Aku tahu, ada perubahan yang signifikan dalam hubunganku dengan Marco. Paling tidak, dari sisiku. Aku tak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya. Perasaanku pada cowok itu, tak lagi seperti biasa. Aku tak betul-betul paham pemicunya. Aku pun tidak yakin seberapa jauh transformasinya. Yang jelas, semua sudah berbeda.
Yang pasti, aku tak bisa lagi memandang Marco seperti biasa. Di mataku, cowok ini ada di posisi istimewa karena semua yang dilakukannya untuk Puan Derana. Juga sikap dan perhatiannya padaku. Efeknya, ada beberapa pertanyaan yang terus bergaung di kepalaku berhari-hari. Apakah aku sudah menyukai cowok itu? Atau malah jatuh cinta padanya? Aku benar-benar tak memiliki jawabannya.
Bingung karena perasaan yang tak keruan, aku memutuskan absen mendatangi Puan Derana selama beberapa hari. Aku memilih menghabiskan waktu di Rumah Borju sembari mematangkan daftar isi untuk skripsi. Akan tetapi, aku justru makin memikirkan Marco.
“Kamu kenapa cuma
Memang, aku belum terlalu lama menjadi pengunjung rutin Puan Derana. Aku pun tidak melakukan aktivitas luar biasa di sini. Aku cuma membantu sebisaku terutama yang berkaitan dengan Sonya. Akan tetapi, aku betah di sini. Aku selalu ingin kembali ke tempat ini. Rasanya aku takkan bisa lagi mengabaikan Puan Derana meski masalah skripsi akan menyedot waktuku. Bahkan setelah aku bekerja nanti.Eits, jangan salah paham! Itu bukan karena faktor Marco. Cowok itu hanya menjadi pelengkap yang membuatku kian enggan absen mengunjungi Puan Derana. Pada dasarnya, aku suka berada di tempat ini karena merasa berguna.Seperti hari ini yang banyak kuhabiskan bersama Sonya. Gadis itu masih mengurung diri di kamarnya, bersikukuh tak mau belajar menyusui Noni. Tubuhnya bahkan agak demam karena payudara yang membengkak. Sonya tak berselera bermain ular tangga. Aku mencoba menghiburnya semampuku, mengajaknya mengobrol. Upayaku tidak berhasil karena Sonya malah memintaku keluar dari kamarnya.
“Kasian Sonya ya, Co. Nggak kebayang apa yang dialaminya dalam usia semuda itu.”“Iya, betul.” Suara Marco terdengar muram. “Kemarin aku usul sama Mama, supaya keluarga Sonya dikontak aja. Takutnya dia terus-terusan kayak sekarang, ngurung diri di kamarnya. Kalau sampai kenapa-napa, takutnya Puan Derana yang disalahin.”Apa yang disinggung Marco barusan membuatku tertarik. “Trus? Tante Danty setuju?”“Belum seratus persen, sih! Mama masih ragu karena respons Sonya tiap kali ada yang ngebahas keluarganya. Di sisi lain, anak itu kayaknya belum bisa bikin keputusan soal Noni. Apakah mau diurus sendiri atau dicarikan keluarga untuk mengadopsinya. Makanya, kita butuh bantuan dari keluarga Sonya.”Aku setuju dengan ucapan cowok itu. “Iya, kamu betul.”Perhatian kami teralihkan karena mendengar derum mobil di halaman. Marco berdiri dari tempat duduknya, memanjangkan leher untuk mencar
Aku membatu, tak mampu melakukan apa pun. Bahkan sekadar menggerakkan otot wajah. Kata-kata Cliff terlalu mengejutkan, sama sekali tak terduga. Mana pernah aku membayangkan dituduh terlibat sesuatu yang berbau asmara dengan Marco di depan umum? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Ya ampun, kasian amat ngeliat Nef sampai bengong gitu,” Levi memecah kebekuan. Tawa gelinya menyusul kemudian. “Cliff, kalem dikit, Bro! Kalaupun Marco dan Nef suka-sukaan atau malah berencana mau buru-buru nikah, apa salahnya? Tapi, kalau ternyata nggak ada apa-apa, malah takutnya bikin mereka jadi saling canggung. Ujung-ujungnya nggak temenan kayak sekarang lagi.”Di antara semua orang di dunia ini, Levi adalah sosok tak terduga yang akan memberi pembelaan untukku dan Marco. Karena sebelum ini, justru cowok satu ini sangat suka melontarkan komentar iseng, termasuk yang berbau perjodohan buatku dan Marco.“Tumben kamu bisa mikir lurus, Lev.” Marco ak
“Astaga! Kamu mau bilang kalau kamu itu orang alim, ya? Pede amat, Co!” Cliff terperangah. Lalu, dia geleng-geleng kepala. “Nih anak beneran diduduki begu ganjang, kayaknya. Ditinggal beberapa hari doang, udah kayak beda kepribadian.”“Udah, jangan banyak cingcong! Yuk, kita pulang dulu,” Levi mencolek bahu Cliff. “Nggak usah merasa jadi korban gitu, Cliff! Yang mulai nyari perkara, siapa? Makanya, lain kali kayak kata Yuma tadi. Pura-pura rabun aja dulu, sebelum ada konfirmasi jelas dari yang bersangkutan.” Levi menyeringai.“Salahkan Levi yang mendadak punya hati nurani. Padahal aku udah bantuin kamu lho, Cliff,” imbuh Yuma. Cowok itu juga bangkit dari tempat duduknya. “Tapi, aku setuju sama Levi. Mending kita pulang dulu. Biar kamu juga cepat ketemu Joyce. Udah kangen, kan?”“Kalian memang udah pada ngaco. Ngapain bawa-bawa Joyce segala?” ulang Cliff sembari mendengkus kesal.
