Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.
Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya.
"Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?"
"Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.
Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.
Kotak kesehatan tersebut berbentuk persegi panjang yang begitu dibuka menampilkan banyak sekali alat kesehatan dari mulai kapas sampai minyak kayu putih. Dipilihnya beberapa alat yang dikira membantu proses penyembuhan.
Sampai suara perempuan berpakaian kaus santai dipadu bawahan rok lebar mengintupsi kegiatan Bella.
Ibu Ananta menoleh, terlihat sekali Bi Manda mendekat sembari memawa sebaskom air hangat dan handuk kecil dengan wajah masam. Perempuan berumur itu selalu memasang wajah riang setiap harinya. Jadi jika tidak suka akan suatu hal, maka sangat kontras kelihatannya. Hal itu membuat Bella merasa tidak enak sekaligus ganjil terhadap perempuan asing di hadapannya.
"Taruh di sini saja, Bi." Bella menggeser kursi belajar lebih dekat ke ujung ranjang. Mengabaikan kecanggungan pesuruhnya yang secara terang menyentak benteng pembatas.
Dengan segera Bi Manda meletakkan air hangat tersebut ke kursi.
"Bagaimana dengan Ananta, Bi?"
Bola mata Bi Manda menelisik ke arah perempuan asing tersebut. Begitu bersitatap dengan manik merah yang tak biasa itu segera dilepas kontak matanya. Beralih pada Bella kemudian berujar, "sudah aku besihkan lukanya. Tapi aneh, lukanya begitu dalam tiga goresan secara bersamaan. Jika diperhatiakan lebih teliti itu bukan karena benda tajam tetapi goresan duri atau ... cakaran?."
Sengaja Bi Manda mengantung ujarannya. Ia hanya ingin melihat reaksi perempuan aneh tersebut. Adakah keterangan yang bisa menyangkal kecurigaan Bi Manda? Nyatanya perempuan tersebut tidak mencoba menjelaskan itu membuat Bi Manda maki curiga bahwa perempuan itulah yang sengaja melukai Ananta. Atau secara sengaja Ananta membantu perempuan itu dari suatu kejadian naas.
"Ya, sudah. Kau tunggu Ananta. Aku akan ke sana setelah ini selesai." Bi Manda mengangguk, berbalik menuju pintu keluar kamar.
"Bertahanlah, mungkin ini akan sedikit sakit." Bella mengambil kapas dan betadine, meletakkannya di ujung pembaringan kemudian membasahi kain dengan air hangat untuk mebersihkan kaki dari darah dan debu.
"Kalau begitu tidak perlu." Perempuan tersebut memalingkan wajah ke arah lain. Seharusnya Ananta yang merawatnya bukan? Tetapi jika Alice cermati lebih dalam. Ia ingin melihat kesunguhan Bella.
Mengabaikan ucapan perempuan tersebut Bella mendekat, membersihkan luka-luka di kaki dengan teliti. Sesekali perempuan tersebut mendesis perih. Merasa dongkol karena tidak diindahkan.
Dalam hal perawatan sebenarnya Bella orang yang cekatan dan tau bagian mana saja dengan obat apa saja. Tetapi rupanya hal itu tidak menghalangi Alice, perempuan yang ditemukan Ananta tadi untuk terus mengumpat kesakitan ketika obat merah membalut luka-lukanya.
"Sabar, mamang ini agak perih. Tapi nanti lekas membaik, kok." ujar Bella menenangkan.
"Ahh! Seharusnya tidak perlu diobati. Aku tidak terbiasa." Alice menjawab dengan nada ketus. Obat ini berbeda jauh dari yang biasa ia pakai. Karena milik perempuan tersebut lebih tradisional dengan mengambil bahan alam.
"Nanti kakimu bisa infeksi. Sudahlah, biarkan aku yang bekerja dan kau diam."
Wajah Alice melotot tidak terima. Ia tidak pernah diperintah seperti itu. Lebih terbiasa memerintah sehingga hal itu membuat harga dirinya tergores.
Tetapi melihat ketulusan dan ketenangan Bella dalam mengobatinya. Sumpah serapah yang ia punya kembai tertelan. Hatinya berdesir pelan. Alice rindu ibu yang tewas setelah membiarkan dirinya lahir di dunia ini. Lebih tepatnya penasaran akan seperti apa sikap ibunya begitu menghadapi ia terluka. Akankah seperhatian ini atau sama saja dengan ayahnya. Alice tidak bisa menerka.
"Infeksi tidak akan terjadi. Daya tahan tubuhku lebih kuat dari manusia kebanyakan," desis Alice dengan nada lebih lunak dari sebelumnya.
Bella terkekeh pelan. Menatap manik merah milik Alice yang menyentakkan binar cerah. Begitu cantik nan manis sekaligus tegas secara bersamaan. Entah itu hanya kesan untuk menutupi kerapuhan atau tidak. Bella terus berempati dengannya. "Ya, baguslah kalau begitu. Itu akan lebih baik."
"Oh, ya. Sebentar kuambilkan minum hangat." lanjut Bella lagi.
Alice mengangguk samar kemudian menatap jendela dari kamar Ananta ketika Bella mulai beranjak pergi.
Kamar Ananta terlihat luas dalam ruang minimalis tersebut. Hanya berpenghuni ranjang minimalis dua orang, meja dan kursi rias berukiran bunga rambat serta almari dengan ukiran bunga sakura.
Dengan segera perempuan tersebut beranjak dari bibir pembaringan. Menghadap pantulan dirinya dengan intens. Kaca almari tersebut menampilakan sosok tegasnya. Luka gores bertebaran pada wajah, celana yang sobek dibagian betis menampilkan kakinya yang dibebat perban. Alice mendengkus kesal. Dari kaca tersebut raut wajahnya berubah cerah dan segar. Beberapa luka menutup secara perlahan dengan sempurna. Kejadian yang sering dianggap ajaib oleh orang-orang itu membuat Alice tersenyum sinis dengan bola merah pada matanya.
Bertepatan dengan suara pintu dibuka Alice berbalik. Di ujung menampakkan tubuh Bella yang memudarkan senyum kearah tatapan lawan.
Beberapa detik terpaku dengan keheningan, Bella berjalan mendekat dengan senyum yang mulai beranjak cabit. Agak ragu dengan tubuh kokoh Alice menopang sempurna pada kondisi kaki yang patah.
Menghalau segala pemikiran yang tidak-tidak Bella megintruksi Alice kembali duduk di pembaringan. "Duduklah! Akan kupriksa wajahmu dan minumlah air hangatnya. Supaya tubuhmu kembali segar."
Dengan langkah santai mengabaikan keruwetan yang melanda otak Bella Alice kembali duduk. Diterimanya secangkir besar dengan kepulan asap kecil darinya. Disesapnya pelan air hangat tersebut.
"Kau tidak akan bertanya? Kenapa lukaku begitu cepat pulih."
Fokus Bella beralih sempurna pada wajah Alice yang tampak bersih, banyak luka gores yang hilang jejaknya. Berbanding terbalik dengan keadaan yang dilihat beberapa saat lalu. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan saat ini tetapi dengan segera Bella urungkan.
"Jika aku bertanya pun, kamu tidak akan memberitahu 'kan? Kalau begitu biarlah itu menjadi rahasia. Setiap orang memiliki keistimewaan tersendiri di dalam tubuhnya."
Alice mulai tertegun. Tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ditatapnya lekat-lekat parit wajah Bella yang tampak sumringah. Membereskan segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mengobati dirinya tadi.
Tatapan tulusnya, Alice terbengong mendapati uluran kain dua lipat berwarna putih dan hitam. Yang dapat Alice duga itu merupakan baju putih berlengan biru dongker sesiku dan celana hitam tebal berkantung banyak. Aneh.
"Pakailah! Kukira kamu suka yang berbau meskulin. Jadi aku memilihkan baju Ananta yang baru. Terkesan santai kan?"
Dibentangkan kaus tersebut tepat di depan tubuh Alice, menyocokkannya. Tanpa tadang aling Bella terkikik geli. Tidak menyangka dengan apa yang ia lakukan.
"Aku selalu menginginkan anak perempuan. Kau cantik jadi pakaian apa saja pantas untukmu."
Begitu medapati Alice masih membisu Bella tersentak akan sesuatu. "Oh, ya ampun! Kita belum kenalan bukan? Siapa namamu?"
Dan untuk pertama kalinya senyum manis melebihi madu terbit ke peraduan. Kecanggungan senja memberikan kehangatan. "Alice. Alice Aghata ... Mercia?"
"Alice? Cantik sekali. Namamu klasik. Panggil aku Bella, saja. Emm, dan kamu tau pemuda tampan yang bersamamu tadi? Dia Ananta. Aksananta Louise. Dan perempuan tadi, Bi Manda."
"Louise?"
"Kenapa? Kamu mengenal nama itu?"
"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.Bella menyuruh Alice duduk pada kursi busa yang tampak lebar tersebut. Menuntun Ananta mendekat agar lebih mudah dalam merawat Alice. Sedangkan Bi Manda yang melihat itu hanya pasrah saja. Tampaknya ia terlalu protektif dan curigaan. Mencoba untuk memaklumi Alice ia berujar, "aku siapkan makan malamnya, Non." ditujukan pada Bella. Kemudian tubuhnya hilang dibalik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu."Mama batuin Bi Manda, ya?" Mendapat anggukan Ananta Bella beranjak dari posisinya. Meninggalkan Ananta yang mulai tampak bingung harus bagaimana.Sekilas senyum menampakkan cabit pada wajah Alice. Ia berdiri menuntun Ananta untuk duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan perban pada kedua tangan Ananta."Sekarang obatilah aku!""Katanya sudah sembuh."
Ananta tersedak. Dengan segera Bella yang duduk di sampingnya menyerahkan minum.Apa kata Alice tadi? Rumput? Pakan ternak? Jadi secara tidak langsung perempuan tersebut menghinanya sebagai hewan peliharaan berkaki empat?"Pelan-pelan, Anta!" Bella mengelus punggung Ananta pelan. Memberikan ketenangan pada putranya tersebut.Perlakuan Bella membuat Ananta yang hendak meledakkan amarah pada Alice sedikit meredam. Tidak ada gunanya juga ia marah. Tetap saja, dengan kondisinya yang seperti ini Ananta tidak akan bisa memenangkan perdebatan."Oh, iya. Katanya Alice ingin belajar bermain gitar denganmu, Anta."Binar cerah terbit pada manik merah milik Alice. Kemarin setelah mendengar dan melihat secara langsung Ananta yang memainkan gitar ia jadi ingin menguasainya. Pertunjukan musik seperti itu jika ditampilkan di festival pasar bakal menang. Secara tidak ada yang menyamainya.
Sedangkan diujung lain Bella tersenyum geli di sertai bi Manda yang berjalan mendekat membawa sekeranjang buah pisang dari kota. Pesuruh Bella tersebut menatap binggung Alice yang tampak aneh. Menarik pancing ke belakang, ke atas?Alice tidak menggulung benang pancingnya melainkan menariknya sampai ke ujung. Di sana terlihat ikan nila kecil menyatu dengan ujung pancing. Dengan segera Alice meraih ikan tersebut lalu tanpa basa-basi menarik benang pancing dari mulut ikan tanpa merasa iba. Sedangkan Bella yang juga melihatnya agak terkejut. Untuk ukuran manusia normal seharusnya Alice tidak akan setega itu merobek mulut hewan."Non Alice kejam sekali." lirih bi Manda. Alice yang memiliki pendengaran tajam langsung melirik tajam ke arah bi Manda."Apa maksudmu?" Manda hanya bisa terbengong mendengar pertanyaan Alice. Karena yang ia rasa hanya bergumam tadi."Aku tidak bilang apa-apa.""Jangan mengelak!""Iya, non. Aku hanya berasumsi saja. Tingk
Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak."Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda."Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya."Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?""Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
✒✒✒Kata Alice ada sekitar dua penjaga di gerbang pintu masuk. Tubuhnya kekar dengan badan yang tinggi tegap. Kedua pria penjaga itu memiliki wajah yang terkesan sangar. Dan Alice sama sekali tidak takut. Perempuan itu bisa melakukan apa saja yang ia mau. Bahkan membunuh kedua penjaga tersebut dan menggantinya yang baru.Yang Ananta pikir. Kenapa desa ini harus diberi penjaga. Bahkan seberapa kuat Alice untuk melakukan hal yang diucapkan secara lantang perempuan tersebut. Atau seberapa pengaruh posisi Alice sampai mampu menggerakkan semua isi kepalanya."Salah satu penjaga itu menghilang dua bulan lalu. Itu penjaga yang baru. Menurut dugaan mereka mengikuti cahaya biru laut."Ananta kira Alice tidak ingin membahas hal ini lagi.
Lengan baju Ananta diseret paksa Alice ke samping. Setelah berhenti Ananta mendengkus kesal sambil membenarkan kerah bajunya yang melorot akibat tarikan mendadak tersebut."Ada apa, sih?""Silahkan dipilih, non. Samurai atau pedangnya? Keduanya sama-sama dibuat oleh pengrajin dari balik bukit, desa Northumbria. Hanya tersisa dua senjata ini yang berasal dari kerajaan itu." Suara pria yang sepertinya penjual senjata tampak menerangkan dengan penuh keyakinan.Alice tersenyum lebar, mengangguk pasti dengan antusias. Dirinya sebagai pecinta senjata tentu tau benda tersebut berasal dari desa mana saja. Semua senjata yang diproduksi setiap pengrajin dari desa tertentu memilih ukiannya masing-masing. Seperti dari Mercia, desa serta kerajaan yang saat ini disinggahi memiliki lambang kerajaan mawar merah untuk setiap benda dan segala ha
"Berapa harganya?""Kamu membelinya?" tanya Ananta.Alice menggeleng pelan. "Tidak. Aku mengincarnya." Disertai senyum antusias yang ketika Ananta dapat melihatnya itu akan tampak mengerikkan. Alice mengulum sekilas jari telunjuknya kemudian ia tempelkan pada Tekko-kagi yang ia incar. Dengan ambisi ia akan mendapatkan yang dirinya mau."Kau tidak akan menyesal nona. Ini dilengkapi dengan Kakute." Penjual menunjukkan cicil yang ia ambil dari kain emas yang sama dengan Tekko-kagi tadi. Menyerahkan pada Alice.Alice menimang cincin tersebut. Benda itu merupakan senjata tersembunyi mirip cincin tetapi memiliki dua mata duri."Jika kau bertemu lawan dan mampu memegang leher atau pergelangan tangan. Kau dapat melukainya. Mungkin ini tidak membuatmu membunuhnya tapi bisa memberimu waktu untuk melarikan diri. Atau bisa dioles racun.""Kau dengar itu Ananta? Ini cocok untukmu." Ali