Axton terlihat kagum dengan aktifitas di Markas tersembunyi tersebut. Ruangan besar seluas 150 meter yang berada di bawah kediaman Snow, digunakan sebagai pusat komunikasi, pengamatan dan eksekusi dalam jajaran. Banyak komputer dan pelengkapan komunikasi di sana.
"Jadi ... Guest Host. Apakah ... itu hanya kedok saja?" tanya Axton curiga.
"Kau pintar dan pengamatanmu bagus, Axton. Nah, kau lihat ada banyak monitor di atas meja? Itu adalah tampilan dari kamera pengawas yang dipasang oleh ayahku di tempat-tempat dalam cakupan kekuasaannya. Sayangnya, jarak dari tempat-tempat itu cukup jauh jika harus menghubungkan dengan kabel, bisa berkilo-kilo meter jauhnya. Selama ini, kami menumpang dari satelit milik Theresia, tapi kau tahu, ongkosnya sangat mahal. Ayahku sedang mengusahakan untuk memiliki satelit pribadi, tapi kakekmu menolaknya. Katanya, jika Giamoco tiba-tiba memiliki satelit dari sebuah usaha, hal itu akan membuat Pemerintah curiga termasuk para Dewan,
Keesokan harinya, usai sarapan. Axton dan Bardi sudah siap untuk berkendara. Leighton dan Snow tak bisa menahan anak lelaki mereka yang beranjak dewasa untuk bertualang. "Gin," panggil Leighton dan wanita cantik itu mengangguk paham. "Tugas hari ini akan sangat melelahkan," ucapnya sembari mengambil helm melewati anak buah Snow yang akan mendampinginya mengawasi dua pemuda tersebut. Hawa dingin Islandia tak menyurutkan semangat Axton dan Bardi untuk menjelajah kota-kota di Negara tersebut. Snow meminta anak buahnya untuk mengawasi pergerakan Bardi dan Axton dari kamera pengawas. Sepanjang perjalanan, terlihat dua pemuda itu begitu gembira bisa melaju motor sport di jalanan aspal Islandia. Bardi menunjukkan beberapa tempat yang masuk dalam kawasan kekuasaan ayahnya, Snow. Hingga siang itu, Bardi mengajak Axton singgah ke sebuah Dermaga setelah lelah berkeliling. "Semua nelayan di sini membayar pajak pada ayahku dan nantinya dise
Bardi mengendarai motornya kencang menuju ke rumahnya. Anak buah Snow yang berjaga di luar gerbang dibuat keheranan, karena Bardi kembali seorang diri karena tak bersama Axton dan lainnya. "Anda tak apa, Tuan muda?" tanya salah seorang penjaga. "Hah, apa panggilanku dari radio tak sampai ke Pusat Komando? Katakan jika Axton dan Gin masuk ke markas Big Daddy! Aku harus segera kembali ke sana untuk memastikan jika Axton baik-baik saja," jawabnya dengan nafas tersengal. Tentu saja semua orang yang berjaga di gerbang terluar terkejut. Salah seorang diantara mereka segera menginformasikan hal ini dari panggilan radio. Saat Bardi siap untuk pergi, Snow dan Leighton berlari mendatanginya berwajah panik. Bardi ikut gugup. "Apa yang Axton lakukan di tempat itu? Apa kau tak memperingatkannya?" tanya Snow melotot lebar. "Sudah, Ayah! Axton sepertinya tak sadar saat ia memasuki wilayah itu. Terakhir aku melihatnya, ia malah seperti mengagumi gerba
Axton dan Gin terlihat kebingungan saat mencari tempat untuk bersembunyi. Axton melihat sebuah patung mannequin dan mengajak Gin untuk melakukan apa yang ia perintahkan.BRAKK!!Sekelompok pria terlihat begitu siap dengan pistol dan senapan laras panjang dalam genggaman. Mereka mengarahkan moncong senjata ke segala sudut ruangan untuk mencari keberadaan orang yang menyusup ke Markas Big Daddy.Gin dan Axton menyamar menjadi patung dengan pakaian militer yang sama, seperti para penyerang di kediaman Mister beberapa waktu yang lalu.Axton bergaya begitu meyakinkan. Tak bergerak, memakai kacamata hitam dan senapan laras panjang dalam genggaman. Gin ikut melakukan pose yang sama meski tubuhnya lebih tinggi dari Axton.Seorang pria mendekati patung tipuan itu dengan kening berkerut. Ia mengulurkan tangannya dan memegang punggung tangan Gin dengan gugup.DUAKK!!"Argh!"BRUKK!"Now!"
