di antara mereka hanyalah beberapa meter saja. Cukup dekat, dan cukup menakutkan.

Lucy melihatnya, mencoba menganalisa seseorang di bawah sana. Tiba-tiba, ia menyeringai, Lucy terkejut dan membulatkan matanya. Bulu kuduknya berdiri. Tetapi, Lucy mengabaikan sinyal dari tubuhnya. Lucy mencoba melihat lebih jelas dengan menggosok matanya.

Mungkin karena cahaya bulan malam itu, seringai seseorang di sana menampakkan giginya dengan beberapa noda merah di bibirnya, seperti bekas yang sudah mengering dengan jelas.

Lucy memajukan tubuhnya agar dapat melihatnya dengan jelas. Mereka beradu tatapan untuk beberapa saat waktu. Tak ada suara yang keluar di antara mereka.

Lucy khawatir orang berbuat jahat kepadanya. Dengan segera, jendela kamarnya ia tutup, dan berjalan mundur menjauhi jendela. Bagaimana  jika orang di bawah sana benar-benar orang jahat?

“Tunggu... Siapa yang akan menguntitku? Apakah aku dalam bahaya?” Ia berusaha melupakan apa yang terjadi baru saja. “Ataukah itu tadi hanya imajinasiku?”

Lucy langsung saja menghampiri kasurnya yang empuk, ia tak perlu berganti pakaian, ia sudah melakukannya setelah mandi pada sore tadi.

Ketika Lucy tak ada hal yang ia ingin lakukan di malam hari, ia langsung berganti piyama tidur setelah mandi. Akan menyusahkan juga jika terlalu banyak pakaian kotor yang tertumpuk di keranjang.

Kamarnya tampak masih terang benderang, ia teringat untuk mematikan lampu kamar. Dengan berat hati, Lucy berjalan menuju tombol on-off lampu kamarnya. Ia berjalan dengan santai setelah apa yang terjadi tadi.

Lucy bukan seorang gadis yang begitu penakut, meskipun hari ini Jum’at tanggal 13. Di mana ‘mitos’ mengatakan hal buruk bisa terjadi atau hal baik yang akan terjadi.

Ia melewati jendela kamarnya, gordennya menyibak di  pinggir bingkai jendela, kainnya tembus pandang berwarna abu-abu, dengan bagian tengah atasnya terdapat lonceng angin berlapis kuningan. Kini lonceng itu tak berbunyi, tentu saja jendelanya sudah di tutup rapat. Tetapi, tidak terlalu rapat untuk menyelipkan bayangan.

Lucy melewati meja belajarnya, komputernya yang berada di sana, tiba-tiba saja menyala dan muncul notifikasi email masuk. Ia memutuskan untuk memutar arah dan membuka email-nya terlebih dahulu.

Gadis itu duduk dengan berat hati, karena ia hanya ingin tidur tetapi tertunda. “Aku mohon aku sudah lelah, biarkan aku berhenti dan melanjutkan lelahku esok.” Tuhan sepertinya tak mendengar keluhannya.

Lucy menaruh seluruh rambut panjangnya di sisi kanan bagian depan tubuhnya, lalu mengembungkan pipinya dengan  udara yang ia hirup. Bersamaan dengan ia meletakkan tangannya di atas keyboard.

“Aku bisa saja menundanya. Kenapa aku membukanya sekarang?” Ia akhirnya membuka email-nya, di sana tertulis pengirimnya adalah Rino. Pria yang tiga tahun lebih tua dari Lucy, ya, pria yang menemani Lucy di pemakaman ibunya hari itu.

Darah yang tergantikan,

Tubuh akan mengikuti.

Taring yang patah,

Tubuh yang menghilang.

Dua unsur menjadi satu.

Temui aku besok malam.

Seperti biasanya.

Tidak biasanya Rino menambahkan kalimat pembuka seperti itu. Apakah itu puisi? Jika benar, maka itu adalah puisi yang sangat buruk dari yang terakhir kali pernah Lucy lihat.

Itu pada saat duduk di bangku Sekolah Dasar, seorang gadis di kelas tampak sedang membacakan sebuah puisi bertemakan Ayam di secarik kertas. Gadis itu bernama Lucy.

Siapa yang akan menjadikan ayam sebagai tema selain Lucy di sana, tentu semua teman sekelasnya menertawainya. Ia tersenyum memikirkan hari itu, memalukan tetapi penuh kenangan ..., yang memalukan tentunya.

Setelah bernostalgia singkat, Lucy mematikan komputernya dan beranjak pergi dari kursi  menuju sakelar. Rasa malu akan terus membayanginya jika terus duduk di sana.

Tentu untuk mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur. Lucy sudah sangat kelelahan dan tenaganya sudah tidak tersisa banyak. Dia perlu mengisi ulang tenaganya, dengan tidur.

Baru saja akan menekan tombolnya, Lucy tiba-tiba mendengar suara dari balik pintu kamarnya. Ia menelan air liur, bulu kuduknya kembali memberikan sinyal dan Lucy lagi-lagi mengabaikannya. Rasa ingin tahunya muncul, ia penasaran suara apakah itu.

Lucy belum menoleh ke arah pintunya, tetapi jelas bahwa suara itu berasal dari sana. Ia melirik pintu itu, matanya berkedip beberapa kali dan kemudian memutar arah pandangannya.

Perlahan ia berjalan mengendap mendekati pintu yang tidak jauh dari tombol lampu kamarnya, tanpa mengalihkan pandangan ia berjalan dengan mata yang tertuju ke pintu. Suara itu semakin terdengar, desisannya semakin jelas.

Seperti ada dua orang yang mendesis di sana. Lucy mengintip dari rongga bawah pintunya. Tak ada seseorang di balik pintu ini. Tiba-tiba suaranya menghilang.

Beberapa saat kemudian, suara itu kembali terdengar, tetapi kata yang diucapkan tidak bisa dimengerti. Apa yang terucap seperti bukan sebuah kata. Suara yang aneh.

Lonceng anginnya tiba-tiba berbunyi, sama seperti saat angin melewatinya. Lucy memalingkan wajah ke arah jendela kamar. Jendelanya sudah tertutup sehingga angin tak bisa menyelinap ke dalam kamarnya. Tetapi, mengapa itu bisa berbunyi seperti saat angin melewatinya?

Suara desisan itu menghilang lagi, Lucy kembali menatap ke bawah pintu. Tetapi, tetap tak ada apapun di sana.

Mungkin hanya perasaannya saja. Lucy langsung mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur, “Semoga tak ada hal yang kulupakan,” berharap Tuhan mendengarkan keluhnya.

Bulu kuduknya kembali memberikan sinyal ketika ia melewati jendela kamarnya. Ia menggenggam telapak tangannya, keringat dingin telah membasahi telapak tangannya.

“Kenapa begini?” Lucy tak mengerti kenapa tangannya berkeringat. Tangannya secara tidak sadar menuju ke tempat jantungnya berada, itu juga berdegup kencang.

Ia melihat ke arah jendela, sesuatu mungkin akan muncul di sana. Cahaya rembulan terpancar menembus kamarnya yang gelap, bintang-bintang pun juga tampak jelas. Pancaran cahaya itu mengenai kakinya.

Lucy masih berdiri membeku dilumuri keringat dingin di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdegup semakin kencang membuatnya merasa sesak.

Ada hal yang buruk setelah ini, sesuatu akan menampakkan diri di jendelanya. Entah membawa hal baik atau buruk, bahkan mungkin akan mengancam nyawanya. Sesaat merasa gelisah kembali, Lucy yakin akan hal itu.

Ia semakin sesak dengan suasana ini, Lucy terduduk di lantai dengan penuh keringat. Pandangannya mulai buram, tangannya terasa basah dan hangat seperti ada sesuatu keluar dan mengalir di sana.

Lucy melepas genggamannya, melihat tangannya ternyata telah dilapisi oleh cairan merah. Menggelengkan kepalanya, tak percaya apa yang ia lihat. Napasnya mulai tak teratur.

Cairan merah semakin mengalir deras di tangannya, mulai membasahi gaun putih yang ternyata sedang ia pakai.

Matanya terpana dengan cairan itu, ia menyatukan kedua telapak tangannya dan berdoa kepada Tuhan. Berharap Tuhan masih memberinya kesempatan. Wajahnya perlahan mulai memucat.

Lucy tak bisa fokus pada do’anya dan memohon bantuan, kepanikkan menyerangnya setelah menyadari piyamanya telah menghilang dan bertukar menjadi gaun putih.

Jantungnya semakin berdegup kencang tak terkontrol, dadanya semakin sesak. Ia memegang dadanya dengan tangannya yang dipenuhi cairan merah.Tertunduk dan menangis lagi, ia ingin berteriak tetapi dadanya terlalu sesak dan sakit. Gadis itu menutup rapat matanya, rambutnya tak tertata dan sedikit terbasahi cairan merah itu.

Rasa sakit ini tak tertahankan.”Apakah aku akan berakhir seperti ini?” tuturnya di dalam hati.

Ia membuka matanya untuk memeriksa keadaannnya. Lagi-lagi kembali terpana dengan apa yang dillihatnya.

Lonceng angin itu tak berbunyi lagi, cairan merah itu juga menghilang dan tak ada yang membekas, piyamanya juga telah kembali. Seperti tak ada yang terjadi.

Lucy masih tak percaya apa yang ia lihat, dari mana semua itu datang dan pergi. Ia membolak-balikkan tangannya yang penuh cairan merah tadi dengan perasaan yang masih tak percaya.

Ia menoleh ke atas, “Ini hanya ilusiku atau kejadian lainnya?” Lucy bangkit, menuju kasur dan akan pergi tidur. Ia tak ingin memikirkan ini, itu akan membuatnya gila.

Ia melangkah kecil menuju kasurnya. Pikirannya kosong, tetapi wajahnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya, seperti tak ada aliran darah. Tenang, dia masih di sana.

Sebuah tangan mendarat di bahu kirinya, ia terhenti. Melirik tangan itu, sangat putih hingga garis biru halus terlihat di sana, kukunya juga berwarna seperti kulitnya dan di kelilingi oleh asap hitam, entah apa itu.

Lucy terdiam untuk beberapa saat.

“Kau sangat berani. Kita akan bertemu lagi, persiapkan dirimu. Saat hari yang telah ditentukan tiba, itu lebih dari ini.”

Setelah kata terakhir terucap, angin berhembus di belakangnya. Tangan itu kemudian menghilang bersama angin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status