Share

3¡ Perempuan misterius

🐺🐺🐺

Semilir angin menerpa lebih kencang di area perbukitan. Melepaskan anak rambut sedikit demi sedikit dari ikatan kepang. Wajah datar nan tegas menatap jauh ke depan. Perempuan itu bukanlah cendikiawan puitis yang akan menikmati setiap hembusan nafas secara perlahan.

Perempuan itu berbalik membelakangi jurang. Sampai terkejut dengan sosok lain yang tengah menatap matanya.

"Wahh, tidak kusangka kita akan dipertemukan di sini." Seorang pemuda dengan pakaian lebih elit itu berujar.

Pemuda itu mendegkus sebal ketika tidak mendengar jawaban. "Apa begitu sikap sopan yang diajarkan tetuamu?"

"Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni." Perempuan berbusana mirip lelaki tersebut melenggang santai namun cekalan tejadi di tangan kanannya yang segera ia tepis kasar.

"Jangan pernah menyentuhku!" teriaknya ketus.

Perempuan itu mendelik tajam saat dua pengawal pemuda itu menutup jalan, mencegahnya pergi.

"Apa maumu?"

Senyum miring pemuda itu tercetak jelas di sana. Pemuda tersebut mendekat. "Hanya ingin berkenalan dengan calon permaisuri."

"Jangan membual!"

"Lihat! Ucapanmu terlalu besar untuk perempuan sepertimu. Bukankah itu mengelikan? Kehilangan kata-kata? Kita pernah bertemu di medan perang bukan?"

"Kau tidak akan pernah bisa mengintimidasiku." tegas perempuan itu lagi.

Kemudian pemuda tersebut berusaha memojokkannya, dengan langkah pelan menipiskan jarak. Membuat sang perempuan mundur perlahan.

"Benarkah? Kita liat apa yang terjadi."

Tanpa sadar tanah yang dipijak perempuan itu roboh seketika. Membawa tubuhnya jatuh ke jurang. Teriakan menggema karena terkejut. Disusul tawa remeh dari sang pemuda. Berbanding terbalik dengan lima pengikutnya yang berpakaian sama, mereka panik dengan apa yang dilakukan tuannya tersebut. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun salah satu darinya berusaha mencari secercah jawaban,"tapi tuan, bagaimana dengan perempuan itu?" dengan nada setengah takut melihat tuannya tak acuh melangkah menjauh.

Pemuda tersebut hanya mengibaskan lengan malas. "Lupakan! Dia tidak akan mati semudah itu."

Di sisi lain perepuan itu meringis dengan luka gores dibeberapa bagian. "Sial! Dasar licik," gumamnya kesal. Kepalanya yang linu mendongak ke atas. Mencari jawaban apakah di atas sana nyawa gila mereka tertawa.

Semakin dipikir-pikir semakin membuat perempuan itu naik darah. Pasalnya tidak ada sengketsa apapun yang membuat dirinya berurusan dengan pemuda itu. Siapa dia pun perempuan itu tidak mengenal.

Bertemu di medan parang apanya. Pembual yang menyedihkan. Tapi tunggu, pemuda itulah yang menghalangi penelitian bersama Dyn, pengawal pribadinya. Mengingat itu membuat darah mendidih seketika. Tanpa sadar lengannya memukul tanah sekuat tenaga.

Langkah tersoek-soek perempuan tersebut bergerak menuju ke bawah bohon pinggir sungai. Merebahkan tubuhnya sebentar. Mungkin beberapa jam nanti luka-luka itu akan segera pulih dengan sendirinya.

Sambil berjaga-jaga perempuan itu menajamkan indra pendengarnya. Sampai sayup-sayup dentingan musik aneh nan merdu menyelinap ke selah telinga menjadi pengantar tidur paling syahdu.

Alunan melodi itu berasal dari Vila yang terletak agak jauh dari tempat perempuan tersebut beristirahat.

Di sana jari-jari lihai Ananta bergerak beberapakali untuk memetik senar gitar. Pemuda jangkung berambut cokelat itu memang menyukai musik. Hal yang bisa ia gunakan sebagai pengisi kekosongan.

