Share

Akumulasi Rasa Takut

Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?

Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya.

"Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya.

"Hallo."

Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?"

"Hm."

"Aa di mana sekarang?"

"Hotel."

"Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?"

"Aa langsung ke luar kota."

"Aa sebenarnya ke mana? Jawab jujur! Gue tahu Aa pasti gak baik-baik aja."

Reina menghela napas ketika sang kakak memilih diam tak bersuara. Jelas sudah sekarang kalau terjadi sesuatu pada kakak sulungnya. Reina tidak tahu apa, tapi sepertinya tidak begitu baik. "A, tunggu kita pulang. Jangan ngelakuin hal bego. Ingat, jarang ada orang yang lolos dua kali dari maut!"

***

Erland melempar ponselnya sembarang setelah komunikasi singkat dengan adiknya. Kepalanya sangat sakit karena terlalu banyak minum. Perutnya kini bahkan terasa seperti terpanggang dalam bara api. Panas, sakit, perih. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Ia tidak tahu siapa yang membawanya ke tempat ini—yang jelas-jelas bukan rumahnya. Semalam Erland pasti mabuk berat sampai-sampai tidak menyadari apa yang terjadi padanya.

"Sudah sadar, Mas?" Seseorang masuk, kemudian bertanya pada Erland.

"Saya di mana?"

"Saya bartender yang semalam ingat? Mas di rumah saya karena semalam Mas mabuk berat dan tidak ada yang tahu tempat tinggal Mas. Lancang kalau kami nekat membuka dompet Mas untuk mencari kartu identitas."

"Terima kasih. Saya akan memberi biaya tambahan atas tumpangannya."

Lelaki itu menggeleng. "Gak usah, Mas. Saya ikhlas. Saya cuma mau kasih tahu Mas, jangan pernah datang ke tempat itu lagi seberat apa pun masalah yang Mas hadapi, karena menurut saya itu bukan penyelesaian."

Erland menghela napas berat. Benar apa yang orang itu katakan, seharusnya Erland tidak pernah menginjak tempat laknat itu. Bertingkah buruk dan menyiksa diri sendiri. Tapi, hatinya begitu sakit. Erland tidak ingin membahas masalah ini dengan Renata karena takut kalau kemarahannya akan menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada Renata juga kandungannya dan konsekuensinya ia harus memendamnya seorang diri. Sebesar itu rasa sayangnya pada Renata. Sayang, sepertinya Renata tak sama.

"Apa semalam saya minum terlalu banyak?"

"Dengan Mas jatuh tak sadarkan diri sudah cukup menjelaskan betapa banyak jumlah minuman beralkohol yang Mas konsumsi."

Erland mendesah pasrah. Pantas saja perutnya seperti dipelintir dan kepalanya seakan habis dibenturkan ke tembok berkali-kali. Sakit. Semoga saja lambungnya tidak akan memprotes kelakuan buruknya semalam. Mudah-mudahan apa yang dirasakannya sekarang hanya efek mabuk semata. "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Saya permisi dulu," pamitnya sembari menyambar ponsel juga kunci mobilnya.

***

Sesampainya di Jakarta Reina langsung berpamitan pada kedua orang tua juga kakak iparnya untuk pergi ke rumah teman, dengan alasan hendak meminjam catatan agar tidak tertinggal pelajaran karena izin dua hari kemarin. Semua percaya, padahal itu hanya alibinya saja. Reina bermaksud menemui sang kakak. Tadi kakaknya itu sudah memberitahu alamatnya dengan syarat tak ada seorang pun boleh tahu perihal keberadaannya. Jadi, Reina terpaksa berbohong.

Reina memasuki sebuah rumah minimalis yang terlihat cukup luas. Entah rumah siapa ini, yang jelas kakaknya memberi alamat yang mengarahkannya ke sini. Gadis itu menekan bel beberapa kali hingga akhirnya seorang lelaki berwajah pucat muncul di ambang pintu.

"Yaallah Aa!" Reina memekik kaget melihat kondisi Erland sekarang. Rambut acak-acakan, muka pucat, dan sedikit berkeringat. Bisa dipastikan kalau kakaknya itu sedang sakit. "Aa sakit? Kenapa gak bilang?"

Erland menggeleng kemudian tersenyum. "Masuk, yuk."

Reina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Banyak foto-foto keluarganya di sana. "Aa ini rumah siapa sih? Kok ada foto Ayah, Bunda, aku, foto nikahan Aa sama Teteh terus foto Reka."

