Share

Kalut

Di saat semua menyiapkan diri untuk berpetualang, keliling tempat wisata yang ada di daerah sana, Erland justru terlihat tengah mengemasi pakaiannya. Ia memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari ini juga.

Sebelumnya lelaki itu telah berusaha memaafkan istrinya, tapi tiba-tiba saja pagi buta ia mendengar Renata sedang berbicara via telepon dengan seseorang. Seseorang yang sangat Erland benci. Suasana hatinya hancur seketika.

"Lan, kamu kok malah berkemas? Bukannya kita mau pergi ke peternakan sapi perah itu?"

"Ada kerjaan mendesak. Gak bisa ditunda. Kalian lanjut aja liburannya," sahut Erland dengan nada dingin. Tentu saja Erland berbohong, tak ada pekerjaan mendesak seperti yang disebutkannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, jauh dari semuanya, termasuk istrinya.

"Bukan karena hal lain?"

"Hmm."

"Kalau gitu aku ikut kamu pulang ke Jakarta."

"Gak usah."

"Tapi, Lan ...."

"Aku bilang gak usah, ya, gak usah!" sentaknya.

Renata terhenyak. Setelah sekian lama, baru kali ini Erland membentaknya. Ia tidak mengerti apa yang salah hingga tiba-tiba Erland terlihat sedemikian marah.

"Sorry," sesal Erland masih dengan nada suara yang tak bisa dibilang ramah. "Aku pergi dulu," pamit lelaki itu seraya menyeret kopernya. Erland menemui keluarga juga sahabatnya untuk berpamitan.

"Loh Aa mau kemana?" tanya Reina bingung.

"Pulang ke Jakarta. Ada kerjaan penting."

"Gak bisa diwakilkan, A?" Arlan ikut bertanya.

"Gak bisa, Yah. Mereka minta aku langsung yang menanganinya."

"Ah, gak asik disusulin malah pergi!" Hana menimpali.

"Maaf banget, Kak. Asli ini penting."

"Susah deh kalau bos besar."

Erland hanya tersenyum kecil mendengar celetukkan Alvin. "Aku pamit, ya, semua. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Eh, A, ini kunci mobilnya." Reina berjalan cepat mengejar sang kakak, kemudian menyodorkan kunci mobil dalam genggamannya.

"Gak usah, Rei. Aa naik bus aja. Mobil biar nanti buat kalian pulang."

Elena menghampiri putranya. "Ya udah hati-hati di sana. Jangan lupa makan dan jangan makan yang aneh-aneh. Ingat lambung kamu loh, A."

"Iya, Bunda."

Erland pergi dengan rasa kecewa, padahal Erland berharap hari ia dan keluarga kecilnya akan bersenang-senang, tapi ternyata tidak. Dalam sekali pijak Renata berhasil mematahkan harapannya. Terkadang ada yang lebih mengerikan dari hal-hal yang mengerikan; marahnya orang pendiam dan kecewanya orang setia.

🎬🎬🎬

Haikal mempersiapkan banyak hal untuk pertemuannya dengan Renata, meskipun mereka baru akan bertemu lusa. Awalnya perasaan yang ia miliki memang hanya sebatas perasaan sayang kakak pada adiknya, tidak lebih. Namun seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah. Lalu apa yang salah? Satu-satunya yang salah di sini adalah ia mencintai istri orang. Haikal menyesal mengapa dirinya tidak buru-buru mempersunting Renata setelah perempuan itu ditinggalkan oleh suaminya. Dulu ia pergi ke luar negeri untuk menuntaskan pendidikannya, jadi terpaksa harus meninggalkan Renata.

Sekarang di saat ia kembali, Renata justru sudah menyandang status sebagai seorang istri. Haikal tidak akan menyerah. Ia akan membuat Renata jadi miliknya. Haikal bisa memanfaatkan sifat pemarah, egois, dan cemburuan Erland untuk bisa menghancurkan lelaki itu. Mengapa ia tahu banyak hal tentang lelaki itu? Karena dulu Renata begitu sering membahas tentang Erland.

Salah memang, tapi bukankah cinta harus diperjuangkan? Haikal hanya sedang berusaha melakukan itu. Ia mencintai Renata dan akan berusaha mendapatkannya.

🎬🎬🎬

Sudah tengah malam, tetapi Erland tak juga menghubunginya. Renata cemas bukan main, terlebih tadi Erland pulang ke Jakarta naik bus. Renata takut kalau terjadi sesuatu pada suaminya. Sedari tadi Reka pun terus menangis entah apa penyebabnya, padahal Renata sudah melalukan apa pun; menyusui, menggendong, bersenandung untuknya, tetapi Reka tetap menangis.

Suara ketukan pintu menyadarkan Renata dari lamunannya. "Sebentar," katanya sembari berjalan ke arah pintu lantas membuka pintu dengan segera.

"Reka kenapa?" tanya orang itu yang ternyata Hana.

"Gak tahu, dari tadi rewel terus."

Hana berjalan mendekati putra sahabatnya lalu menggendong bayi mungil itu. "Uh, Sayang, kenapa nangis terus, Nak?"

Reka terus menangis tak mengindahkan Hana yang kini berusaha membuatnya diam.

"Mungkin dia tahu kalau Papanya gak baik-baik aja," ujar Hana lagi.

Renata mengernyit. "Maksudnya?"

"Buka i*******m dan lihat apa yang diposting suami lo. Gue rasa dia tahu sesuatu yang bahkan gak kita kasih tahu."

Renata buru-buru mengambil ponselnya hendak mencari kebenaran dari ucapan Hana. Matanya membulat sempurna begitu melihat foto yang baru saja diposting suaminya. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya saat ini melainkan kata-katanya.

Benar kata Hana, Erland seolah mengetahui sesuatu. Sikap dingin Erland sejak semalam pun sedikit banyak menjelaskan bahwa Erland sedang marah. "Han, apa jangan-jangan Erland tahu kalau gue sama Bang Haikal mau ketemu?"

Hana menggedikan bahunya. Ingin mengiyakan, tapi ia pun tidak yakin karena dirinya tidak merasa memberitahu Erland dan Renata pun pasti memilih bungkam. "Lihat postingan selanjutnya. Dia minum minuman beralkohol. Lo ingat gimana menderitanya Erland dulu karena lambungnya? Lihat sekarang apa yang dia lakukan? Dia minum. Lo tahu, bahkan dengan kadar alkohol yang hanya sedikit pun bisa berbahaya buat mereka yang punya riwayat sakit lambung."

"Gue harus gimana, Han?"

"Gue gak tahu," jawab Hana sembari meletakan kembali Reka di tempat tidur setelah anak itu terlelap. "Lo belum memulai, tapi lo udah berhasil bikin dia menyiksa diri. Jangan lupa tipe orang seperti apa Erland."

Renata mengusap wajahnya dengan kasar. Bodoh. Mengapa ia baru sadar sekarang kalau Erland tengah benar-benar marah? Renata yakin kalau kepulangan Erland ke Jakarta yang sangat mendadak itu tidak semata-mata karena pekerjaan, kemungkinan besar justru karena dirinya. Tapi, apa? Apakah Erland sebenarnya sudah tahu kalau ia punya rencana bertemu dengan Haikal.

🎬🎬🎬

"Minum lagi, woy!" Erland berteriak pada seorang bartender yang kini melayaninya. Ia bahkan sudah sangat mabuk karena bergelas-gelas minuman beralkohol yang diminumnya. Tentang mengapa ia memutuskan untuk menyambangi tempat laknat ini, jelas karena pikirannya sedang benar-benar kalut, kacau, tidak tahu harus melakukan apa.

"Mas sudah sangat mabuk. Lebih baik berhenti minum."

"GUE MASIH PUNYA DUIT, BANGSAT! GUE BAHKAN BISA BELI SEMUA YANG ADA DI SINI. JADI, TURUTIN APA YANG GUE MINTA!"

Orang itu hanya geleng-geleng kemudian menyerahkan satu gelas kecil minuman lagi pada Erland.

Ponselnya yang sedari tadi terus berdering membuat Erland kesal. "Gue banting juga lo!" sentaknya.

Seorang perempuan berpakaian super mini menghampiri lelaki itu, memberikan sentuhan-sentuhan kecil dengan harapan laki-laki itu akan tergoda. "Hai, Mas. Main sama saya, yuk."

Erland melepaskan tatapan mengejek. "Najis. Lo bau!"

"Yakin Mas? Padahal beli satu gratis satu loh. Saya sepaket sama teman saya."

Erland mengambil dompetnya, kemudian melemparkan beberapa lembar uang berwarna merah. "AMBIL! DAN JANGAN GANGGU GUE CEWEK KOTOR!"

Walaupun mendapat hinaan, wanita itu tersenyum senang seraya memunguti uang yang Erland lemparkan. Memang tujuannya datang kemari untuk mencari uang, jadi tak masalah jika harus mendengar caci maki dari orang——toh itu hal biasa. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Erland lalu berbisik, "Saya kotor? Masnya juga kotor loh, kan datang ke tempat kotor."

Erland menggeram kesal, tetapi ia sudah tak bisa berdebat. Kepalanya pusing bukan main, hingga akhirnya ia menjatuhkan kepalanya ke meja bar. "Lo jahat, Ren ...," gumamnya begitu lirih sebelum benar-benar tak sadarkan diri.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status