Share

Baik-baik saja

Suasana hening menyelimuti makan malam kali ini. Reina yang biasanya terus berceloteh mendadak jadi sangat diam. Mana mungkin ia bisa bercanda seperti biasa setelah meninggalkan kakaknya dalam keadaan sakit. Reina takut terjadi apa-apa.

"Reina," panggil Arlan, tetapi gadis itu tak menyahuti. "Reina, Sayang?"

"Eh, iya, A?"

Semua yang ada di sana serempak menoleh seraya menautkan alis.

"Aa?" tanya Elena.

Reina gelagapan. Kenapa ia bisa sampai keceplosan menyebut kakaknya. Erland sudah berpesan agar Reina tidak dulu memberitahukan keberadaannya pada ayah, bunda, apalagi Renata. Erland ingin menenangkan diri sekarang. "Ehm ... itu, Bunda, aku tuh lagi ingat-ingat pesan Aa. Kata Aa, mungkin Aa baru bisa pulang besok, soalnya sekarang Aa masih di Bogor. Ada pertemuan apa gitu aku gak ngerti."

Arlan dan Elena langsung percaya, tapi tidak dengan Renata. Perempuan itu ragu pada pernyataan Reina. Puluhan pesan yang dikirimnya sama sekali tidak mendapat balasan, sementara Reina bilang kalau Erland mengabarinya. Apakah pria itu sengaja mengabaikan pesannya? Ketika semua beranjak meninggalkan meja makan, Renata buru-buru menemui adik iparnya untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Rei, tunggu."

Reina menghentikan langkahnya. "Apa, Teh?" sahutnya dengan nada malas. Mendengar apa yang dikatakan sang kakak tadi membuat Reina enggan berhadapan dengan Renata. Bagaimanapun perempuan di hadapannya ini sudah membuat Erland sangat terluka.

"Sebenarnya Aa dimana?"

"Teteh dengar sendiri 'kan tadi aku bilang apa? Jadi, gak ada pengulangan."

Renata sedikit kaget dengan perubahan sikap Reina padanya. Seperti ada kemarahan dalam setiap kata yang dilontarkannya. "Kamu marah sama Teteh?"

"Nggak, biasa aja. Aku cuma mau bilang, jangan menyia-nyiakan orang yang sudah sangat tulus mencintai Teteh karena belum tentu Teteh bisa mendapat yang lebih tulus dari dia ketika nanti Teteh kehilangan dia," kata Reina sembari melangkah pergi meninggalkan Renata yang masih mematung ditempatnya.

Sekarang jelas sekali kalau Reina marah terhadapnya. Entah alasannya apa.

***

"Lama tidak bertemu, Erland. Udah gede aja."

Erland yang kini di pembaringan sembari meringis kesakitan memaksakan sebuah senyum. "Iya, Dok. Dokter juga makin tua aja."

Dokter Fabian terkekeh. "Tadinya saya berharap kalau kamu akan mengajak saya bertemu di sebuah kedai kopi. Kamu mentraktir saya, supaya saya bisa mencicipi kesuksesan kamu. Rupanya kita malah kembali dipertemukan di sini. Dasar anak nakal!" seru Dokter Fabian seraya menekan beberapa titik di perut Erland.

"Ah, itu ... itu sakit, Dok. Sshh .... " Erland menjerit tertahan ketika Dokter Fabian berhasil menemukan titik sakitnya. Tadi sepeninggal Reina, Erland benar-benar sudah tidak tahan dan akhirnya memutuskan menghubungi Dokter Fabian. Karena merasa kondisi Erland pun darurat, Dokter Fabian mengirim serta sebuah ambulans untuk membawa Erland ke rumah sakit.

"Kamu apakan lambungnya?"

"Dok, kasih obat buat sakitnya dulu kek, gak tahan sakit banget. Nanti ngobrol lagi kalau emang Dokter kangen sama saya," kata Erland lagi masih dengan ringisan kesakitan.

Dokter Fabian meminta salah satu perawat menyuntikan pereda nyeri melalui infus. Erland memang terlihat sangat kesakitan. Aneh sekali, jika hanya sakit lambung biasa seharusanya tidak separah itu gejala yang ditunjukkan. Erland yang biasanya sok kuat pun kini cenderung terus terang dengan apa yang dirasakannya. Nanti, setelah kondisinya sedikit lebih baik, Dokter Fabian akan membicarakan perihal pemeriksaan lanjutan.

***

Haikal menyusun beberapa lembar foto yang diambil orang suruhannya ke dalam sebuah amplop coklat. Ia sengaja mengabadikan kebersamaannya dengan Renata untuk dikirim pada lelaki cemburuan bernama Erland, yang tak lain adalah suami Renata.

Bukan jahat. Haikal hanya tengah berusaha memperjuangkan cintanya.

"Lapor, Bos, target saat ini ada di rumah sakit."

Haikal berbalik. "Di rumah sakit?"

"Iya, Bos. Target sekarang di rumah sakit. Jadi, apa tidak sebaiknya foto ini kita kirim ke rumah sakit saja?"

Lelaki itu mengangguk setuju. Sepertinya ada sensasi berbeda memberi kejutan ketika musuhnya tengah dalam keadaan sakit seperti itu. Haikal memang menyuruh sebagian anak buahnya untuk membuntuti Erland. Jadi, tak begitu sulit mengetahui apa daja yabg dilakukan laki-laki itu. "Semua baru saja dimulai, Arkana Erland."

