Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.
“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.
“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?” Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.
“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.
“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”
“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.
“Dia bukan anak kecil lagi. Kau itu malah menghalanginya bersenang-bersenang.” Firman sedikit tertawa.
“Maksudmu?”
“Mungkin dia mau membawa seorang gadis menginap.”
“Sepertinya begitu, kemarin dia pulang bersama Dara. Mungkin mau menginap, tapi tidak jadi karena ada aku.” Gio terkekeh, mengejek.
“Sembarangan!” Suara Dara hampir terdengar. “Tunggu, jadi Gio dan Leo adik kakak?” Dara melupakan inti dari pembicaraan mereka. “Kenapa Leo tidak memberitahu aku?”
“Jadi kau tidak terganggu lagi dengan Dara?” Firman yang tadinya tertawa bersama Gio mencoba merubah alur pembicaraan, wajahnya menjadi sedikit serius.
Gio yang di tanya terdiam sejenak, tertunduk terlihat berpikir. “Apa menurutmu begitu?”
Sementara Dara di balik pintu tersenyum masam. Ia mengingat-ingat tingkahnya yang manakah yang membuat Gio terganggu. Dara berharap yang mereka maksud adalah sikap Dara kepada Gio saat ini—selama di penerbit ini.
“Ya. Berbeda sekali seperti saat di SMA dulu.” Firman kini menatap lurus ke arah Gio.
“Astaga! Dia sudah lama merasa begitu. Bagaimana mungkin orang yang kukira orang terdekatku ternyata malah menganggapku sebagai pengganggu.” Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Terdengar beberapa pegawai mulai berdatangan. Ia memilih meninggalkan ruangan itu untuk mencari angin segar.
Dara telah duduk di sebuah kursi taman bagian pojok, agar tak terlihat oleh para pegawai. Barangkali kali ini Dara menemukan jawaban, namun masih berupa benang kusut. Beberapa kalimat masih harus ia coba cerna baik-baik. Mungkin saja dirinya salah paham. Tapi tidak. Apa yang ia dengar dan pikirkan memang sesuai.
Pernyataan Firman barusan harusnya melegakan Dara. Namun, rasanya seperti mengetahui seseorang tak lagi membencimu, sedang kau sendiri tak tahu kalau pernah dibenci. “Haruskah aku pura-pura tidak tahu?” pikir Dara. Wajahnya tengadah ke langit.
Apa yang baru saja Dara dengar juga sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan Dara tentang bagaimana perasaan Gio terhadapnya. Terjawab. Ia merasa terganggu. Dara mengangguk-angguk mengiyakan kemirisan yang dialaminya.
***
Tuut...tuut...tuut... Halo!
“Selamat malam, Kak. Masih ingat aku?”
“Kau tetanggaku dulu ya? Dara.” Anton menjawab malas pertanyaan Dara, walau sangat berlawanan dengan perasaannya. “Ada apa? Tumben kau menghubungiku? Nomormu ganti ya?”
“Ada yang ingin kutanyakan. Apa dulu setelah pindah, Kak Gio ada kembali sebentar. Mengunjungi sekolah misalnya?” Tanya Dara hati-hati.
“Bisa tidak kau itu bertanya kabarku dulu? Ya. Dia datang. Kau tidak tahu? Ah.. kenapa kau selalu jadi yang terakhir tahu.” Anton turut menyesal.
“Kenapa tidak memberitahuku?”
“Aku kira kau sudah tahu. Dia juga sudah menitip salam untukmu.”
“Lewat siapa? Aku tidak pernah tahu.” Dara mulai kesal.
“Aku juga lupa, Dar. Hari itu, rasanya semua anak yang dekat dengan Gio akan tahu kalau dia datang. Entah kenapa aku juga tidak pernah membahasnya lagi denganmu. Tapi aku benar-benar mengira kalau kau tahu.”
“Oke. Aku bisa memaklumi anak yang ingatannya lemah itu.” Dara menghela napas berat.
“Maksudmu aku?” Anton merasa tertuduh.
“Oh, bukan. Maksudku anak yang lupa menyampaikan salam kepadaku.” Suara Dara masih terdengar kesal. “Satu lagi. Apa Kak Gio pernah membahasku lebih jauh? Tentang dia merasa terganggu olehku misalnya?”
“Gio tidak perlu bercerita, terpancar jelas di wajahnya kalau dia itu terganggu olehmu.” Anton tertawa terbahak-bahak, sedang lawan bicaranya hening.
“Aku serius.” Lemah suara Dara.
“Tidak, tidak. Gio tidak pernah berkata seperti itu. Tapi anak itu memang mudah merasa tidak nyaman di dekat orang baru.” Suara Anton lebih serius, ia telah menghentikan candaannya.
“Kalau Firman? Apa Kak Gio dekat dengan Firman?”
“Firman? Oh, Firman Setyo Budi?”
“Entahlah. Pokoknya Firman teman seangkatan Kakak.”
“Dia... pernah cukup dekat dengan Gio.” Anton terdengar sulit mencari kata yang pas. Dara yang mendengar jawabannya diam sejenak.
“Sekarang?”
“Kalau sekarang kamu yang harusnya lebih tahu. Mereka ada bersamamu kan?”
“Kakak tahu dari mana kalau saat ini aku bersama mereka?” Dara menyelidik.
“Gio. Kalian juga satu kantor kan?”
“Wah, sejak kapan kalian berhubungan di belakangku? Jangan-jangan sejak dia pindah dulu.” Kecurigaan Dara menjadi-jadi. Dibalik itu, ia kecewa merasa tertinggal berita yang banyak sekali.
“Tidak juga. Mungkin sekitar dua tahun terakhir. Kami bertemu di social media lalu bertukar nomor handphone.” Jelas Anton. “Gio kan sudah dekat sekali denganmu, hanya berjarak beberapa langkah. Kenapa masih menanyaiku juga? Oh iya, dekat di mata jauh di hati ya?” Anton kembali meledek adik kelasnya itu.
“Tak tahulah. Kakak mirip sekali seperti temanku.” Dara merengek—marah. “Jadi bagaimana Gio dan Firman itu?”
“Kakak! Ingat kami setahun lebih tua darimu.” Anton memperingatkan Dara. Dara hanya berdehem. “Dulu, saat kami kelas 1, mereka cukup dekat. Tapi saat kelas 2, aku juga kurang mengerti, hubungan mereka seperti berubah.”
Beberapa detik keduanya diam. Seperti biasa, Dara bingung harus bertanya apa lagi.
“Dara, nanti datang ya ke acara ulang tahun anakku.” Anton memecah keheningan.
“Tidak lucu, Kak.” Dara menjawab sinis.
“Aku serius Dara. Coba lihat w******p-mu. Aku sudah kirim undangannya.”
“Hah! Kapan Kakak menikah? Kenapa aku tidak tahu? ” Seloroh Dara masih terkejut dengan berita Anton.
“Saat kau dua tahun tidak pulang, Dara. Cuma orangtuamu yang hadir di pernikahanku. Kau memang jahat tidak ada menanyakan kabarku. Gio saja yang kau perdulikan.” Anton menceramahi Dara.
“Wah, jadi Kakak sudah jadi suami orang. Harusnya aku tidak boleh menelepon selarut ini.” Dara berubah cemas. “Tapi, bagaimana caranya aku datang? Kita jauh, Kak!”
“Kita sudah satu kota, Nona.”
“Oh... jadi Kakak pindah kesini. Oke. Anak Kakak laki-laki atau perempuan? Ini ulang tahun yang keberapa?”
“Tinggal kau baca di undangannya.”
“Foto. Kalau begitu kirimkan fotonya.” Dara yang tadi lemas kini sudah berubah menjadi ceria. Kabar Anton benar-benar merubah suasana hatinya. Ia merasa telah memiliki keponakan.
***
Sepulang kerja, Dara sudah hampir keluar dari gedung kantor.
“Dara!” Seseorang memanggilnya dari belakang. Dara yang dipanggil menoleh. Matanya membesar.
“Apa aku tidak salah lihat.” Pikirnya. “Ya, Pak” Tersenyum.
“Mau pulang?” Gio mengatur napas.
“Ya, Pak. Bapak juga?” Canggungnya terlihat jelas. Ini pertama kalinya Gio menyapanya secara santai diluar urusan kantor, yang disengaja. Terlebih kali ini dia tidak hanya menyapa singkat lalu lewat. Gio bahkan berhenti, seperti ada yang ingin ia katakan. Seperti dia memang ingin pulang bersama Dara.
Dara menggeleng-gelengkan kepalanya, menepis pikirannya barusan. Ia terus berjalan di sisi Gio sambil menunggu Gio selesai dengan urusan handphone-nya. Tak berapa lama, akhirnya selesai juga. Gio memasukkan benda persegi panjang seukuran telapak tangan itu ke saku jasnya.
“Kamu datang kan ke acara ulang tahun anaknya ke Anton?” Kini mata Gio telah terfokus pada Dara.
Dara mengangguk. “Ya, saya datang.” Dalam hati, Dara berpikir keras, bagaimana orang ini bisa semudah itu membahas Anton. Sedang sebelumnya tak pernah sekalipun mereka membahas yang lalu-lalu itu. Baik SMA, Anton, English Club, atau yang lainnya. Bagaimana bisa? Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Apa dia memang seperti ini?
“Saya mau cari kado. Kamu sudah?” Dara menggeleng. “Kita cari sekarang saja. Mau?”
Entah bagaimana wajah Dara saat ini mengekspresikan kebingungannya. Tawaran Gio ini, apakah sopan kalau ia tolak. Karena tentu saja sauasana akan menjadi canggung jika hanya mereka berdua. Namun sebuah ilham datang, jika ia berani maka kenapa aku harus canggung. Anggap saja seperti saat kami masih SMA.
“Ya, bisa Pak. Saya tahu tempat yang bagus.” Mulus, kini suara Dara lebih santai.
Gio tersenyum mendengar tawaran baiknya bersambut. Keduanya tetap melajutkan langkah. Dara diam, namun tentu saja tidak dengan pikirannya. Hingga tanpa ia sadari, kakinya melangkah ke arah yang berbeda dengan Gio.
“Dara? Kemana?”
Suara Gio mengagetkan Dara. Wajahnya bingung. Ternyata ia berjalan menuju arah parkiran mobil.
“Saya tidak bawa mobil hari ini. Kita naik bis saja ya.” Gio tersenyum.
“Oh, ya Pak.” Dara kembali menghampiri Gio. Malu sekali, pikirnya. Sejenak Dara lupa ucapan Gio dan Firman tempo hari.
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih
Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca
Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har