Share

KADO ULANG TAHUN

Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu  yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.

“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.

“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?”  Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.

“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.

“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”

“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.

“Dia bukan anak kecil lagi. Kau itu malah menghalanginya bersenang-bersenang.” Firman sedikit tertawa.

“Maksudmu?”

“Mungkin dia mau membawa seorang gadis menginap.”

“Sepertinya begitu, kemarin dia pulang bersama Dara. Mungkin mau menginap, tapi tidak jadi karena ada aku.” Gio terkekeh, mengejek.

“Sembarangan!” Suara Dara hampir terdengar. “Tunggu, jadi Gio dan Leo adik kakak?” Dara melupakan inti dari pembicaraan mereka. “Kenapa Leo tidak memberitahu aku?”

“Jadi kau tidak terganggu lagi dengan Dara?” Firman yang tadinya tertawa bersama Gio mencoba merubah alur pembicaraan, wajahnya menjadi sedikit serius.

Gio yang di tanya terdiam sejenak, tertunduk terlihat berpikir. “Apa menurutmu begitu?”

Sementara Dara di balik pintu tersenyum masam. Ia mengingat-ingat tingkahnya yang manakah yang membuat Gio terganggu. Dara berharap yang mereka maksud adalah sikap Dara kepada Gio saat ini—selama di penerbit ini.

“Ya. Berbeda sekali seperti saat di SMA dulu.” Firman kini menatap lurus ke arah Gio.

“Astaga! Dia sudah lama merasa begitu. Bagaimana mungkin orang yang kukira orang terdekatku ternyata malah menganggapku sebagai pengganggu.” Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Terdengar beberapa pegawai mulai berdatangan. Ia memilih meninggalkan ruangan itu untuk mencari angin segar.

Dara telah duduk di sebuah kursi taman bagian pojok, agar tak terlihat oleh para pegawai. Barangkali kali ini Dara menemukan jawaban, namun masih berupa benang kusut. Beberapa kalimat masih harus ia coba cerna baik-baik. Mungkin saja dirinya salah paham. Tapi tidak. Apa yang ia dengar dan pikirkan memang sesuai.

Pernyataan Firman barusan harusnya melegakan Dara. Namun, rasanya seperti mengetahui seseorang tak lagi membencimu, sedang kau sendiri tak tahu kalau pernah dibenci. “Haruskah aku pura-pura tidak tahu?” pikir Dara. Wajahnya tengadah ke langit.

Apa yang baru saja Dara dengar juga sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan Dara tentang bagaimana perasaan Gio terhadapnya. Terjawab. Ia merasa terganggu. Dara mengangguk-angguk mengiyakan kemirisan yang dialaminya.

***

           

            Tuut...tuut...tuut... Halo!

            “Selamat malam, Kak. Masih ingat aku?”

            “Kau tetanggaku dulu ya? Dara.” Anton menjawab malas pertanyaan Dara, walau sangat berlawanan dengan perasaannya. “Ada apa? Tumben kau menghubungiku? Nomormu ganti ya?”

            “Ada yang ingin kutanyakan. Apa dulu setelah pindah, Kak Gio ada kembali sebentar. Mengunjungi sekolah misalnya?” Tanya Dara hati-hati.

            “Bisa tidak kau itu bertanya kabarku dulu? Ya. Dia datang. Kau tidak tahu? Ah.. kenapa kau selalu jadi yang terakhir tahu.” Anton turut menyesal.

            “Kenapa tidak memberitahuku?”

            “Aku kira kau sudah tahu. Dia juga sudah menitip salam untukmu.”

            “Lewat siapa? Aku tidak pernah tahu.” Dara mulai kesal.

            “Aku juga lupa, Dar. Hari itu, rasanya semua anak yang dekat dengan Gio akan tahu kalau dia datang. Entah kenapa aku juga tidak pernah membahasnya lagi denganmu. Tapi aku benar-benar mengira kalau kau tahu.”

            “Oke. Aku bisa memaklumi anak yang ingatannya lemah itu.” Dara menghela napas berat.

            “Maksudmu aku?” Anton merasa tertuduh.

            “Oh, bukan. Maksudku anak yang lupa menyampaikan salam kepadaku.” Suara Dara masih terdengar kesal. “Satu lagi. Apa Kak Gio pernah membahasku lebih jauh? Tentang dia merasa terganggu olehku misalnya?”

            “Gio tidak perlu bercerita, terpancar jelas di wajahnya kalau dia itu terganggu olehmu.” Anton tertawa terbahak-bahak, sedang lawan bicaranya hening.

            “Aku serius.” Lemah suara Dara.

            “Tidak, tidak. Gio tidak pernah berkata seperti itu. Tapi anak itu memang mudah merasa tidak nyaman di dekat orang baru.” Suara Anton lebih serius, ia telah menghentikan candaannya.

            “Kalau Firman? Apa Kak Gio dekat dengan Firman?”

            “Firman? Oh, Firman Setyo Budi?”

            “Entahlah. Pokoknya Firman teman seangkatan Kakak.”

            “Dia... pernah cukup dekat dengan Gio.” Anton terdengar sulit mencari kata yang pas. Dara yang mendengar jawabannya diam sejenak.

            “Sekarang?”

            “Kalau sekarang kamu yang harusnya lebih tahu. Mereka ada bersamamu kan?”

            “Kakak tahu dari mana kalau saat ini aku bersama mereka?” Dara menyelidik.

            “Gio. Kalian juga satu kantor kan?”

            “Wah, sejak kapan kalian berhubungan di belakangku? Jangan-jangan sejak dia pindah dulu.” Kecurigaan Dara menjadi-jadi. Dibalik itu, ia kecewa merasa tertinggal berita yang banyak sekali.

            “Tidak juga.  Mungkin sekitar dua tahun terakhir. Kami bertemu di social media lalu bertukar nomor handphone.” Jelas Anton. “Gio kan sudah dekat sekali denganmu, hanya berjarak beberapa langkah. Kenapa masih menanyaiku juga? Oh iya, dekat di mata jauh di hati ya?” Anton kembali meledek adik kelasnya itu.

            “Tak tahulah. Kakak mirip sekali seperti temanku.” Dara merengek—marah. “Jadi bagaimana Gio dan Firman itu?”

            “Kakak! Ingat kami setahun lebih tua darimu.” Anton memperingatkan Dara. Dara hanya berdehem. “Dulu, saat kami kelas 1, mereka cukup dekat. Tapi saat kelas 2, aku juga kurang mengerti, hubungan mereka seperti berubah.”

            Beberapa detik keduanya diam. Seperti biasa, Dara bingung harus bertanya apa lagi.

            “Dara, nanti datang ya ke acara ulang tahun anakku.” Anton memecah keheningan.

            “Tidak lucu, Kak.” Dara menjawab sinis.

            “Aku serius Dara. Coba lihat w******p-mu. Aku sudah kirim undangannya.”

            “Hah! Kapan Kakak menikah? Kenapa aku tidak tahu? ” Seloroh Dara masih terkejut dengan berita Anton.

            “Saat kau dua tahun tidak pulang, Dara. Cuma orangtuamu yang hadir di pernikahanku. Kau memang jahat tidak ada menanyakan kabarku. Gio saja yang kau perdulikan.” Anton menceramahi Dara.

            “Wah, jadi Kakak sudah jadi suami orang. Harusnya aku tidak boleh menelepon selarut ini.” Dara berubah cemas. “Tapi, bagaimana caranya aku datang? Kita jauh, Kak!”

            “Kita sudah satu kota, Nona.”

            “Oh... jadi Kakak pindah kesini. Oke. Anak Kakak laki-laki atau perempuan? Ini ulang tahun yang keberapa?”

            “Tinggal kau baca di undangannya.”

            “Foto. Kalau begitu kirimkan fotonya.”  Dara yang tadi lemas kini sudah berubah menjadi ceria. Kabar Anton benar-benar merubah suasana hatinya. Ia merasa telah memiliki keponakan.

***

            Sepulang kerja, Dara sudah hampir keluar dari gedung kantor.

            “Dara!” Seseorang memanggilnya dari belakang. Dara yang dipanggil menoleh. Matanya membesar.

            “Apa aku tidak salah lihat.” Pikirnya. “Ya, Pak” Tersenyum.

            “Mau pulang?” Gio mengatur napas.             

            “Ya, Pak. Bapak juga?” Canggungnya terlihat jelas. Ini pertama kalinya Gio menyapanya secara santai diluar urusan kantor, yang disengaja. Terlebih kali ini dia tidak hanya menyapa singkat lalu lewat. Gio bahkan berhenti, seperti ada yang ingin ia katakan. Seperti dia memang ingin pulang bersama Dara.

            Dara menggeleng-gelengkan kepalanya, menepis pikirannya barusan. Ia terus berjalan di sisi Gio sambil menunggu Gio selesai dengan urusan handphone-nya. Tak berapa lama, akhirnya selesai juga. Gio memasukkan benda persegi panjang seukuran telapak tangan itu ke saku jasnya.

            “Kamu datang kan ke acara ulang tahun anaknya ke Anton?” Kini mata Gio telah terfokus pada Dara.

            Dara mengangguk. “Ya, saya datang.” Dalam hati, Dara berpikir keras, bagaimana orang ini bisa semudah itu membahas Anton. Sedang sebelumnya tak pernah sekalipun mereka membahas yang lalu-lalu itu. Baik SMA, Anton, English Club, atau yang lainnya. Bagaimana bisa? Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Apa dia memang seperti ini?

            “Saya mau cari kado.  Kamu sudah?” Dara menggeleng. “Kita cari sekarang saja. Mau?”

            Entah bagaimana wajah Dara saat ini mengekspresikan kebingungannya. Tawaran Gio ini, apakah sopan kalau ia tolak. Karena tentu saja sauasana akan menjadi canggung jika hanya mereka berdua. Namun sebuah ilham datang, jika ia berani maka kenapa aku harus canggung. Anggap saja seperti saat kami masih SMA.

            “Ya, bisa Pak. Saya tahu tempat yang bagus.” Mulus, kini suara Dara lebih santai.

            Gio tersenyum mendengar tawaran baiknya bersambut. Keduanya tetap melajutkan langkah. Dara diam, namun tentu saja tidak dengan pikirannya. Hingga tanpa  ia sadari, kakinya melangkah ke arah yang berbeda dengan Gio.

            “Dara? Kemana?”

            Suara Gio mengagetkan Dara. Wajahnya bingung. Ternyata ia berjalan menuju arah parkiran mobil.

            “Saya tidak bawa mobil hari ini. Kita naik bis saja ya.” Gio tersenyum.

            “Oh, ya Pak.” Dara kembali menghampiri Gio. Malu sekali, pikirnya. Sejenak Dara lupa ucapan Gio dan Firman tempo hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status