Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis.
“Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!”
“Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang.
“Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo.
Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku.
Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku.
“Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buku yang membuat dahi Leo berkerut.
“Kau mau beli buku ini?” Tanya Leo.
“Ya. Kenapa? Isinya jelek?” Wajah Dara berubah serius.
“Bukan. Baca punyaku saja.” Kata Leo menawarkan diri.
“Itu kan punyamu.” Dara menolak halus.
“Ambil saja. Masih baru. Aku juga sudah selesai membacanya.” Tawaran Leo kali ini sangat kuat, sulit untuk ditolak.
Dara hanya menangguk-angguk sambil meletakkan buku di tangannya ke tempat semula. “Kenapa kau memberiku? Atau memang kau seperti ini setiap selesai membaca novel?” Wajah Dara masih bingung.
“Kau pernah melihat koleksi novelku kan?” Kata Leo menyombongkan diri. Ia berbalik arah mengisyaratkan Dara untuk meninggalkan rak buku itu. Dara mengangguk, kini berganti ia yang mengikuti langkah Leo. “Tujuanku membeli novel kali ini bukan untuk menambah koleksi.” Ucap Leo lagi tanpa menoleh ke arah Dara.
“Lalu?” Sebaliknya Dara menatap Leo lekat-lekat, penasaran akan jawaban Leo.
“Tidak usah banyak tanya. Kau mau buku gratis tidak?” Jawab Leo sambil tersenyum sebentar ke arah Dara.
“Aku juga bisa beli sendiri. Lagipula aku tidak akan bertanya kalau bukan kau yang memulai.” Suara Dara terdengar kesal. Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Leo, lalu duduk sendiri di sebuah kursi di depan toko buku itu.
Tak berapa lama kemudian Leo datang. Ia duduk di sebelahnya.
“Kau marah?” Tanyanya, sedang Dara hanya cemberut dan menatap lurus ke depan. “Ini.” Kata Leo sebotol kopi instan. Diletakkannya kopi itu lebih dekat dengan Dara agar ia bisa mengambilnya sendiri.
Dara memang sedang kesal, tapi cuaca hari ini begitu panas. Apalagi begitu Dara tahu yang dibawa Leo adalah kopi kesukaannya. Dara tidak sanggup menolak. Dengan sedikit kasar diambilnya botol kopi itu. Dara memutar tutup botolnya, matanya mendelik. Leo yang memperhatikannya tersenyum.
“Sudah kubuka. Tidak kuminum.” Jelasnya kepada Dara yang heran karena tutup botol itu tidak lagi tersegel. Leo tahu tangan Dara yang sering berkeringat akan sulit membuka tutup botol. Daripada membuat Dara malu untuk meminta bantuan, ia lebih memilih membukanya terlebih dahulu.
Diminumnya kopi itu beberapa teguk. Indera pengecap Dara merespon sempurna rasa dari kopi yang diminumnya. Tak pernah gagal. Kopi selalu membuatnya lebih segar, lebih bersemangat, dan lebih hidup. Setelah itu hening. Keduanya menikmati orang yang berlalu-lalang dengan pikiran masing-masing, hingga langit yang berubah jingga menyadarkan mereka untuk kembali pulang ke rumah.
“Kita pulang sekarang?” Tanya Leo santai, ia percaya diri bahwa kopi yang ia bawa tadi sudah menghapus kekesalan Dara.
Dara mengangguk dan berdiri lebih dahulu. Seperti biasa, Leo mengekor.
***
Di dalam bis perjalanan pulang dari membeli novel yang tidak jadi, Leo terus menatap Dara yang secara teratur meneguk kopi dalam botolnyas sambil terus menatap keluar jendela bis. Pemandangan senja dan kopi, memang kombinasi yang sempurna. Leo hanya bisa menatap Dara. Dalam hati ia menyesal kenapa tidak membeli juga untuk dirinya sendiri.
“Kau langsung pulang atau mau mengambil novelnya dulu di rumahku?” Tanya Leo tiba-tiba.
“Aku langsung ambil saja.” Jawab Dara mengalihkan pandangannya sejenak kepada Leo.
“Sebegitu inginnya kau membaca buku itu.” Leo tersenyum, namun sedikit sinis.
“Kau kan memberiku pilihan?” Sanggah Dara.
“Aku hanya berbasa-basi.” Kata Leo lagi. Ia menatap ke bawah hampir menunduk. Entah apa yang ingin ia katakan.
“Kau memang suka mencari gara-gara.” Tatapan Dara sungguh malas.
***
Dara dan Leo tinggal beberapa langkah lagi sampai di depan rumah Leo. Namun tiba-tiba Dara menarik lengan baju Leo.
“Leo!” Langkah Dara terhenti.
“Ada apa?” Leo menoleh ke arah Dara dengan heran.
“Apa di rumahmu ada orang? Kenapa pintunya terbuka? Jangan-jangan ada maling!” Kalimatnya yang terakhir setengah berbisik.