Tampak seorang perempuan dengan rambut yang di ikat asal keluar dari rumah. Melakukan perenggangan beberapa otot setelah semalam direbahkan. Rambut coklatnya sedikit berantakan. Serta mata lentik bermanik hitam legam itu masih tampak sayu. Kulit sawo matang yang terlipat-lipat dibeberapa tempat sisa tadi malampun masih setia mempermanisnya.

"Permainanmu masih bagus seperti biasa, sayang." Ungkapan Bella membuat Ananta menghentikan kegiatannya. Tersenyum tulus ke arah sang ibu.

"Terimakasih."

Ananta meletakkan gitar itu di samping tubuh. Tangannya beralih mencari tongkat, kemudian berdiri.

"Aku tidak membangunkan Mama karena permainanku, bukan?"

"Tentu saja tidak, Anta. Justru Mama akan sangat menyesal kalau tidak mendengarnya."

Ananta tersenyum menaggapi. Wajahnya menghadap hutan blantara mengikuti pergerakan angin lembut. "Ananta mau jalan-jalan."

Bella membelalakkan matanya, agak terkejut yang langsung berubah tenang. "Sebentar, Mama panggil Bi Manda untuk menemani."

Pemuda itu langsung mencegah pergerakan ibunya dengan menggeleng. "Ananta ingin sendiri."

"Anta," ujar Bella alun memohon. Raut gelisah mulai timbul di wajah dekiknya. Ia tau Ananta ingin belajar mandiri tanpa pengawasan orang lain. Terjebak dalam dunia gelap membuat putranya tidak sebebas dulu. Tetapi itu membahayakan keselamatan Ananta.

Tangan Ananta meraih kalung berbandul peluit di leher pemuda tersebut. Membunyikan sebentar lalu tersenyum kemudian. Menunjukkan pada Bella semua akan baik-baik saja dengan adanya peluit itu.

"Kalau ada bahaya, Ananta akan bunyikan ini terus menerus sampai Mama datang. Begitupun jika Ananta tersesat."

Hati Bella melunak dengan keyakinan Ananta bahwa ia akan selalu ada untuk pemuda tersebut. Peluit itu mengingatkan dirinya akan sosok pujaan hati. Ayah Ananta, Louise. Dimanakah dia sekarang? Apa jika peluit itu ditiup di hutan ini, Louise akan datang.

"Anta yakin bisa?" Terbesit keraguan dengan perasaan tidak rela. Takut jika Ananta akan menjadi Louise yang hilang.

"Iya, Mamaku sayang."

"Jangan jauh-jauh, Anta!" tegasnya sok garang.

Ananta mengangguk setuju. Kembali berujar, "Ananta akan menyusuri sungai jadi gampang."

Setelah berhasil membujuk Bella Ananta lekas bergerak hati-hati mengikuti arahan angin. Takut ibunya akan segera berubah pikiran.

Selama perjalanan santainya Ananta menajamkan indra penciuman dan pendengaran. Meghidupkan angan seperti apakah alam di seitarnya dalam benaknya sendiri. Digabung dengan kilasan masa lalu ketika sang ayah pernah mengajak Ananta berburu. Mungkin pepohonan tinggi yang dulu telah mati, berganti dengan pohon baru. Rumput liarnya juga sama.

Dulu hutan ini tampak lebih bersahabat. Tidak ada cahaya biru yang menyesatkan. Lebih asik ditinggali sampai suatu ketika hilangnya Louise membuat pemikiran semua orang bahwa hutan ini terlarang. Apalagi ditambah dengan berbagi peristiwa hilangnya orang-orang yang sama penasarannya dengan cahaya biru.

Gemercik air menyadarkan pikiran liar Ananta. Sudah sampai manakah ia berjalan, pemuda itu tidak tau. Tetapi dari rasa kakinya yang mulai pegal Ananta yakin dirinya telah berjalan jauh.

Angin terasa lebih lembut dan segar. Hebusannya berlikuk-likuk terpantul pepohonan yang menjulang tinggi. Menyesatkan pikiran Ananta sesaat. Ketika tongkat Ananta mulai lengah pemuda itu jatuh tersungkur.

Jantung Ananta berdetak lebih kencang setelah mendengar suara pekikan yang bukan berasal dari pita suaranya. Ini terdengar lebih mirip geraman binatang buas.

