"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.
Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"
Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.
Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.
Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut.
"Matamu cantik. Tetapi jika boleh mengingatkan jangan terlalu sering memakai softlens. Tidak baik untuk penglihatan."
Di sisi lain, Alice yang mendapat wasiat tidak diinginkan tersebut hanya berdesih dalam batin. Tak mengindahkan ujaran Bella.
Jangan sok tau. Atau Alice akan mulai membencimu. Bola matanya hanya berotasi pada seluruh sudut kamar Ananta. Mempelajari lebih detail isinya.
Bella sendiri meski agak tersinggung malah memilih diam. Seharusnya ia tidak selancang itu tadi. Tidak semua orang ingin dikeritik bukan. Dan demi menghilangkan berbagai kecangungan yang membelenggu dirinya, Bella berujar lembut, "ayo keluar. Aku dan Bi Manda akan menyiapkan makan malam. Kita makan sama-sama."
"Tidak perlu. Aku mau pulang."
Alice berjongkok, membuka kaitan perban pada kakinya. Hal itu membuat Bella menatap terkejut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran perempuan tersebut. Segera ia mencegah Alice agar tidak bergerak lebih jauh, menyingkirkan perban pada kaki. Takutnya nanti kaki itu akan semakin sakit.
"Jangan Alice," suara Bella mengalun lembut, selembut sutra. Tatkala demikian, Alice tidak acuh sepercikpun.
"Menyingkirlah!" Tenaga Alice cukup kuat untuk mendorong Bella sampai terjengkang. Ibu Ananta tersebut sontak mengaduh, merasakan sikunya yang membentur kayu pembaringan. Setengah tidak habis pikir dengan perbuatan Alice.
Yang ditatap sempat terkejut dengan apa yang barusan ia perbuat. Tetapi dengan segera ia tepis perasaan janggal akan perhatian.
Setelah melepas perban ia langsung melengangkan kaki santai keluar dari kamar Ananta. Memilah-milah semua sudut ruangan. Begitu keluar dari kamar pandangan mata Alice disuguhi kegiatan Bi Manda yang dengan teliti membebat lengan Ananta penuh telaten.
Alice sempat ragu dengan pengakuan Ananta bahwa pemuda itu buta. Seseorang yang melihat Ananta saat ini tentu akan berasumsi bahwa pemuda tersebut baik-baik saja. Bagaimana tidak, dengan santainya Ananta memutar kepala menghadap ke arah Alice sembari tersenyum hangat. Alice tak megindahkan senyum tersebut. Memilih mendekat pada orang yang berkutat membereskan luka Ananta.
"Alice." Suara lembut merasuki tiga pasang telinga. Bahkan hal itu tidak membuat pemilik nama tersebut mencari sumbernya. Hanya diam melihat Ananta serta Bi Manda yang menatapnya berbeda. Tentu pandangan mata Ananta tidak setepat itu.
"Kakimu sudah sembuh rupanya." Kembali Bella berujar pelan.
Ananta yang mendengar hal itu lekas berdiri. Tetapi ia tidak cukup tau apa yang harus dilakukan. Tidak menampik Ananta kawatir, tetapi dirinya bukanlah siapa-siapa. Baru bertemu lagi. Tapi kenyataan jika Alice terluka cukup parah tidak mungkin sembuh secepat itu.
"Luka Alice sudah diobati, Ma?"
"Sudah," Jawab Bella agak ragu. Ia tau betul kesembuhan Alice itu tidak masuk wajar. Selang beberapa detik ia kembali melanjutkan. "Tinggallah di sini sebentar, Alice. Setidaknya setelah luka-lukamu itu pulih."
Senyum jahil terbit pada wajah Alice. Bi Manda mulai was-was dengan isi kepala perempuan tersebut. "Kau sudah janji mau mengobatiku, Ananta. Tidakkah kau mau menepati janjimu?"
Sebenarnya sejak kapan Ananta membenarkan janji tersebut. Ia merasa tidak menyanggupi. Tetapi demi sebuah kata 'jantan' Ananta akan menuruti keinginannya.
"Maaf, tapi bisakah Nona lihat. Den Anta tidak bisa melakukan itu." sanggah Bi Manda keberatan.
"Tentu saja. Tetapi Ananta tidak bodoh bukan?"
Spontan itu membuat Bi Manda naik pitam. Merasa jikalau ucapan Alice sangatlah tak sopan. Sebagai pesuruh yang menganggap Ananta anak sendiri, ia tidak terima. Saat hendak membela lagi ucapan Ananta menengahi.
"Asalkan kamu mau mengarahkan di mana letak lukanya. Tentu aku bisa," ujar Ananta ketus.
Di sisi lain Bella tampak tersenyum hiperbolis. Sebagai sosok perempuan yang pernah muda. Tentu ia tau, ada bibit cinta yang mulai dipupuk.
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala