(Fantasi-Ramatis) Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang hanya bisa kamu bayangkan seperti apa rupanya dalam otak? Mencintai seseorang yang menyimpan sejuta misteri dan keanehan yang ditunjukkan. Bahkan mencintai seseorang yang juga memiliki rasa yang sama, tetapi takdir menentang. Ananta, seorang lelaki tuna netra merasakan semua itu. Sebuah ketulusan sesaat yang hanya mampu ia dengar. Seseorang yang rela menggaruk mata untuk dirinya adalah sosok yang tidak pernah terbayang oleh nalar manusia. Serasa mustahil jika rasa suci akan menjadi boomerang paling rumit dalam hidupnya. Sekalipun begitu, ia tidak akan bisa menyalahkan semesta beserta rencananya.
Lihat lebih banyak🐺🐺🐺
Semilir angin membelai bunga setaman dengan lembut. Serbuk harum menari diantara selah-selah udara, menuntunnya masuk melewati jendela rumah yang terbuka.
Perpaduan aroma wangi melintasi rongga hidung dengan alun. Membelai serta memanjakan pemuda yang saat ini tengah termenung menatap ke luar jendela. Jari telunjuk mengetuk meja berulang kali seirama dengan tetesan air keran taman. Menghalau rasa bosan yang timbul sejak satu jam yang lalu.
"Teh tawarnya."
Seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh meletakkan secangkir besar teh tubruk di antara celah ke dua tangan pemuda tersebut. Kemudian berangsur duduk tepat di depan pemuda itu, menghalangi pemandangan ratusan bunga setaman.
"Mama sudah mengurus semua hal untuk keberangkatan kita besok. Termasuk barang-barangmu." Perempuan bernama Bella memulai pembicaraan dengan senyum manis, menatap pemuda yang menghela nafas ringan sambil menyesap teh dengan tubuh tegaknya yang menjulang.
"Ananta kan sudah bilang. Kita seharusnya tidak ke sana."
Perempuan yang tengah memakai apron serta melipat lengan baju sampai ke siku itu memanyunkan bibir malas. Tampak tidak sesuai dengan kesan dewasa yang menggulung rambut dengan penjepit berwarna merah. "Mama ingin Ananta. Sudah lama sekali semenjak Ayahmu tiada, Vila itu tidak ada yang mengurus sama sekali. Rasanya Mama ingin melihat satu-satunya kenangan Ayahmu yang paling berharga."
"Mama pasti tau rumor itu. Tidak ada yang boleh melewati desa Hitam apalagi sampai masuk ke hutan LeNight," ujar Ananta dengan sabar. Rupanya sejak tiga hari yang lalu ibunya terus bersikeras ingin mengunjungi tempat terlarang tersebut.
"Itu hanya rumor, sayang. Mitos yang tidak pernah terjadi. Lagi pula Vila itu terletak di pinggir hutan. Tidak sampai masuk terlalu dalam."
"Kalau Mama lupa, Ayah menghilang di hutan hanya karena penasaran dengan cahaya terbang di antara pohon LeNight. Dan tidak pernah kembali. Bahkan tidak ada yang berani memasuki hutan itu karena sulitnya mencari jalan keluar."
Memang benar Vila yang terletak di pinggir hutan LeNight merupakan Vila yang dibagun mendiang ayahnya delapan tahun silam. Tetapi di tempat itu juga ayahnya menghilang, setahun setelah menempati Vila itu bersama Ananta dan ibunya.
Ananta tidak akan pernah lupa kejadian di mana ayahnya menghilang tanpa jejak dan tidak ada warga yang mau membantu dirinya dan Bella mencari sang ayah. Bahkan beberapa warga dengan keji mengatakan jika kemungkinan ayahnya telah menjadi santapan binatang buas.
"Peristiwa itu sudah terjadi tujuh tahun yang lalu. Mama yakin mitos itu sudah hilang dimakan zaman. Mama sama bi Manda sudah capek-capek loh making semua barangnya. Apa kamu tidak rindu dengan Ayah?"
Ananta mengeluarkan nafasnya perlahan. Hal yang paling sulit baginya adalah mendengar orang lain selalu memohon padanya. Apalagi kali ini merupakan ibunya sendiri dan sudah tiga hari perempuan itu bersekongkol dengan bi Manda untuk membujuknya.
Kali ini pemuda itu mengangguk setuju walaupun samar. Antara ikhlas dan tidak, semoga saja tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Karena Ananta juga rindu dengan tempat paling romantis yang memiliki sejuta kenangan indah diantara keluarga kecilnya dulu.
Mata Bella bersinar cerah bersamaan dengan senyum hiperbolis yang menghiasi pipi dekiknya. Segera berdiri memeluk bahu Ananta dengan sayang. "Makasih Aksananta Louise. Mama yakin kamu pasti akan senang merasakan sejuknya udara di sana."
Ananta mengangguk pasti dengan senyum tipisnya sembari mengelus lengan sang ibu yang melingkar di bahu.
"Sukurlah Den Anta setuju. Padahal Bibi sudah putus asa, loh Den. Penasaran tidak ketulungan sama hutan yang katanya indah itu. Tidak tau bagaimana jadinya kalau Den Anta tidak setuju." Suara melengking alun memecah padatnya oksigen.
Seorang perempuan berkepala lima puluh tahunnan berjalan mendekat. Meletakkan semangkuk capcay kuah ke meja. Bella tertawa geli setelah mendengar ujaran Bi Manda.
"Nah, Anta. Mama sudah masak capcay kuah kesukaan kamu. Sudah seminggu tidak makan itu kan?" Ananta mengangguk. Membiarkan dentingan kerampik yang bertubrukan.
Bau gurihnya merebak ke penjuru ruang tamu. Belum mencicipipun Ananta tau kombinasi capcay yang dibuat Bella. Lebih didominasi bunga kol dan brokolinya ketimbang kobis ataupun sawi hijau.
Bella meletakkan beberapa sendok ke piring Ananta sambil menyuruh Bi Manda mengeluarkan semua makanannya. Mereka akan makan siang bersama di meja itu tidak terkecuali Bi Manda.
"Mama tidak makan?"
"Ini sekalian kita makan sama-sama."
"Jangan lupa banyakin istirahat, Mama pasti lelah udah nyiapin semua kebutuhan Ananta."
Bella terenyum tulus, "iya, sayang. Dimakan, gih," tangan jahilnya mencubit pipi anak tunggal itu dengan gemas. Membuat pemilik kesal setengah mati karena tidak pernah bisa menghindari tindak asusila tersebut.
🌻👯🌻👯🌻👯🌻
Fajar baru saja menampakkan sinarnya malu-malu, tetapi keluarga Louise sudah disibukkan dengan pengangkutan beberapa koper dan barang penting lain ke dalam mobil pribadi sedari tadi.
Tergesa sembari mengaitkan kancing baju teratasnya dengan tangan yang membawa kunci mobil, Bella berjalan keluar.
"Semuanya sudah beres, bi?" Perempuan dengan setelan baju casual itu kemudian mengangguk menyahuti.
Tangan sigap Bella melingkar pada lengan kokoh milik Ananta yang duduk di kursi teras rumah. Menuntun pemuda itu masuk ke kursi depan penumpang. Setelah bi Manda ikut serta ke dalam mobil tersebut melaju dengan kecepatan sedang.
"Kenapa pagi-pagi sekali harus berangkat?"
"Perjalanan ini memakan waktu lima jam, Ananta. Mama pengen cepat-cepat samapi ke sana sebelum malam tiba."
"Kalau begitu mama akan capek mengemudi."
Bella mengusap rambut cokelat Ananta dengan lengannya yang bebas dari kemudi. Tersenyum tulus kemudian berujar, "tidak masalah, sayang."
Lagu Petra simhombing menemani kesunyian yang menari di ruang mobil tersebut. Ananta termenung menyenderkan kepalanya pada kursi menghadap ke luar, menikmati perpaduan antara udara yang berhembus masuk lewat jendela mobil dengan musik yang menggema berjudul mine tersebut.
Sejak dua tahun silam angin menjadi hal yang paling Ananta suka. Kelembutanya yang membelai tubuh melambai dirinya untuk menunjukkan jalan yang gelap tanpa keyakinan. Angin akan selalu menyelipkan keberanian bagi Ananta. Keberanian untuk melangkah dan keberanian untuk tersenyum.