Leo mendekatkan kepalanya ke telinga Dara dan membalas berbisik. “Bisa jadi. Aku juga tidak tahu.”
Leo terus melangkah maju dengan santai, sedang Dara bersembunyi di balik tubuhnya.
“Dari mana Leo?” Orang di dalam rumah itu menyapa lebih dahulu.
Dara yang tadinya takut sekarang memeberanikan diri menyembulkan kepalanya dari belakang tubuh Leo. Apa benar yang ia dengar adalah suara Gio? Benar. Tapi kenapa Gio mengenakan pakaian rumahan?
“Kami tadi ke toko buku sebentar.” Jawab Leo dan langsung masuk ke kamarnya.
“Ayo, masuk Dara.” Kata Gio.
Dara hanya mengangguk dan tersenyum. Ia segera duduk dengan sopan di kursi yang kosong. Sebenarnya Dara sangat penasaran ada keperluan apa Gio malam ini di rumah Leo, tapi ia ragu apakah sopan untuk bertanya langsung. Namun suasana begitu hening, Leo juga lama sekali keluar dari kamarnya. Tak ada pilihan lain.
“Pak Gio mau menginap disini?” Kata Dara sesopan mungkin.
“Ya. Kebetulan ada yang ingin aku kerjakan dengan Leo.”
Tak berapa lama, Leo keluar dengan membawa novel Dua Hujan dan sebuah jaket yang ia sampirkan di lengannya. “Ini Dar, jaketmu.” Katanya, menyodorkan buku dan jaket kepada Dara.
“Kau sering menginap disini juga, Dara?” Tanya Gio santai.
Dara terbelalak. “Apa maksudnya menginap, Pak? Bagaimana mungkin saya menginap disini? Ini tertinggal saat kami makan malam bersama tim disini.” Ucap Dara tergagap.
“Aku bercanda, Dara.” Kata Gio lagi tersenyum kecil, yang tentu saja terlihat sangat manis di mata Dara.
Sedangkan Leo, tak bereaksi. Leo terlihat seperti orang yang mengantuk. Entah apa yang terjadi malam ini, Dara merasa lebih canggung dengan Leo daripada dengan Gio. Untuk menghindari suasana yang beku itu, Dara memilih segera pamit pulang.
***
Krek... seseorang menarik kursi di depan Dara, kemudian meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja.
“Tumben kau makan di kafetaria.” Orang yang baru datang itu memulai percakapan duluan.
“Sudah lama aku tidak makan disini. Kau sendiri?” Dara balik bertanya.
“Sama.” Jawaban yang dikeluarkannya membuat Dara mengerutkan dahinya dan menaikkan sudut bibirnya—heran. “Kau belum membaca novelnya, ya?”
“Bagaimana kau tahu?” Dara menghentikan gerak sendok dan garpunya, sedang yang ditanya hanya tersenyum, entah bangga atau mengejek. “Apa tadi malam kau lelah sekali?”
“Tidak juga. Kenapa?” Kini wajahnya berubah bingung, atau tepatnya pura-pura bingung.
“Tadi malam saat kau memberi jaket serta novel, rasanya kau seperti sedang mengusirku. Kukira kau sangat lelah.” Dara mencoba menceritakan apa yang dipikirkannya. “Aku bertanya –tanya sendiri, apa aku ada berbuat salah kepadamu seharian kemarin.” Dara mencoba melanjutkan makannya dengan mengaduk-aduk sup di mangkuknya. “Tapi sekarang, ternyata kau baik-baik saja. Sepertinya.”
“Maaf, lain kali tidak akan ku ulangi.” Leopun mulai menyantap makanannya. “Tapi soal lelah, aku memang lelah. Disini.” Katanya sambil memegang dadanya. Dara memajukan bibirmya. Tidak akan bertanya lebih jauh. Tentu saja Leo bercanda, pikirnya.
***
Dara duduk bersandar pada kursi di kamarnya yang mengahadap langsung ke arah jendela. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan akan apa yang baru saja ia baca. "Sini, dekat-dekat. Nanti kau kebasahan." Kata si Aku kepada gadis yang membawa payung dalam novel Dua Hujan. Ingatan Dara sedikit tergelitik, sepertinya Firman memang mengatakan itu. Tapi sepertinya juga tidak. Semakin dicobanya untuk mengingat, semakin kabur.
Belum lagi pada paragraf selanjutnya. "Dari sekian banyaknya orang, kenapa juga dia meminta aku untuk menemuinya, bukan gadis di sebelahku ini. Tapi syukurlah, dia tidak melakukannya. Aku terpaksa membiarkan gadis payungku ini berjalan sendiri ke kelas. Kuharap dia tidak keberatan. Kenapa juga harus keberatan?"
Jawaban baru, namun melahirkan pertanyaan baru. Siapa? Benarkah...?
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih