“Ya ampun, ketawanya masih lanjut aja. Tiba-tiba aku ngerasa jadi pelawak,” ucap Levi setelah gelakku tak juga berhenti. Kami sudah tiba di depan tempat indekosku.
Aku mendorong pagar dengan sisa senyum masih merekah di bibir. Setelah menepi agar Levi bisa lewat, aku juga menyapa satpam yang berjaga. “Pak, ini teman sekampus saya. Katanya bukan penjahat dan nggak pernah melanggar hukum,” gurauku.
Levi memelototiku tapi mengangguk sopan pada satpam yang bertugas. Aku tertawa geli melihat ekspresi cowok itu. Ntah kenapa, aku pun tertulari keisengannya barusan.
“Kamu duduk di sini dulu, ya?” Aku menunjuk bangku beton yang berjarak beberapa langkah dari pos satpam. “Aku ambil jaketnya dulu, ada di kamar. Sebentar, kok.”
“Oke. Eh, aku boleh minta minum, nggak? Air putih aja. Haus, nih!” Levi menunjuk ke arah lehernya. “Yang dingin, kalau ada.”
Aku hanya mengangguk sebelum berlalu me
Aku tahu bahwa perundungan itu memang nyata. Banyak yang mengalaminya di dunia ini. Korbannya tak pandang bulu, semua orang bisa menjadi sasaran. Mulai dari jenis yang ringan hingga berat. Efeknya pun beraneka karena tak semua orang memiliki daya tahan yang sama. Ada yang bisa menghadapi penindasan dengan baik. Ada pula yang sampai mengalami depresi atau berujung dengan bunuh diri.Mengerikan, tapi memang itu yang banyak terjadi, kan? Selalu ada orang yang sangat suka menyiksa manusia lain. Mungkinkah mereka ini memiliki masalah mental atau problem lain? Mengapa bisa begitu senang jika membuat orang lain merana? Seakan penderita para korbannya menjadi energi tambahan yang menceriakan dunia para perisak.“Penampilanmu norak, tau! Kenapa sih kamu bisa tinggal di sini? Memangnya kamu sanggup bayar biaya kos di sini?” Itu contoh kalimat jahat yang pernah dilemparkan padaku oleh Thea. Kala itu, aku baru pindah selama beberapa hari di Rumah Borju.“S
Jaket itu kembali tertinggal. Setelah salat Zuhur yang kulakukan dengan lumayan cepat, mengganti sandal, dan memasukkan dompet serta ponsel ke dalam tas selempang, aku buru-buru menghampiri Levi. Cowok itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu pagar. Aku mengikuti tanpa mengingat kantong plastik berisi jaket yang masih tergeletak di atas meja.Seperti yang dijanjikan Levi, cowok-cowok yang tergabung di tim basket memang menjadi objek pemandangan yang menarik. Selain tinggi mereka minimal 170 sentimeter, umumnya memang memiliki tampang yang enak dilihat. Yuma langsung mengajakku mengobrol dengan gayanya yang cuek tapi ternyata ramah. Cliff lebih banyak disibukkan oleh ponselnya. Entah berapa kali cowok itu bicara di gawainya atau sekadar mengetikkan sesuatu.“Kami rutin latihan seminggu dua kali, Rabu dan Sabtu. Anak-anak jarang pulang ke rumah karena waktunya mepet. Jadi, udah pasti bawa baju ganti,” urai Levi.Seperti kata Levi, m
Seperti hari Sabtu yang lain, tidak ada aktivitas istimewa yang kulewatkan secara khusus. Setelah berpisah dengan Yuma, Levi, dan si Suami Siaga yang membuatku makin kesal saat memikirkannya, aku kembali ke Rumah Borju. Aku langsung mandi begitu tiba di kamar karena tidak betah dengan tubuh yang terasa lengket.Dulu, Mama selalu bercerita tentang kota Pematangsiantar yang berhawa sejuk. Saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Paduan dari pemanasan global, jumlah penduduk yang terus meningkat, serta polusi yang kian tinggi, membuat kotaku kian panas saja. Jika tak ada kegiatan yang mengharuskanku keluar rumah, aku lebih suka berada di kamar yang nyaman.“Kamu kok bisa betah di kamar sih, Nef? Keluar paling-paling cuma untuk ke kampus atau ke toko loak,” komentar salah satu temanku di tempat indekos lama.“Mau bagaimana lagi? Kamarku istanaku,” candaku. “Lagian, aku nggak suka keluyuran tanpa tujuan. Kalau keluar kamar, harus udah ta
Aku memandang Marco sekilas, tidak yakin dengan kata-kata Levi. Di saat yang sama, Marco juga sedang balas menatapku. Wajah cowok itu tampak memerah, tapi Marco tidak bicara apa-apa. Levi malah menyikut sahabatnya.“Aku minta maaf untuk kejadian minggu lalu,” ucap Marco dengan suara datar. “Hmmm ... aku keterlaluan.”Aku tidak yakin bagaimana cara Levi membuat Marco bersedia datang ke Rumah Borju dan meminta maaf. Aku pun akhirnya duduk di depan kedua tamuku. Saat ini, aku tidak memiliki opsi lain kecuali menjawab permintaan maaf itu dengan kalimat yang baik. Sekeras-kerasnya seorang Nefertiti Kamelia, jika ada yang meminta maaf, hatiku akan lumer dengan mudah. Lagi pula, bukankah seharusnya memang seperti itu?“Aku juga minta maaf,” balasku pelan. Kecanggungan membuatku duduk dengan perasaan tak nyaman. Akan tetapi, aku tetap harus mengapresiasi Marco karena bersedia minta maaf, kan? Terlepas apakah cowok itu melakukannya den