***

Erland menggeser simbol gagang telepon berwarna hijau untuk mengangkat sambungan video call dari Reina. Ia tahu adiknya itu pasti sangat khawatir, jadi tidak heran kalau selarut ini Reina kembali menghubunginya. "Hallo, Rei, kok belum tidur?" Erland menyapa dengan suara khas orang bangun tidur.

"Loh? Kok backgroundnya beda? Kayak bukan di kamar Aa tadi. Aa di mana?"

Erland terkekeh kemudian mengangkat tangan kanannya, di mana tertancap infus di sana. "Rumah sakit. Jangan panik. Aa baik-baik aja kok."

"Sampai masuk rumah sakit, baik-baik aja sebelah mananya, A? Bandel banget sih. Bilang sama Bunda, ya, A?"

"Nggak usah. Besok Aa udah boleh pulang kok."

Reina misuh-misuh, kesal sendiri dengan kakaknya yang selalu bersikap sok kuat. "Terserah Aa. Tapi, Aa pulang ke rumah 'kan? Awas aja kalau sok kuat. Aku bakal ngadu pokoknya."

"Iya bawel. Tidur sana, Aa juga mau tidur."

Reina mengangguk. "Aa tidur yang nyenyak, ya. Cepet sembuh, A. Love you."

"Me too."

Sambungan terputus. Erland menghela napas panjang. Sudah sejak kemarin ia tidak membalas pesan Renata, dan ia pikir ini sudah sangat keterlaluan. Jika memikirkan kembali ucapan Dokter Fabian tadi, sepertinya mulai sekarang Erland harus bisa memanfaatkan sisa waktunya, tidak melulu sibuk dengan kemarahan dan rasa kecewanya saja, karena itu semua hanya akan membuatnya melewatkan tumbuh kembang Reka juga calon bayinya.

Erland : Ren, aku pulang besok. Maaf baru ngabarin. Sibuk banget.

Renata : Kamu jahat! Kenapa gak kabarin aku dari kemarin-kemarin? Aku khawatir 😢

Erland tersenyum getir. Di dalam foto yang beberapa jam lalu diterimanya tak tampak sama sekali gurat-gurat kekhawatiran. Renata justru tertawa lepas bersama Haikal juga Reka.

Erland : Maaf, Sayang. Janji gak diulang lagi.

Renata : Cepet pulang. Aku kangen.

Erland : Iya ❤

Erland menaruh kembali ponselnya. Yang perlu Erland lakukan sekarang hanyalah membuat semua terlihat baik-baik saja. Kondisi fisik berikut hatinya, harus ia sembunyikan rapat-rapat agar tak ada yang bisa menjamahnya. Sesakit apa pun dia, akan lebih sakit anak-anaknya nanti jika ia berniat meninggalkan Renata juga putranya.

***

"Kamu kenapa sih? Aku perhatiin semenjak pulang dari Bandung kayak agak aneh gitu."

Hana yang baru saja selesai menidurkan Alana tak langsung menjawab. Sebenarnya ia masih agak takut untuk bercerita pada Alvin perihal Renata dan Haikal karena selain bersahabat dengan Erland, Alvin juga berteman baik dengan Haikal.

"Han?"

"Ini tentang Rena sama Erland."

"Mereka kenapa?"

"Rena mulai ketemu lagi sama Haikal. Bahkan, dia bohongin Erland karena itu."

"Apa yang salah? Mereka cuma kakak adik 'kan?"

Hana menghela napas berat, sudah ia duga pasti akan seperti ini reaksi Alvin. "Dari dulu aku tahu kalau perasaan Haikal ke Rena itu beda, bukan sekadar perasaan sayang Kakak sama Adiknya."

"Berlebihan kamu."

"Aku cuma takut, Vin, kalau akhirnya Haikal bakal jadi ancaman buat rumah tangga Erland sama Rena. Kasihan Erland."

"Sekarang aku tanya, hubungan Haikal sama Rena dan hubungan kamu sama Erland apa bedanya? Nggak ada. Jadi, ya udah. Jangan terlalu diambil pusing."

"Kamu kok jadi terkesan gak peduli gitu sama Erland? Dia punya salah apa sama kamu sampai kamu kayak gini?"

"Aku bukan gak peduli sama dia. Aku juga gak bakal tinggal diam kalau ada yang nyakitin dia karena bagaimanapun Erland itu sahabat aku. Tapi, kita jangan sampai terjun terlalu jauh ke dalam hubungan mereka. Aku tahu sekarang Erland udah gak kayak dulu, dia lebih dewasa dan pasti bisa menyelesaikan masalahnya."

Hana membaringkan tubuhnya membelakangi Alvin. Malas berdebat lebih lanjut. Terserah. Yang penting ia sudah menjawab pertanyaan Alvin dan menjelaskan semuanya.

"Han, jangan gitu tidurnya."

"Bodo."

Alvin mengerucutkan bibirnya. Ini yang membuatnya malas berdebat dengan Hana. Ujung-ujungnya dia pasti dipunggungi karena Hana marah. Perempuan itu memabg satu tahun lebih tua darinya, tapi jangan lupa, Hana juga memiliki sisi kekanak-kanakan. "Nasib ... nasib."

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status