Share

4¡ Alice, siapa?

Mereka berbondong-bondong ke dalam rumah. Dengan segera Bella menyuruh Bi Manda menyiapkan seperangkat kesehatan untuk mengobati luka Ananta dan perempuan tersebut.

Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.

Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya.

"Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?"

"Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.

Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.

Kotak kesehatan tersebut berbentuk persegi panjang yang begitu dibuka menampilkan banyak sekali alat kesehatan dari mulai kapas sampai minyak kayu putih. Dipilihnya beberapa alat yang dikira membantu proses penyembuhan.

Sampai suara perempuan berpakaian kaus santai dipadu bawahan rok lebar mengintupsi kegiatan Bella.

Ibu Ananta menoleh, terlihat sekali Bi Manda mendekat sembari memawa sebaskom air hangat dan handuk kecil dengan wajah masam. Perempuan berumur itu selalu memasang wajah riang setiap harinya. Jadi jika tidak suka akan suatu hal, maka sangat kontras kelihatannya. Hal itu membuat Bella merasa tidak enak sekaligus ganjil terhadap perempuan asing di hadapannya.

"Taruh di sini saja, Bi." Bella menggeser kursi belajar lebih dekat ke ujung ranjang. Mengabaikan kecanggungan pesuruhnya yang secara terang menyentak benteng pembatas.

Dengan segera Bi Manda meletakkan air hangat tersebut ke kursi.

"Bagaimana dengan Ananta, Bi?"

Bola mata Bi Manda menelisik ke arah perempuan asing tersebut. Begitu bersitatap dengan manik merah yang tak biasa itu segera dilepas kontak matanya. Beralih pada Bella kemudian berujar, "sudah aku besihkan lukanya. Tapi aneh, lukanya begitu dalam tiga goresan secara bersamaan. Jika diperhatiakan lebih teliti itu bukan karena benda tajam tetapi goresan duri atau ... cakaran?."

Sengaja Bi Manda mengantung ujarannya. Ia hanya ingin melihat reaksi perempuan aneh tersebut. Adakah keterangan yang bisa menyangkal kecurigaan Bi Manda? Nyatanya perempuan tersebut tidak mencoba menjelaskan itu membuat Bi Manda maki curiga bahwa perempuan itulah yang sengaja melukai Ananta. Atau secara sengaja Ananta membantu perempuan itu dari suatu kejadian naas.

"Ya, sudah. Kau tunggu Ananta. Aku akan ke sana setelah ini selesai." Bi Manda mengangguk, berbalik menuju pintu keluar kamar.

"Bertahanlah, mungkin ini akan sedikit sakit." Bella mengambil kapas dan betadine, meletakkannya di ujung pembaringan kemudian membasahi kain dengan air hangat untuk mebersihkan kaki dari darah dan debu.

"Kalau begitu tidak perlu." Perempuan tersebut memalingkan wajah ke arah lain. Seharusnya Ananta yang merawatnya bukan? Tetapi jika Alice cermati lebih dalam. Ia ingin melihat kesunguhan Bella.

Mengabaikan ucapan perempuan tersebut Bella mendekat, membersihkan luka-luka di kaki dengan teliti. Sesekali perempuan tersebut mendesis perih. Merasa dongkol karena tidak diindahkan.

Dalam hal perawatan sebenarnya Bella orang yang cekatan dan tau bagian mana saja dengan obat apa saja. Tetapi rupanya hal itu tidak menghalangi Alice, perempuan yang ditemukan Ananta tadi untuk terus mengumpat kesakitan ketika obat merah membalut luka-lukanya.

"Sabar, mamang ini agak perih. Tapi nanti lekas membaik, kok." ujar Bella menenangkan.

"Ahh! Seharusnya tidak perlu diobati. Aku tidak terbiasa." Alice menjawab dengan nada ketus. Obat ini berbeda jauh dari yang biasa ia pakai. Karena milik perempuan tersebut lebih tradisional dengan mengambil bahan alam.

"Nanti kakimu bisa infeksi. Sudahlah, biarkan aku yang bekerja dan kau diam."

Wajah Alice melotot tidak terima. Ia tidak pernah diperintah seperti itu. Lebih terbiasa memerintah sehingga hal itu membuat harga dirinya tergores.

Tetapi melihat ketulusan dan ketenangan Bella dalam mengobatinya. Sumpah serapah yang ia punya kembai tertelan. Hatinya berdesir pelan. Alice rindu ibu yang tewas setelah membiarkan dirinya lahir di dunia ini. Lebih tepatnya penasaran akan seperti apa sikap ibunya begitu menghadapi ia terluka. Akankah seperhatian ini atau sama saja dengan ayahnya. Alice tidak bisa menerka.

"Infeksi tidak akan terjadi. Daya tahan tubuhku lebih kuat dari manusia kebanyakan," desis Alice dengan nada lebih lunak dari sebelumnya.

Bella terkekeh pelan. Menatap manik merah milik Alice yang menyentakkan binar cerah. Begitu cantik nan manis sekaligus tegas secara bersamaan. Entah itu hanya kesan untuk menutupi kerapuhan atau tidak. Bella terus berempati dengannya. "Ya, baguslah kalau begitu. Itu akan lebih baik."

"Oh, ya. Sebentar kuambilkan minum hangat." lanjut Bella lagi.

Alice mengangguk samar kemudian menatap jendela dari kamar Ananta ketika Bella mulai beranjak pergi.

Kamar Ananta terlihat luas dalam ruang minimalis tersebut. Hanya berpenghuni ranjang minimalis dua orang, meja dan kursi rias berukiran bunga rambat serta almari dengan ukiran bunga sakura.

Dengan segera perempuan tersebut beranjak dari bibir pembaringan. Menghadap pantulan dirinya dengan intens. Kaca almari tersebut menampilakan sosok tegasnya. Luka gores bertebaran pada wajah, celana yang sobek dibagian betis menampilkan kakinya yang dibebat perban. Alice mendengkus kesal. Dari kaca tersebut raut wajahnya berubah cerah dan segar. Beberapa luka menutup secara perlahan dengan sempurna. Kejadian yang sering dianggap ajaib oleh orang-orang itu membuat Alice tersenyum sinis dengan bola merah pada matanya.

Bertepatan dengan suara pintu dibuka Alice berbalik. Di ujung menampakkan tubuh Bella yang memudarkan senyum kearah tatapan lawan.

Beberapa detik terpaku dengan keheningan, Bella berjalan mendekat dengan senyum yang mulai beranjak cabit. Agak ragu dengan tubuh kokoh Alice menopang sempurna pada kondisi kaki yang patah.

Menghalau segala pemikiran yang tidak-tidak Bella megintruksi Alice kembali duduk di pembaringan. "Duduklah! Akan kupriksa wajahmu dan minumlah air hangatnya. Supaya tubuhmu kembali segar."

Dengan langkah santai mengabaikan keruwetan yang melanda otak Bella Alice kembali duduk. Diterimanya secangkir besar dengan kepulan asap kecil darinya. Disesapnya pelan air hangat tersebut.

"Kau tidak akan bertanya? Kenapa lukaku begitu cepat pulih."

Fokus Bella beralih sempurna pada wajah Alice yang tampak bersih, banyak luka gores yang hilang jejaknya. Berbanding terbalik dengan keadaan yang dilihat beberapa saat lalu. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan saat ini tetapi dengan segera Bella urungkan.

"Jika aku bertanya pun, kamu tidak akan memberitahu 'kan? Kalau begitu biarlah itu menjadi rahasia. Setiap orang memiliki keistimewaan tersendiri di dalam tubuhnya."

Alice mulai tertegun. Tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ditatapnya lekat-lekat parit wajah Bella yang tampak sumringah. Membereskan segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mengobati dirinya tadi.

Tatapan tulusnya, Alice terbengong mendapati uluran kain dua lipat berwarna putih dan hitam. Yang dapat Alice duga itu merupakan baju putih berlengan biru dongker sesiku dan celana hitam tebal berkantung banyak. Aneh.

"Pakailah! Kukira kamu suka yang berbau meskulin. Jadi aku memilihkan baju Ananta yang baru. Terkesan santai kan?"

Dibentangkan kaus tersebut tepat di depan tubuh Alice, menyocokkannya. Tanpa tadang aling Bella terkikik geli. Tidak menyangka dengan apa yang ia lakukan.

"Aku selalu menginginkan anak perempuan. Kau cantik jadi pakaian apa saja pantas untukmu."

Begitu medapati Alice masih membisu Bella tersentak akan sesuatu. "Oh, ya ampun! Kita belum kenalan bukan? Siapa namamu?"

Dan untuk pertama kalinya senyum manis melebihi madu terbit ke peraduan. Kecanggungan senja memberikan kehangatan. "Alice. Alice Aghata ... Mercia?"

"Alice? Cantik sekali. Namamu klasik. Panggil aku Bella, saja. Emm, dan kamu tau pemuda tampan yang bersamamu tadi? Dia Ananta. Aksananta Louise. Dan perempuan tadi, Bi Manda."

"Louise?"

"Kenapa? Kamu mengenal nama itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status