Otak Ananta bertebaran tidak karuan. Hawa semakin mencengkam ketika dirinya tidak menemukan tongkat yang ia raba. Malah tangan tegas pemuda itu merasakan kelembutan kain, sampai geraman kembali menyentak jantungnya. Apakah ia akan mati mengenaskan dimakan serigala.

"Apa yang kau lakukan!" teriakan menggema gendang telinga.

Jantung Ananta berhenti berdetak untuk sesaat.

Suara tegas itu membuat Ananta menajamkan telinga. Meyakinkan kembali bahwa indra pendengarnya tidak pernah salah.

"Kubilang apa yang kau lakukan, hah?" Ananta terkejut bukan main. Itu suara perempuan yang begitu tegas.

"Enyahkan lenganmu dari kakiku, bodoh!"

Buru-buru Ananta mengangkat tangan yang sepertinya telah menindih perut orang itu.

"Kau membuat kakiku patah." Suara yang semula berupa teriakan berubah menjadi gerutuan marah. Tekanan intonasinya terlihat geram sekali.

Ananta terkejut denan itu. "Maafkan aku, sungguh. Aku minta maaf."

"Kalau begitu kau lekas berdiri! Tubuhmu berat di kakiku!"

Ananta berusaha berdiri tegap meski agak tertatih. Terdengar suara rintihan pelan perempuan itu. Ananta jadi merasa bersalah. Jadi tadi Ananta jatuh di atas kaki perempuan tersebut.

"Kau mengganggu tidur siangku dan sekarang membuat kakiku yang patah semakin parah!"

"Maaf, aku tidak tau." Suara menyesal terdengar di mulut Ananta. Jari- jari pemuda itu saling bergesekan. Merasakan sesuatu yang basah dan lengket. Dia menciumnya, mengira-ira seperti besi darah. Tentu bukan miliknya. Tangan Ananta baru saja menyentuh perempuan itu tadi.

Jadi perempuan itu benar kalau ia sedang terluka dan itu karena Ananta.

Telinga Ananta mendengar suara pergerakan. Sepertinya perempuan itu lekas berdiri di depannya. Kibasan terasa di wajah Ananta. "Buta, heh?"

Ananta menangguk tanpa perasaan malu. Toh memang itulah keadaannya. Kembali ia ucapkan kata maaf.

Tengkuk Ananta terasa merinding dengan angin hangat yang menerpa. Perempuan aneh tersebut mengendus tubuh Ananta. Membuat si pemilih risih.

"Apa yang akan kau lakukan dengan kakiku?"

Agak bingung Ananta menjawab, "aku akan bertanggungjawab. Merawatmu di Vila." dengan penuh keyakinan.

"Pondok?"

Ananta menagngguk.

"Dengan mata tidak bisa melihat?" lanjut perempuan itu lagi.

"Ada Mama dan Bibi di sana. Lagipula aku tidak akan sampai di sini kalau tidak cukup pintar."

"Baiklah. Aku terima tawaranmu. Tetapi harus kau yang mengobatiku." Kembali Ananta dibuat terkejut dengan tangan melingkar di pundak dan hebusan nafas hangat terasa dekat di wajahnya. Bersamaan dengan syarat yang dikibarkan perempuan tersebut. Agaknya Ananta merasa keberatan walaupun ini tanggungjawabnya.

"Aku tidak bisa melihat."

"Tetapi kau tidak bodoh kan untuk mengira-ngira?" Hati Ananta mulai bersungut.

Setelah hening beberapa saat karena Ananta memilih diam. Perempuan tersebut kembali melanjutkan. "Tunjukkan jalannya!"

Jantung Ananta berdetak hebat. Dia tidak pernah sedekat ini dengan perempuan selain ibunnya apalagi setahun semenjak ia tidak bisa melihat. "Haruskah tanganmu seperti ini?" ujar Ananta. Pemuda itu segera melepas lengan yang melingkar di pundaknya dengan erat. Takut perempuan itu akan mendengar detak jantungnya yang menggila.

"Kakiku patah kau tau. Dan kau! Harus bertanggungjawab."

"Aku tidak bisa melihat. Tentu saja jalannya akan kaku jika kamu merangkul pundakku."

"Benar. Sekarang siapa yang akan menuntun siapa?" Perempuan itu menyilangkan lengan dengan wajah kesal.

"Tolong ambilkan tongkatku dan kemarikan lenganmu."

Mata perempuan tersebut berhenti pada tongkat aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, tergeletak tak berdaya di bawah pohon yang sebelumnya menjadi sandaran tidur. Ia benci diperinta namun tidak elak ia ambil, kemudian diserahkan pada tangan Ananta. "Seperti apa pondokmu? Biarkan aku menjadi matamu dan kau menjadi kakiku sekarang."

Tangan perempuan tersebut kembali melingkar di bahu Ananta. Membuat dempuran jantungnya kembali tidak bekerja normal. Sebisa mungkin Ananta tata dengan tenang.

"Bercat putih dua lantai. Tinggal mengikuti sungai maka kamu akan tau." Perempuan itu mengangguk mengerti meski Ananta tidak bisa melihat pergerakannya.

Keduanya bergerak dalam diam. Terhanyut dengan pemikirannya masing-masing.

Kadangkala Ananta meringis pelan setiap mendengar rintihan perempuan di bahunya tersebut yang lebih mirim seperti geraman binatang buas. Merasakan langkahnya yang agak kaku membuat Ananta yakin jika perempuan itu terluka parah.

"Maaf, aku membuatmu terluka."

"Baru sadar? Padahal aku telah menahan sakitnya sedari tadi."

"Maaf," Ananta berhenti melangkah begitu merasakan tidak ada pergerakan lagi dari makhluk di sampingnya. Suara mendengkus kesal terdengar.

"Kau ucapkan kata itu lagi. Bisa aku pastikan bahwa kakimu akan hilang sebelah."

Bulu kudu Ananta meremang seketika. Sebenarnya ia tidak yakin jika perempuan tersebut akan tega melakukan itu. Tetapi entah mengapa mendengar nada yang tersemat akan sebuah janji membuat Ananta semakin takut. Ananta tidak tau seperti apa rupa perempuan ini. Terlebih lagi ia baru mengenalnya. Siapa tau jika memang perempuan itu adalah psikopat yang mengincar buronannya di hutan.

"Kamu tidak akan melakukannya." ujar Ananta begitu yakin. Dia akan mencoba menghalau berbagai pikiran negatif. Meyakini bahwa seseorang ini merupakan perempuan yang manis terlepas dari sikap garangnya.

"Kau begitu yakin sekali."

"Akhh." Ananta tersentak pelan. Terkejut dengan apa yang ia rasakan. Perih menjalar di lengan kirinya. Mau tidak mau Ananta memusatkan wajahnya ke arah perempuan tersebut mencari kepastian. Melepaskan rangkulan perempuan itu. Ananta yakin saat ini perempuan yang tidak ia ketahui namanya itu sedang menyeringai licik, kemudian disusul suara tawa yang mengerikan.

"Dengan begitu kita impas bukan?"

"Kamu gila? Aku tidak sengaja melukaimu dan kamu mengores lenganku dengan sadis? Kamu sebut itu impas?" Pemuda berambut cokelat itu meninggikan suaranya. Kedua alis tebalnya hampir menyatu karena amarah menguasai pikiran. Tersulut rasa sakit di lengan yang terluka ia balut dengan tangan sebelah. Mencegah darah keluar lebih banyak.

Gila, perempuan itu terkekeh geli. "Hentikan wajah konyolmu itu. Kau terlihat lucu. Bukankah begitu hukum alam? Nyawa dengan nyawa. Luka dibayar dengan luka. Nanti ... jika kamu mengobatiku. Aku juga akan mengobatimu."

Hentikan. Ananta ingin tertawa begitu mendengar kekehan yang timbul dari pita suara merdu nan tegas itu. Sejak kapan pikiran kuno itu masih tersemat dibenak manusia? Nyawa dibayar nyawa?

"Aku terkesan dengan pikiran kunomu itu. Karena sedari tadi aku minta maaf berulang kali. Kamu harusnya minta maaf sekarang?"

Geraman mengelitik telinga Ananta. Perempuan itu tersulut karena Ananta mengatainya kuno. Karena tentu saja perempuan tersebut terlalu berwibawa untuk mengucapkan 'maaf'.

"Kau akan berubah pikiran begitu tau kehidupan yang sesungguhnya."

Kata-kata merdu tersebut terngiang-ngiang mengitar otak Ananta. Masih belum mengerti dengan maksut dari ucapan itu.

Menyadari kecanggungan Ananta merubah topik. Dengan keadaannya yang seperti ini Ananta harus menjaga sikap. Sebenarnya Ananta bukanlah orang yang mudah tersulut emosi. Tapi entah mengapa, dengannya Ananta ingin selalu berteriak. Lebih tepatnya ingin selalu berbicara menyambung kedekatan.

"Kenapa kakimu bisa patah?" Keduanya masih berjalan satai berdampingan. Agak lama keheningan menyapa.

"Jatuh dari bukit tadi." Ananta mengangguk. Tidak ingin terlibat lebih banyak. Walaupun seluruh otaknya tertupuk segala pertanyaan. Mengapa ada seseorang di hutan terlarang ini? Terlebih dia perempuan.

"Apakah kita sudah sampai? Rumahmu memiliki gerbang hitam yang jelek?"

Ananta menjawab dengan anggukan kepala. "Dulu aku pernah ke sini sebelumnya. Yang aku tahu tidak ada kehidupan sama sekali."

"Aku baru pindah lima hari yang lalu."

Perempuan itu mengangguk. Menuntun Ananta sampai gerbang rumah yang terlihat rapi dengan bunga-bunga yang berjejeran di teras. Hasil karya Bella dan Manda. Bunga itu tampak manis karena beberapa vasnya retak dan berlubang.

Seseorang keluar dari rumah dengan tergesa. Sebelumnya perempuan berrambut hitam legam itu mengintip dari jendela rumah. Mungkin takut orang jahat yang datang. Tapi setelah tau bahwa ini Ananta maka Manda baru keluar.

"Ya, amsyong. Den Anta, kenapa?" suara cempreng mengglegar. Bi Manda menghampiri keduanya dengan tergesa. Raut kawatir terlihat jelas begitu melihat Ananta ditatih seseorang. Lebih tepatnya menatih seseorang sebenarnya. Tapi karena panik Bi Manda tidak tau mana yang meski ia tolong.

"Tidak apa-apa, Bi. Tolong perempuan ini sepertinya terluka parah." Manik cokelat Manda beralih pada perempuan asing yang merangkul Ananta. Was-was dengan kesan pertama yang diberikan.

Perempuan aneh itu tampak mencurigakan dengan baju khas pria berwarna hitam. Terdapat pemanis di bagian dadanya yang ditumbuhi semacam bulu ayam berwarna hitam, tetapi lebih besar. Dan ternyata bulu-bulu itu terus berlanjut semakin kecil ke bawah sampai pinggang dan punggung. Seperti baju bulu unggas. Celana panjang yang tidak ketat juga berwarna hitam. Rambut hitam pekat yang dikepang. Terdapat anak rambut bertebaran, mempercantik wajah putihnya yang tampak kontras. Matanya lentik. Yang tampak mencolok adalah bola mata itu berwarna merah_sangat merah seberti bata.

"Siapa ini, Den?" nadanya menyiratkan ketakutan. Jangan lupa bahwa Bi Manda penakut dan parno dibalik sikapnya yang riang.

"Bisakah kau tidak perlu banyak tanya? Aku lelah berjalan sedari tadi."

Bi Manda tersentak dengan nada ketus yang terlontar. Hal itu semakin menambah rasa tidak sukanya terhadap perempuan aneh itu.

Ananta ingin berucap tetapi suara merdu menimbun. "Anta? Kamu sudah pulang? Kenapa berhenti di sini?"

Terdengar suara dedaunan kering yang terinjak. Bella semakin mendekat padanya. "Ah, ada tamu rupanya. Oh, ada apa dengan wajahmu, cantik? Kenapa penuh memar dan luka gores seperti itu?"

Bella langsung menghampiri Ananta. Mengambil alih perempuan yang bertumpu di pundak putranya tersebut. Sadar jika kondisi perempuan tersebut tampak mengenaskan. Lebih mengenaskan dari Ananta.

Sedangkan Ananta sendiri terbisu karena ucapan Bella. Jadi perempuan tadi separah itu. Kenapa?

"Bibi tuntun, Anta masuk dan segera siapkan air hangat." ujar Bella sambil menuntun perempuan asing yang memasang wajah datar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status