Tolong, jangan sampai mengikuti jejakku. Aku adalah contoh nyata bahwa jangan mudah menarik kesimpulan begitu saja tanpa mencari tahu detailnya. Karena bisa saja akan berakhir dengan rasa malu yang membuatmu ingin menghilang selamanya dan pindah ke Planet Namek.Niatku sungguh mulia, berawal dari rasa solidaritas pada istri yang diselingkuhi Marco. Namun aku malah mempermalukan diri sendiri. Apakah usia muda membuat seseorang terlalu gampang mengambil kesimpulan? Entahlah. Tanyakan padaku lima belas atau dua puluh tahun lagi. Mungkin aku bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan.Setelah Marco bergabung dengan teman-temannya dan mendengar Levi mengulangi percakapan kami, cowok itu tersenyum. Hei, ada lesung pipitnya! Ini tergolong kejutan buatku karena tak pernah tahu jika cowok yang lebih sering merengut itu ternyata memiliki dekik di kedua pipinya. Tentu saja Marco tampak lebih menawan karena tambahan sepasang lesung pipit itu. Eh, barusan aku bilang apa? Marco me
Aku pun teringat ucapan Cliff saat menjelaskan tentang arti kata “Nefertiti”. Namun, aku memilih tidak mengomentari kata-kata Joyce. Toh, aku sendiri pun belum mengenal Cliff dengan baik. Kami baru bertemu beberapa kali. Oleh karena itu, aku lebih suka bertanya tentang aktivitas Joyce sehari-hari.“Aku masih kuliah juga, Nef. Semester tujuh, jurusan Bahasa Inggris. Tapi nggak di universitas ini. Tadinya males, pengin langsung kerja. Cuma ya gitu, kalau cuma pakai ijazah SMA, nggak banyak pilihan. Yang udah jadi sarjana aja pun banyak yang nganggur.”Itu problem klasik yang sepertinya sudah terlalu sering terdengar, kan? Namun memang fakta di dunia nyata, seperti itu. Tak ada yang bisa membantah bahwa ijazah masih sangat diperlukan untuk melegitimasi bahwa seseorang layak dipekerjakan.“Kalau aku, sejak awal memang pengin jadi bankir,” sahutku saat Joyce bertanya alasanku memilih kuliah di Fakultas Ekonomi.“Kamu t
Sore itu, aku terpana berkali-kali saat mendengar potongan cerita tentang Puan Derana. Informasinya berasal dari berbagai sumber, Marco dan ketiga sahabatnya. Bagiku, semua yang berkaitan dengan tempat itu, sungguh mengejutkan. Karena itu, aku tak bisa banyak bicara selama kami berada di sana. Terlalu terkesima hingga kehilangan kata-kata. Aku juga berkali-kali mengingatkan diri sendiri agar tak lagi ceroboh membuat praduga ini-itu. Aku harus lebih mampu menahan komentar di masa depan.“Jadi, apa pendapatmu, Masih yakin kalau Marco itu suami yang tukang selingkuh?” tanya Levi pada suatu kesempatan sambil tertawa terbahak-bahak.Aku merengut ke arahnya. “Itu semua salahmu. Ngomongnya ngaco.”Bukannya merasa bersalah, Levi malah membela diri. “Makanya, lain kali jangan cepat ngambil kesimpulan ya, Nef. Masa iya kamu percaya gitu aja kalau Marco punya harem dan udah punya anak segala, sih?”“Soal harem itu, nggak ter
“Kenapa mamamu bisa bikin Puan Derana, Co?” Joyce bertanya. Dia duduk di tengah, diapit olehku dan Cliff. “Hebat, lho. Bisa bikin tempat kayak begini.”Marco tak segera menjawab. Bahkan, aku bisa melihat keengganannya untuk bercerita. Namun, setelah berlalu beberapa detik, cowok itu akhirnya membuka mulut.“Mama pernah ketemu korban pemerkosaan pacarnya sendiri, sampai hamil dan depresi. Si korban ini tetap mempertahankan kehamilannya tapi sayangnya dia meninggal waktu melahirkan. Bayinya juga nggak selamat.” Wajah Marco tampak memucat. “Setelah itu, Mama kepikiran bikin Puan Derana.”Ada banyak pertanyaan yang terasa menusuki kepalaku. Untuk kesekian kalinya, Cliff mengulurkan martabak telur ke arahku. Penganan itu masih berada di dalam kotak karton dan menguarkan aroma yang menggoda indera penciuman. Sayang, kali ini aku kebal. Aku tak merasa tertarik sedikitpun untuk mencobanya. Aku cuma menggeleng sebagai bentu