Erland tersenyum getir. "Rumah buat Aa sama Teteh. Jangan bilang-bilang, ya. Rencananya ini buat kado anniversary kita yang pertama nanti. Tinggal finishing aja sih."

Reina menatap lekat-lekat wajah Erland. "Terus kenapa Aa kabur-kaburan gini? Aa lagi ada masalah, ya, sama Teteh?"

Erland menggeleng. Belum saatnya Reina tahu. Dia masih terlalu muda untuk sanggup mencerna masalah-masalah rumah tangga.

"Aa gak usah bohong. Gue tahu kok lagi ada masalah! A, ingat kita dari kecil sama-sama, gue bisa ngerasain kalau Aa itu gak baik-baik aja."

"Salah gak sih, Rei, kalau Aa cemburu?"

"Maksudnya?"

"Ada orang yang bisa bikin Teteh nyaman selain Aa. Ada orang yang bisa bikin Teteh ketawa selain Aa. Ada orang yang jauh lebih berharga buat Teteh, dan itu bukan Aa."

"Teteh selingkuh?"

"Enggak. Bukan gitu. Ada seseorang yang dianggap kakak sama Teteh dan orang itu cowok."

"Cuma dianggap kan? Mereka gak ada ikatan darah? Manusiawi kalau Aa cemburu. Bagaimanapun sesuatu yang lebih dari itu mungkin aja terjadi karena mereka bukan saudara kandung."

Erland merebahkan tubuhnya di sofa lantas memejamkan mata. Itulah yang Erland takutkan. Erland takut kalau pada akhirnya mereka akan memiliki perasaan yang lebih dari adik kakak hingga berbuntut Erland ditinggalkan. "Aa harus gimana?"

"Bicarain sama Teteh, A. Jangan dipendam sendiri, apalagi sampai kabur-kaburan gini."

Sebenarnya tak hanya masalah Renata yang kini mengganggu pikiran Erland, tapi juga masalah kesehatannya. Bercak darah dalam muntahannya tadi menjadi momok menakutkan. Ia takut kalau itu pertanda sesuatu yang buruk. Erland pun mengakui dalam kurun waktu satu tahun ini, ia kembali merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuhnya. Ia sering merasa lelah padahal tak banyak melakuan kegiatan. Tumbang ketika terlalu keras bekerja atau stres. Berat badannya sudah turun beberapa kilogram dari beratnya semula. Untung keluarganya beranggapan kalau Erland terlalu banyak pikiran hingga berat badannya menyusut. Perutnya selalu terasa sangat sakit ketika ia salah makan atau telat makan. Apalagi selepas ia mengonsumsi alkohol semalam, seperti ada ribuan jarum yang tertanam di perutnya siap merobek-robek lambungnya. Ia jadi ragu kalau gejala-gejala yang dialaminya belakangan ini adalah morning sickness. Mungkun saja ....

"A, kok diam aja?"

"Bentar, Rei."

Reina iseng mendaratkan punggung tangannya di kening Erland. "Aa demam? Kita pindah ke kamar aja, yuk. Biar di kompres."

"Gak usah, nanti juga sembuh sendiri."

"GAK USAH SOK KUAT DEH. GUE UDAH TAU KEBIASAAN AA DARI KECIL!"

Lagi Erland tersenyum. Reina kecilnya dulu telah berubah menjadi monster galak yang manis. "Iya, Rei. Iya."

***

Renata mengulum senyum ketika Haikal memperlakukannya begitu manis. Renata ingin memakan mie ayam yang dulu sering ia datangi bersama Haikal. Mungkin ini yang disebut ngidam karena keinginan itu muncul begitu saja. Renata tadi berpamitan pada mertuanya untuk mengajak Reka main ke rumah sang mama. Arlan berniat mengantar, tetapi Renata menolak dengan halus.

"Mau nambah lagi gak?" tanya Haikal ketika mendapati Renata makan dengan lahap.

Perempuan itu menggeleng.

Sesekali Haikal mengajak Reka bermain agar Renata bisa makan dengan leluasa. "Reka mau mie ayam juga? Nanti, ya, kalau udah besar Oom beliin."

"Abang gak makan?"

"Lihatin si ayam tiren makan aja udah kenyang."

"Bebek!" sahut Renata disusul tawa lepas, melupakan sejenak rasa penatnya karena Erland. Banyak pesan yang dikirimkannya pada lelaki itu, tapi tak satu pun mendapat balasan.

"Masih inget aja panggilan itu."

Renata terkekeh. Tentu saja ia ingat. Renata tak pernah melupakan apa pun yang berkaitan dengan Haikal. Mereka tak punya hubungan apa-apa selain kakak-adik, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status