Share

Bagian Sembilan

Tik Tik Tik

Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan.

Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung.

Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu?

Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya  bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada.

Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya.

Apakah aku telah mati?

Apakah ini alam baka?

Apakah aku aka pergi ke neraka?

Lucy tak tahu apa yang ia rasakan, bagaimana perasaanya. Tak ada yang menjawab pertanyaan di benaknya. Entah mungkin karena ia ketakutan. Rasa takut ini tak seperti rasa takut biasanya, dan bahkan ia tak menyadari bahwa ia ketakutan.

Ini masih terasa dingin dan membengkak, semakin membesar seolah akan meledak, hancur berkeping-keping.

Tunggu, apa itu? Suara yang berbeda ikut mengisi telinga dan benaknya. Masih begitu pelan, dan berjangka waktu yang cukup lama. Pikirannya terfokus mengidentifikasi suara itu, mengabaikan tetesannya.

Perlahan. Semakin terdengar jelas. Langkah kaki. Angle? Oh, tunggu. Bukankah mereka melayang? Siapa yang datang?“

“Siapa?!” ia berteriak tanpa ada yang bisa mendengarkannya. Sungguh ia ingin membuka mulutnya dan berteriak sekencangnya, atau mungkin bisa melarikan diri dari sana. Tubuhnya terasa tak memiliki tenaga untuk memaksanya pergi beranjak dari sana, menuju kegelapan lainnya.

Suara itu, makin mendekat. Jangka waktu setiap suara semakin pendek, semakin cepat, semakin kuat.

Seseorang telah menekan tombol ‘klik’ di benaknya. Suara itu menghilang. Semuanya seolah lenyap begitu saja. Tubuhnya terasa lebih leluasa saat ini, tetapi tetesannya masih terdengar.

Kemana suara itu pergi?

Perlahan ia mencoba membuka matanya. “Aku, terbaring.” Suara tetesan masih mengisi benaknya. Nampak langit-langit ruangan dengan pancaran brown light di sana, tampaknya hari sudah larut malam. Ia mengangkat tangan kirinya yang terasa berat dan bengkak, mencoba menggapai langit-langit di atas sana.

Ini baru setengah perjalanan, ia meringis kesakitan, tangannya terasa nyeri bahkan sebelum sampai ke pandangannya. Meletakkan kembali tangan kirinya ke kasur perlahan.

Rasanya sedikit nyeri secara halus mencengkram lengannya, cenat-cenut seperti membengkak. Lucy perlahan menengok ke lokasi rasa yang sedikit mengganggunya, tubuhnya mencoba mengumpulkan energi.

Sudah jelas di sana ada selang yang terhubung oleh kantong infus yang tergantung di tiang portable di sana. “Kenapa?” tuturnya lirih. Rino yang tertunduk di samping ranjang, sontak terbangun dan melhat Lucy yang tengah memandangi jarum infus yang menancap padanya.

“Bagaimana rasanya?” Terlihat binar di matanya dari cahaya yang memantul di sana, perasaannya senang mengetahui Lucy telah sadar. Cukup melegakan,melihat  gadis itu hanya pingsan beberapa jam.

Lucy menoleh ke arah Rino, ia belum sempat menjamah semua situasi dalam ruangan itu. “Apa yang kau lakukan di si-“ Ia berusaha berbicara dengan jelas dalam kondisi seperti ini, tetapi Rino memotongnya dengan gampangnya.

“Apa yang kamu rasakan saat ini Lucy? Bagaimana perasaanmu?” Rino menekankan kembali pertanyaannya dengan tegas, seraya membenarkan posisi duduknya di atas bangku samping ranjang.

Mengangkat bahunya, meletakkan kedua tangannya di saku jaket merah tanpa tudung yang ia kenakan. Nona Auri yang memberikannya untuk hadiah tahunan tahun lalu.

“I’m okay. Tell me.” Ia memalingkan wajahnya, menatap kembali langit-langit di sana. Ini terasa aneh baginya. Rino juga tiba-tiba terasa sedikit menyebalkan, ia lebih terdengar egois daripada sebelumnya. Ia sangat berhati-hati kepada Lucy sebelumnya.

