Share

5¡ Bagaimana?

"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.

Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"

Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.

Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.

Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut.

"Matamu cantik. Tetapi jika boleh mengingatkan jangan terlalu sering memakai softlens. Tidak baik untuk penglihatan."

Di sisi lain, Alice yang mendapat wasiat tidak diinginkan tersebut hanya berdesih dalam batin. Tak mengindahkan ujaran Bella.

Jangan sok tau. Atau Alice akan mulai membencimu. Bola matanya hanya berotasi pada seluruh sudut kamar Ananta. Mempelajari lebih detail isinya.

Bella sendiri meski agak tersinggung malah memilih diam. Seharusnya ia tidak selancang itu tadi. Tidak semua orang ingin dikeritik bukan. Dan demi menghilangkan berbagai kecangungan yang membelenggu dirinya, Bella berujar lembut, "ayo keluar. Aku dan Bi Manda akan menyiapkan makan malam. Kita makan sama-sama."

"Tidak perlu. Aku mau pulang."

Alice berjongkok, membuka kaitan perban pada kakinya. Hal itu membuat Bella menatap terkejut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran perempuan tersebut. Segera ia mencegah Alice agar tidak bergerak lebih jauh, menyingkirkan perban pada kaki. Takutnya nanti kaki itu akan semakin sakit.

"Jangan Alice," suara Bella mengalun lembut, selembut sutra. Tatkala demikian, Alice tidak acuh sepercikpun.

"Menyingkirlah!" Tenaga Alice cukup kuat untuk mendorong Bella sampai terjengkang. Ibu Ananta tersebut sontak mengaduh, merasakan sikunya yang membentur kayu pembaringan. Setengah tidak habis pikir dengan perbuatan Alice.

Yang ditatap sempat terkejut dengan apa yang barusan ia perbuat. Tetapi dengan segera ia tepis perasaan janggal akan perhatian.

Setelah melepas perban ia langsung melengangkan kaki santai keluar dari kamar Ananta. Memilah-milah semua sudut ruangan. Begitu keluar dari kamar pandangan mata Alice disuguhi kegiatan Bi Manda yang dengan teliti membebat lengan Ananta penuh telaten.

Alice sempat ragu dengan pengakuan Ananta bahwa pemuda itu buta. Seseorang yang melihat Ananta saat ini tentu akan berasumsi bahwa pemuda tersebut baik-baik saja. Bagaimana tidak, dengan santainya Ananta memutar kepala menghadap ke arah Alice sembari tersenyum hangat. Alice tak megindahkan senyum tersebut. Memilih mendekat pada orang yang berkutat membereskan luka Ananta.

"Alice." Suara lembut merasuki tiga pasang telinga. Bahkan hal itu tidak membuat pemilik nama tersebut mencari sumbernya. Hanya diam melihat Ananta serta Bi Manda yang menatapnya berbeda. Tentu pandangan mata Ananta tidak setepat itu.

"Kakimu sudah sembuh rupanya." Kembali Bella berujar pelan.

Ananta yang mendengar hal itu lekas berdiri. Tetapi ia tidak cukup tau apa yang harus dilakukan. Tidak menampik Ananta kawatir, tetapi dirinya bukanlah siapa-siapa. Baru bertemu lagi. Tapi kenyataan jika Alice terluka cukup parah tidak mungkin sembuh secepat itu.

"Luka Alice sudah diobati, Ma?"

"Sudah," Jawab Bella agak ragu. Ia tau betul kesembuhan Alice itu tidak masuk wajar. Selang beberapa detik ia kembali melanjutkan. "Tinggallah di sini sebentar, Alice. Setidaknya setelah luka-lukamu itu pulih."

Senyum jahil terbit pada wajah Alice. Bi Manda mulai was-was dengan isi kepala perempuan tersebut. "Kau sudah janji mau mengobatiku, Ananta. Tidakkah kau mau menepati janjimu?"

Sebenarnya sejak kapan Ananta membenarkan janji tersebut. Ia merasa tidak menyanggupi. Tetapi demi sebuah kata 'jantan' Ananta akan menuruti keinginannya.

"Maaf, tapi bisakah Nona lihat. Den Anta tidak bisa melakukan itu." sanggah Bi Manda keberatan.

"Tentu saja. Tetapi Ananta tidak bodoh bukan?"

Spontan itu membuat Bi Manda naik pitam. Merasa jikalau ucapan Alice sangatlah tak sopan. Sebagai pesuruh yang menganggap Ananta anak sendiri, ia tidak terima. Saat hendak membela lagi ucapan Ananta menengahi.

"Asalkan kamu mau mengarahkan di mana letak lukanya. Tentu aku bisa," ujar Ananta ketus.

Di sisi lain Bella tampak tersenyum hiperbolis. Sebagai sosok perempuan yang pernah muda. Tentu ia tau, ada bibit cinta yang mulai dipupuk.

Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status