“Nanti kukasih tau detailnya. Sekarang, kita masuk dulu ke dalam, aku mau ngecek beberapa hal. Kamu bisa ngeliat Noni dan Sonya lagi.”“Oke,” putusku cepat. “Tapi janji, ya. Kamu beneran ngasih tau aku kenapa hari ini ... agak beda. Jangan malah bohong dan ingkar janji.”“Iya, aku nggak bakalan bohong,” Marco meyakinkanku.Aku pun menghabiskan waktu sekitar setengah jam lagi di Puan Derana. Aku batal melihat Sonya karena terlalu asyik berada di ruang bayi. Meski tetap belum bernyali untuk menggendong Noni, ada kemajuan besar yang terjadi hari ini. Aku berhasil mengganti popok meski memakan waktu agak lama. Untungnya, Sissy dengan sabar menungguku menuntaskan pekerjaan mahaberat itu.“Kamu nggak punya adik ya, Nef?" tanya Sissy setelah meletakkan Noni ke dalam boksnya. “Anak tunggal? Atau malah anak paling kecil?”Pertanyaan itu membuat otakku bekerja keras. Bagaimana aku harus menjaw
“Kamu pengin makan apa, Nef?” tanya Marco setelah selesai membantu memasang tali pengaman helmku. Cowok itu sudah menegakkan tubuh, sehingga wajah kami tak lagi sedekat tadi. Diam-diam, aku menghela napas. Namun, kenapa tidak terasa lega sama sekali?“Apa aja,” jawabku tanpa pikir panjang. Tadi, saat menunggu Marco mengambil jaket, perutku memang terasa mulai keroncongan. Akan tetapi, saat ini aku mendadak kenyang. Aneh, kan? Ini situasi yang belum pernah kuhadapi sebelumnya.“Sate padang, soto, mi aceh, nasi goreng, mi rebus? Kamu pilih yang mana?” Marco memberi pilihan sambil memandangku. Bibirnya tersenyum.Aku akhirnya menjawab asal-asalan. “Mi rebus aja.”Marco mengangguk sembari tersenyum. “Oke. Aku juga pengin mi rebus dari kemarin tapi belum sempat beli. Di dekat sini ada yang enak. Yuk, kita jalan sekarang.”Marco naik ke motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Aku baru saja henda
Barusan Marco ngomong apa? Mungkinkah telingaku sudah salah menangkap kata-katanya? Selama beberapa denyut nadi, aku cuma mematung sembari memandang cowok itu. Tubuhku mendadak panas dingin. Apakah aku menderita demam karena ucapan Marco?“Co, aku nggak salah dengar, kan? Barusan kamu bilang....”Marco menukas, “Aku jatuh cinta sama kamu, Nef. Aku penginnya kamu jadi pacarku. Aku nggak puas kalau kita cuma temenan doang.” Hening. Satu, dua, tiga detik. “Tapi, kalau kamu nggak punya perasaan apa pun sama aku, kuharap kita nggak lantas jadi musuhan. Aku tetap pengin kamu main ke sini kayak biasa.”Aku membatu dengan perasaan yang tak bisa kuurai dengan kata-kata. Aku mustahil menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Bahagia? Itu morfem yang terlalu sederhana untuk menjelaskan efek dari ucapan Marco bagi diriku.“Co,” kataku dengan suara setenang mungkin yang kuupayakan mati-matian. Kedua telapak tanganku
Selama perjalanan yang hanya berlangsung tak sampai sepuluh menit itu, kami sama sekali tak bicara. Ya, memang tidak ideal mengobrol dengan helm menutupi seluruh wajah di tengah angin yang menderu kencang. Meski sebenarnya aku sungguh ingin tahu alasan Marco menyebut-nyebut nama Levi tadi.Marco membawaku ke sebuah warung tenda yang khusus menyediakan mi rebus. Aku pernah makan di sini walau frekuensinya tak terlalu sering. Aku setuju dengan penilaian Marco bahwa mi rebus di sini bercita rasa enak.“Aku sering datang ke sini, Nef. Kalau mau makan mi rebus, aku pasti ke sini. Nggak pernah mau nyoba makan di tempat lain,” aku Marco.Kami duduk bersisian di bangku kayu. Warung tenda itu cukup ramai. Aroma khas mi rebus menguar di udara, membuat perutku yang tadi kenyang secara misterius pun berubah keroncongan lagi.“Kamu kenapa? Mendadak jadi pendiam gini.” Marco tiba-tiba menyenggol lengan kananku. Hebatnya (atau anehnya?), gerakan