“Kamu pingsan. Sudah kubilang ,’kan? Lihatlah apa yang terjadi padamu. Meskipun hatimu sedang buruk, jangan biarkan kesehatannmu juga memburuk. Kau tahu betapa khawatirnya aku? Bagaimana bisa aku membiarkanmu seperti ini?”

“Diamlah.” Berhari-hari perutnya kosong, ia terlalu lemas untuk berteriak kepada Rino. “Aku ingin memikirkannya kembali. Jadi, tolonglah jangan mengganggu perasaanku saat ini.”

Ia merasa bersalah mendengar ucapan Lucy seperti itu. Mungkin sebaiknya ia menunjukkan kekhawatirannya ketika Lucy lebih membaik. Ini juga terlalu berlebihan.

Sekarang Rino tak tahu apa yang harus ia katakan kepada Lucy. Dia hanya mencoba untuk menyadarkan gadis itu, tetapi perasaan Lucy benar-benar sangat egois. Ia ingin berada dalam kesedihan dan kekosongan itu terus.

“Maafkan aku. Mau sampai kapan tapi?” Pria muda itu berkata dengan lebih halus, ia akan mencoba mendengarkan permintaan Lucy. Binar di matanya memudar, memelas.

Lucy hanya terdiam di sana, memandangi plafon kamar berwarna putih dengan krom hitam di tiap sudut, mencoba mencerna perkataan Rino. Benar juga, mau sampai kapan ia akan menikmati perasaan ini? Ada yang harus dipecahkan dalam hidupnya.

Ini terasa sangat berat. Sehingga ia tak harus berbuat apa. Kesedihan ini terasa nyaman dan juga menyakitkan.

Mengapa harus Ibu? Mengapa bukan aku saja? Dan mengapa mereka menggangguku? Adakah jawabannya?

Lucy mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali semuanya terlihat berbeda, tidak nyaman lagi, dan gangguan itu. Semuanya aneh.

Siapa orang yang mengganggunya selama bertahun-tahun ini? Siapa dalangnya?

Mereka berdua terdiam. Cukup lama Lucy memandangi plafon itu tanpa berpaling, sedangkan Rino memandangi dirinya juga dengan penuh kekhawatiran. Lucy menarik napas panjang. Tiba-tiba langit-langit itu seolah menjadi layar memori.

Matanya terfokus, pada bayangan ibunya yang tiba-tiba nampak di sana. Senyumnya. Ia merindukan senyum ibunya. Senyuman paling bahagia dan paling tenang yang ia lihat pada saat berada di taman bersama Ayah, Ibu, Reika, dan juga dirinya. Saat di mana mereka bersenang-senang bersama, untuk terakhir kalinya.

Sekarang ia mengerti mengapa senyum itu tampak lebih bahagia, karena itu yang terakhir.a

Ayahnya dan Reika bermain gelembung sabun, berlari kesana-kemari. Ia duduk di bangku bersama ibunya, sibuk membaca buku novel Negeri Para Bedebah, karya Tere Liye.

“Leika, awas, sayang!” ujar wanita itu ketika melihat putri bungsunya hampir terselip. Mendengarnya, Lucy sontak ikut mengalihkan perhatiannya kepada adiknya.

“Lucy, kamu harus menjaga dirimu. Berhati-hati, ya.” Ia memalingkan pandanganya ke ibunya, dan tersenyum seraya mengangguk yakin. Lucy  pikir bahwa itu hanyalah kekhawatiran orang tua pada umumnya.

Ibunya tersenyum tersenyum lebar, bahagia, kepada Lucy. Senyumannya terasa berbeda dengan biasanya. Hatinya turut membentangkan perasaan bahagia melihat senyum ibunya.

Itu terasa baru kemarin.

“Lucy!” Rino memanggil gadis yang tengah hanyut itu. Lucy tak bergeming sedikit pun sejak terakhir mereka berbicara, ia mulai cemas jika Lucy kembali seperti tiga hari yang lalu. Perutnya akan terus kosong jika begitu. “Lucy!”

 Ia mendengarkan panggilan Rino, tetapi ia begitu malas untuk meresponnya. Mengingat sikap menyebalkan pria muda itu, ingin ia mendorongnya ke jurang yang amat gelap dan kedap suara.

Pikirannya masih terngiang oleh senyuman ibunya, Lucy ingin melihat itu sekali lagi dalam hidupnya. Ia akan bersemangat dan mengubah sikapnya jika itu terjadi.

Ia berkedip beberapa kali dengan cepat, mengangkat tangan kanannya yang tak terbebani ke langit-langit lagi. Lucy ingin menggapai senyuman ibunya yang tinggi di atas sana. Kembalilah, Ibu. Maafkan aku.

“Sekiranya, apa yang ia pikirkan?” ujar Rino, melihat gadis itu perlahan mengangkat tangannya. Sangat jelas bahwa gadis itu masih belum memiliki cukup tenaga. Ia menghela napas dan tersenyum pasrah. Rino tak ingin mengganggu Lucy saat ini, membiarkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan selama itu tidak membahayakannya.

“Ibu...,” lirihnya. Rino tak bisa berbuat apa-apa melihat Lucy terbaring di sana dengan cairan infus. Rambutnya terurai di bawah kepalanya, bibirnya masih sedikit pucat.

Nona Auri telah mengganti pakaian Lucy. Ah, tidak. Mengganti warna sweater-nya saja menjadi warna putih agar tidak menahan hawa panas. Lucy memiliki sweater dengan bermacam motif, warna, dan bahan.

“Lucy. Aku tak tahu harus bagaimana. Maafkan aku. Ini juga cukup sulit bagiku, begitu pula bagimu. Tetapi, inilah hidup, inilah takdir.” Rino tak yakin itu kata yang tepat untuk diucapkan, ia hanya memendamnya dalam hati.

Rino bangkit dari tempat di mana ia duduk, mendekat ke sisi Lucy. Gadis itu bahkan tak menatap balik mata Rino meskipun ia sudah berada di jangkauan pandangan Lucy. Ia terus menatap plafon itu.

Rino melihat bahwa ternyata mata Lucy berkaca-kaca, ia tersenyum pasrah. Lalu mengambil tisu di atas meja dengan tangan kirinya. Tangan kanannya meraih tangan kanan Lucy yang masih terangkat di sana, menggenggamnya seraya menurunkannya perlahan.

Ia juga perlahan duduk di tepi ranjang, mengambil beberapa helai tisu dan mengelap mata Lucy. Kali ini hatinya bisa ia kontrol, sehingga tidak berdegup terlalu kencang seperti saat itu.

Atau mungkin kekhawatirannya lebih besar dari pada degup jantungnya sehingga tak terasa?

Rino menukar tangan kirinya untuk terus menggenggam tangan kanan Lucy, dan menggunakan tangan kanannya untuk mengelap sedikit air mata Lucy. Gadis itu menutup matanya dan membiarkan Rino mengelap matanya dengan lembut.

“Bagaimana perasaanmu, Lucy?”

“Kau bisa melihatnya, bukan?” balas Lucy dengan datar dan terus menatap plafon di atas balas Lucy dengan datar dan terus menatap plafon di atas mereka.

“Terlihat menyedihkan kau tahu? Aku tak yakin, itulah mengapa aku bertanya. Aku ingin mendengar langsung darimu. Maafkan aku sudah mengganggumu.”

Gadis itu hanya terdiam. Air matanya perlahan mulai bisa terbendung. Rasanya aneh juga jika Rino yang terus melakukan hal ini.

Setelahnya Rino kembali duduk di kursi. Menatap Lucy yang terus mencoba menjelajahi seluruh ruangan ini. Tak ada yang berubah selain selang-selang ini.

Rino tidur di kamar tepat di depan pintu kamar Lucy. Ia selalu tidur larut malam untuk mengawasi Lucy selama ini yang juga tidur larut meski sudah diperingatkan. Gadis itu hanya terus diam dan mengabaikan himbauan Rino. Membuat Rino tidur lebih larut untuk mengawasi apakah Lucy benar-benar tidur.

“Kenapa.... Siapa yang memberiku ini?” ujar Lucy seraya mengangkat tangan kirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status