Enam jam lebih mobil itu bergerak. Mulai berpisah dengan aspal yang kemudian disambut kerikil terjal. Suasana terdengar sunyi dan ramai secara bersamaan.
Perjalanan ini menghabiskan waktu lebih banyak dari perkiraan Bella. Jalanan kota macet, belum lagi drama lupa jalan. Melelahkan. Jika bisa memilih Bella akan langsung merebahkan diri ke ranjang begitu tiba nanti. Tapi itu hanya angan, karena rumah yang lama tidak terawat akan sulit untuk ditinggali dalam waktu dekat.
"Jalanan sudah memasuki perdesaan, Den."
Ananta mengangguk dengan senyum tipis yang selalu menjadi pemanis bibir. Kepalanya masih setia bersandar pada sandaran kursi. Terlihat tidak bersemangat karena tidak menginginkan ini sedari awal. Masih belum siap membangkitkan kembali kenangan bersama Louise, sang ayah terhebat.
"Persawahan membantang luas, kuning padi dan daunnya bergoyang mengikuti irama angin," imbuh Bella antusias. Berusaha untuk memecah belah pemikiran Ananta yang terlihat lesu sedari tadi. Bella kembali menambahkan, "Penduduknya tampak ramah Ananta. Banyak yang menggarap sawah untuk dipanen."
Ananta mengarahkan wajahnya ke jendela. Tersenyum penuh arti dengan pemikiran yang tidak bisa orang lain tebak. Kesunyiannya menjadi alasan untuk mengirit pembicaraan.
Bi Manda mengedarakan pandangan ke sepanjang jalan. Agak risih dengan padangan para petani yang menatap lekat mobil Bella dengan aneh. Mungkin saja karena jarang ada mobil yang memasuki desa Hitam tersebut.
Hitam adalah julukan yang diberikan penduduk setempat dan sekitarnya untuk desa ini. Kata 'Hitam' sebagai penanda sebuah peringatan bahwa siapapun yang melintasinya tidak boleh pergi lebih jauh melewati desa Hitam menuju hutan terlarang, LeNight dan LeRay. Desa Hitam adalah gerbang menuju hutan terlarang. Dan saat ini mereka telah memasuki kawasan terlarang bagi orang asing ini.
Setelah beberapa lama melintasi perumahan minimalis yang menyatu dengan alam tersebut mobil Bella berhenti tepat di pertigaan jalan bebatuan. Tampak raut bingung di wajahnya.
"Sudah sampai, Ma?" Pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Karena sedari awal perjalanan Bella lebih banyak berhenti. Dengan alasan lupa jalan selanjutnya.
"Mama lupa jalannya Ananta. Belok ke kanan hutan LeNight belok ke kiri hutan LeRay atau sebaliknya?"
"Tidak mencari petunjuk jalan di hp lagi saja, Non?"
"Tidak ada sinyal di sini, Bi. Mapsnya sudah putus di gerbang desa Hitam," jawab Bella.
Matahari telah bergerak ke bawah sekarang. Jalanan kota tadi cukup padat, menyita banyak waktu. Berbeda setelah memasuki gerbang desa Hitam yang tampak sepi. Hanya terlihat beberapa penduduk pertengahan lima puluhan ke atas yang lalu lalang. Itupun di sekitar permukiman warga dekat gerbang. Nampaknya mitos bahwa pemuda-pemudi yang memasuki awal pubertas langsung meninggalkan desa benar adanya. Mereka lebih memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan ke kota yang lebih terjamin.
"Tanya warga disekitar sini, saja." Ananta menyarankan dengan nada tenang. Sampai Bella menyahut dengan nada lemah. "Kita sudah hampir keluar dari desa Hitam. Permukiman warga sudah kita lewati." Tekanannya masih tetap kekeh bersemangat.
"Bibi turun saja, Non. Sepertinya di depan itu ada orang."
Bella mengangguk setelah menyipitkan mata dan mendapati seorang pria pertengahan enam puluhan berjalan mendekat. Bajunya terlihat putih usang termakan tanah. "Tidak perlu. Biar aku majukan mobilnya."
Suara gemletak bebatuan kecil yang terdesak ban hitam tampak mendominasi. Setelah tepat di samping pria yang memasang wajah bingung, mobil putih tersebut berhenti. Bella menurunkan kaca mobil sembari memajukan sedikit kepalanya. Bertanya pada pria yang baru saja menurunkan sekarung rumput. "Permisi. Maaf, Pak mau nanya. Ini jalan menuju hutan LeNight sebelah mana, ya?"
"Untuk apa menanyakan hutan itu?" Raut wajah pria itu berubah, tidak seramah sebelumnya. Suaranya terdengar ketus. "Tidak ada yang boleh melewati hutan itu, apa lagi masuk ke dalam."
"Tapi kenapa, ya Pak?"
"Tidak ada yang bisa kembali tanpa seijin 'taring' ketika memasuki hutan tersebut. Kita tidak pernah tau apa yang menunggu di dalam sana. Lebih baik kalian pulang saja, hari sudah semakin gelap." Intonasi suaranya terlihat menekan pada kalimat 'taring'. Hal itu mengganggu pendengaran Ananta.
Bi Manda memanggil Bella pelan tetapi keburu ditumpangi suara Ananta. "Ma, lebih baik kita pulang saja."
"Nggak bisa gitu dong, Ananta. Mama udah capek-capek nyetir sampai sini. Masa mau balik."
"Itu lebih baik, Non," ujar pria itu menambahi. Membuat Bella mendesah gelisah.
"Aku Bella, Pak. Bella Louise, pemilik Vila di pinggir hutan itu," tegasnya kemudian. Barangkali pria itu akan berubah pikiran karena Bella memiliki hak untuk datang berkunjung ke Vila yang beratas namakan dirinya.
Netra cokelat pemuda itu mebesar sempurna. Tampak terkejut mendengarnya. "Louise," gumamnya pelan. Nama itu sangat familiar di desa Hitam. Karena dialah orang pertama yang hilang di hutan LeNight tersebut, yang kemudian memakan lebih banyak korban hilang selanjutnya.
"Tidak ada pengecualian kusus antara keluarga Louise atau bukan. Kami sebagai warga hanya sekedar memberi peringatan. Tidak ada yang bisa mencegah labih banyak." Pria itu kembali menjelaskan. Kata-katanya seakan menegaskan bahwa seluruh warga desa Hitam tidak akan pernah ikut adil mengenai segala hal yang akan terjadi dengan rombongan ini. Seperti beberapa peristiwa yang pernah terjadi di waktu silam.
"Di pinggir hutan. Hanya di Vila itu kami akan datang."
Pria itu mengangguk mendengar keyakinan Bella. Raut wajahnya tampak tidak terlalu peduli.
"Cahaya biru laut. Jangan pernah mengikuti. Belok kiri adalah jalan hutan LeNight."
Ananta menghela nafas. Memikirkan berbagai benang yang mulai meraingkai rumit di kepalanya. Samar-samar ia mendengar ibunya berterimakasih pada pria itu dan berpamitan. Kemudian disusul suara bi Manda yang tampak berbicara kawatir yang keburu ditenangkan Bella, kemudian beralih dengan pembahasan seputar masakan apa yang akan mereka masak selepas berbenah.
Perbedaan hawa mulai terasa dipori-pori Ananta. Disusul suara gesekan kaca mobil yang tertutup pelan. "Hawanya semakin sejuk seperti dulu." Bella menutup kaca mobil di sebelah Ananta.
"Jananan agak gelap ya, Non. Tapi terang secara bersamaan. Bibi merasa aneh."
Bella terkekeh geli, sedikit melirik Ananta. Sepertinya putra satu-satunya itu tau ketakutan Bi Manda. Kedua orang yang sedarah itu tau betul mengapa di hutan itu tampak gelap dan terang bersamaan. Hutan LeNight memiliki cahaya hijau daun yang menerangi udara di sekitarnya. Itulah mengapa hutan tapak gelap dan terang secara bersamaan, pembiasan warna hijau armi.
Dulu tidak seterang ini kabut cahayanya. Dan tidak terlalu banyak cahaya biru lautnya. Ada yang terasa janggal. Seperti kata pria yang baru saja ditemui beberapa saat yang lalu. Cahaya itu kadang kala bergerombol menciptakan cahaya biru laut yang tampak pekat dan tidak boleh diikuti kemana pun terbangnya. Pantangan yang dilanggar Louise, ayah Ananta hanya karena penasaran kemana berhentinya cahaya terbang itu.
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen