Share

Who Am I: Past Lives
Who Am I: Past Lives
Penulis: Xuiqa Vei

Prolog

Tanah mulai menutupi kayu pembatas yang melindungi tubuh seseorang yang telah terbungkus kain putih di sana. Hujan kecil yang turun membuat prosesnya sedikit rumit, karena air mengubah sebagian kecil tanah menjadi lumpur dan genangan air ada di mana-mana.

Langit tampak turut menuangkan kesedihannya. Tiba-tiba saja ia merubah suasananya sesuka hati,  tak ada tenda penutup yang disiapkan.

Hujan yang turun sebenarnya hanyalah butiran kecil dengan presentase dua belas persen dibandingkan dengan yang tersimpan di langit. Tetapi tetap saja itu mengganggu.

Pemakaman ini tampak semakin menyedihkan. Semua orang bertahan di bawah hujan kecil itu. Pakaian mereka juga setengah basah karena hujannya.

Hanya suara rintik hujan, tangisan dan cangkul yang terdengar, tak ada percakapan di antara mereka semua. Semua kerabat, berlinang air mata sama halnya seperti langit hari ini.

Keranjang bunga juga sudah disiapkan. Berada di genggaman beberapa pelawat dan kerabat yang  menghadiri pemakaman ini.

Di antara semua pakaian berwarna gelap, di sana tampak seorang gadis kecil yang masih belum paham tentang apa yang terjadi saat ini. Dia tengah memegang sebuah foto seorang wanita yang masih cukup muda.

Gadis kecil itu terlihat mencolok dengan gaun biru pastel berenda hitam lembut di setiap pinggirannya. Di atas kepalanya, ada selendang hitam yang menutup rambut ikalnya. Kain selendang itu sedikit tembus pandang.

Sepatu putih yang ia pakai ternoda oleh lumpur, sesering mungkin ia mencoba menghapusnya namun warnanya tetap membekas di sana. Sama seperti hujan yang sudah reda, tetapi sisa airnya masih ada. Menggenang di mana-mana.

Gadis kecil itu berada di dekapan pria tua yang tak lain adalah kakeknya. Begitu tenang ia memegang foto mendiang wanita muda itu, ibunya.

“Kenapa Ibu di tutupi tanah, Kek?” Kakeknya hanya menguatkan dekapannya dan mengelus kepala gadis kecil itu dengan senyum memelas.

Air mata berlinang di atas kulitnya yang kusut karena usia, ia berusaha menyekanya. Agar tampak kuat di depan cucu kecilnya itu. Ia tak ingin cucunya ikut merasakan yang seharusnya belum ia rasakan.

“Ibumu hanya ingin tidur sendirian di sana, dan orang-orang di sini ingin mengucapkan ‘selamat malam’ kepada ibumu,” ujar kakeknya seraya mengelus kepala gadis itu. Gadis kecil itu menatap kakeknya, begitu pula dengan kakeknya.

Ia melihat raut wajah sang kakek, matanya berkaca-kaca, senyumnya tak dapat membuktikan bahwa ini akan baik-baik saja. Gadis itu hanya bisa mempercayainya.

“Apakah aku bisa menemui Ibu besok? Apakah Ibu besok akan bangun?” Pria tua itu hanya bisa mengangguk dan berusaha tersenyum penuh kepastian. Kebohongan ini mulai menjadi-jadi.

Gadis kecil itu kehilangan pahlawannya, kehilangan segalanya dari hidupnya. Seorang gadis kecil tentu belum mengerti sepenuhnya, betapa kosongnya hari setelah itu.

Semua orang menyaksikan pemakaman, mengikuti setiap tanah yang berpindah dan memenuhi liang. Tanah mulai terisi penuh, menandakan pemakaman akan segera berakhir.

Gadis kecil menyerahkan bingkai foto kepada kakeknya. Ia berusaha melepaskan dekapan sang kakek, dan berlari mendekat ke liang ibunya. Sang kakek tak dapat menahan gadis kecil itu, ia memutuskan untuk membiarkannya melihat lebih dekat. Mungkin itu saja yang bisa ia lakukan, pikirnya.

“Apakah Ibu akan benar-benar tidur di situ?” Dia melihat ke dalam liang yang akan penuh itu. Ucapan gadis itu lirih, tetapi samar-samar kakek bisa mendengarnya. Ia tak kuasa mendengar itu.

Bahkan, penggali kubur yang mendengarkan hanya bisa menyimpan iba dalam hati. Mereka tak bisa memberitahunya, itu masih belum pantas untuknya.

Air mata seseorang telah pecah, sudah tidak bisa terbendung lagi. Tertunduk dan terisak. Gadis kecil itu mendengar isak tangisnya, menoleh ke belakang dan menghampiri kakeknya di sana.

Memegangi pundak kekeknya dan mendongak di bawah kakeknya, memastikan apakah itu kakeknya. Dan, ya, benar.

“Ada apa, Kakek? Apakah karena Ibu? Tenang saja Ibu hanya akan tidur, bukankah tadi seperti itu katamu?. Tetapi, tetap saja aku tidak mengerti kenapa orang-orang menutupinya dengan tanah. Bagaimana jika Ibu kesulitan untuk keluar?”

Mengapa gadis itu yang justru menenangkan kakeknya? Seharusnya, dia yang harus ditenangkan, tetapi sepertinya itu tak perlu.

Isaknya semakin tak bisa tertahankan. Ia menatap mata gadis kecil di depannya dan memeluknya dengan erat. Tetapi, gadis kecil itu masih tidak mengerti apa yang terjadi dan hanya memilih untuk diam dan memikirkan itu semua. Semua tampak seperti tak berarti penting bagi gadis kecil itu. Dan, tak seorang pun yang dapat memberitahu apa yang terjadi.

Yang ia tahu hanyalah, “Ibuku akan tidur di sana, dan kami semua akan memberinya ucapan ‘selamat malam’.”

Pertanyaan satu persatu mulai bermunculan di benaknya, rasa ingin tahu, kebingungan, tersimpan rapat di benaknya. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang di sini? Jika Ibu hanya akan tidur bukankah ini terlalu berlebihan? Tapi..., aku percaya kata Kakek.”

Ia tak ingin menanyakan itu semua saat ini. Melihat semua orang sibuk dengan air mata, ia rasa itu juga bukan waktu yang tepat untuk bertanya.

Raut wajah dari gadis kecil itu menunjukkan semuanya, membuat pelawat yang memperhatikannya sejak dari tadi semakin terisak melihatnya.

Ia merenggangkan pelukan kakeknya, mengintip ke belakang kakeknya, matanya menulusuri setiap pelawat yang ada. Ya, dia tengah mencari seseorang yang seharusnya berada di sisinya.

Wajahnya hampir murung ketika tak kunjung menemukan orang yang dia cari. Dari ujung kiri hingga ujung kanan kumpulan itu, ia tak dapat menemukan sosok itu.

Akhirnya, matanya menangkap seorang gadis remaja berambut hitam bergelombang tertupi oleh selendang hitam, yang tatapannya mengikuti setiap tanah yang berpindah ke liang, melihat dari kejauhan.

Setelahnya, gadis kecil itu kembali ke pelukan kakeknya. Tampak lega dan juga marah melihat gadis remaja itu.

Sedangkan remaja itu enggan untuk mendekat, sehingga hanya memandangi dari empat blok makam di belakang pemakaman itu. Dengan payung di tangannya untuk melindunginya dari hujan.

Mungkinkah dia orang yang dikenal gadis kecil itu?

Gadis itu sepertinya menyadari pandangan gadis kecil tadi, ia kemudian menghela napasnya. Raut wajahnya tidak bisa terbaca, antara sedih atau marah.

Seorang pria berjalan menghampirinya  dari arah belakang. Ia baru saja tiba. Terlihat dari bajunya yang baru tampak bintik kecil dibanding dengan pelawat lain yang sudah basah setengah badan, kecuali gadis yang membawa payung. Entah sejak kapan gadis itu menyiapkan payung.

Ia bergabung dengannya, menatap gadis itu penuh iba. “Apakah kau tidak akan melihatnya untuk terakhir kali?” Tak ada jawaban maupun suara yang terdengar, gadis itu sepertinya hanyut dengan suasana.

Sesaat berikutnya, gadis itu menjawab pertanyaannya, “ ‘Dia’ tak ingin aku mendekat dengan wanita itu.”

“Sayang sekali, padahal ini kesempatan terakhirmu,” ketus pria itu.

“Kau sangat lemah! Kenapa kau tak melawan ‘dia’, Lucy? Aku khwatir kau akan menghilang bersamanya,” imbuhnya. Gadis itu bernama Lucy, dan dia juga tengah menghadiri pemakaman ibunya.

Mendengar kata ‘lemah’ dari pria di sampingnya, Lucy hanya terdiam seolah tak peduli dengan penghinaannya, mungkin akan menjawab hinaan pria itu nanti seperti tadi, atau mungkin juga tidak.

Tatapan marah berkolaborasi dengan iba dan sedih menghujam Lucy. Lucy sadar akan hal itu dan mengabaikannya, menahan dirinya untuk hal tak penting seperti ini.

Lucy hanya menujukan perhatiannya untuk makam ibunya. Mendengar isak tangis pelawat lain, rasanya ingin bergabung dengan isakan itu. Tetapi, ia tak sanggup untuk hal itu.

Pemakamannya hampir selesai, hanya tersisa menancapkan nisan dan mendoakan mendiang ibunya.

Sebelum itu terjadi, Lucy pergi terlebih dahulu, ia tak ingin berlama-lama di sana. Dia pergi dengan tenang, meninggalkan pria itu sendirian di sana.

Pria itu melirik langkah kepergian Lucy, di bawah rintik hujan yang mulai membasahinya. Kemudian ia bergabung dengan yang pelawat lainnya untuk mendoakan mendiang ibunya Lucy.

Beberapa langkah dari tempat ia berdiri sebelumnya, Lucy meneteskan air mata dan langsung menghapusnya. Ia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis, dan menahan semua rasa sakit yang dirasakannya. Sepertinya ia gagal menepati janjinya untuk pertama kalinya sejak janji itu dibuat.

Mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Ketika semuanya tampak berubah dan menyakitkan.

“Aku akan menemukannya!” Ia membuat kembali sebuah janji. Itulah alasan Lucy meninggalkan tempat itu terlebih dahulu, untuk mencari ‘dia’. Semoga saja ia bisa menepatinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status