Axton terkejut saat Gin mendorongnya kasar hingga ia hampir jatuh. Gin menunjukkan wajah bengis dan Axton langsung menjaga sikap.Gin berjalan pincang menuju ke pintu dengan senapan laras panjang dalam genggaman. Axton mengikuti Gin dengan posisi siap untuk melakukan aksi balas jika ada yang menyerangnya.Mata keduanya memindai sekitar saat menyadari jika pasukan Snow mulai menggempur markas milik Big Daddy. Axton melihat Gin kesulitan berjalan dan berusaha menolongnya, tapi Gin selalu menampik bantuannya hingga emosi Axton tersulut."Dengar, Gin. Aku tahu kau kesal padaku. Namun, aku tak mau membawamu pulang dalam keadaan cacat apalagi tewas. Sudah cukup orang-orang terluka di sekitarku, jangan memperpanjang daftar kesedihanku. Kau mengerti?!" pekiknya kesal dan Gin terdiam karena Axton melotot tajam padanya.Gin akhirnya mengalungkan tangannya di pundak Axton. Mereka mengendap dan menjauh dari pertempuran di mana suara tembakan serta ledakan terdengar b
Axton menonton tayangan dari layar dengan gambar hitam putih di hadapannya sembari menikmati biskuit dari sebuah toples yang ia temukan dekat meja pengendali."Oh! Sepertinya mereka mencariku," ucap Axton sembari mengunyah biskuit dengan senyum terkembang.Terlihat dari kamera pengawas tersembunyi saat Bardi dan anak buah Snow mencari keberadaan Axton. Namun, pemuda itu bukannya menunjukkan diri, ia malah menikmati tayangan dari layar-layar cembung di hadapannya dengan gembira saat Bardi dan lainnya terkejut melihat banyak mayat bergelimpangan di koridor."Hahaha, wajahmu lucu sekali, Bardi! Oh, di mana ya tombol untuk merekam? Ini harus diabadikan," ucapnya sibuk mengamati satu persatu tombol dari papan di hadapannya."Axton!" teriak Bardi yang akhirnya menemukan dirinya karena pintu terbuka."Bardi, my friend!" sambut Axton riang dan langsung berdiri mendatangi putera Snow lalu memeluknya.Bardi terlihat bingung, tapi menyambut pe
Gin dan Axton terlihat biasa saja saat berada di ruang makan, tak bersikap romantis layaknya sepasang kekasih. Beberapa orang yang sudah mengetahui aksi mereka di kamar, saling melirik dalam diam meski terlihat wajah keheranan karena sikap dua orang tersebut."Ayah! Apakah sudah diketahui, apa kandungan dari cairan aneh itu?" tanya Axton mendekati Leighton yang masuk ke ruang makan bersama Snow dan Bardi."Ya. Zat dalam cairan itu sangat berbahaya, Axton. Kakekmu memerintahkan untuk memusnahkan semua hal yang berhubungan dengan serum ganas itu," jawab Leighton serius."Ha? Dimusnahkan? Kenapa?" tanya Axton terlihat tidak sependapat."Terlalu beresiko. Tak ada penangkalnya. Bisa menjadi boomerang bagi kita jika sampai serum tersebut malah berbalik menyerang kita," sahut Snow berpihak pada keputusan Giamoco."Oh, ya sudah," jawab Axton lesu.Bardi mendekati Axton yang cemberut. "Axton. Kau diminta kakekmu untuk kembali ke Boston. Saya
Bardi dan Gin bisa melihat hati Axton yang terbakar amarah. Sorot matanya tajam bahkan seperti tak berkedip dan terus menghadap ke depan dengan kedua tangan melipat di depan dada. Gin dan Bardi menjadi canggung karena sikap Axton. "Sudahlah, Axton. Banyak gadis cantik seperti Serena di luar sana. Hem, aku suka caramu mencampakkannya saat di Cafe tadi. Setidaknya, kau yang meninggalkannya, bukan dia yang meninggalkanmu," ucap Gin santai dari bangku kemudinya, menyetir dengan tenang menyusuri jalanan padat Boston. Axton tak menjawab. Bardi hanya bisa diam tak tahu cara memberikan nasehat karena ia sendiri tak memiliki pacar. "Hah! Bukan itu masalahnya! Bardi jadi tak memiliki kekasih karena aku juga kembali lajang. Menyebalkan!" gerutu Axton yang akhirnya membuka mulut. "Oh, wow. Aku salah duga," jawab Gin heran sampai melebarkan mata. "Ah, aku juga tak masalah jika tak memiliki pacar. Aku baik-baik saja, Axton," ucap Bardi kaku. "Tidak
"Hei, hei, focus, Guys!" ucap seorang pria yang memakai bulu berwarna ungu seraya bertepuk tangan untuk memperingatkan dua orang yang asyik bercumbu. Gin dan pria berbulu biru langsung melepaskan ciuman tersipu malu. Axton dan Bardi ikut terkesiap. "Kalian tak ingin tahu, bagaimana proses seleksi?" tanya pria dengan bulu warna kuning. "Seleksi? Maksudnya? Saat kita memilih para wanita itu?" tanya Bardi menebak, tapi orang-orang dewasa di depannya malah terkekeh. "Sebaliknya. Seleksi saat mereka memilih kita," jawab si Kuning menegaskan. "What? Kita yang dipilih? Bagaimana jika dapat yang jelek?" tanya Axton menyahut. "Ya, itulah resikonya. Di sini kita tak bisa menolak pelanggan, kecuali, dia memiliki penyakit yang berbahaya," terang pria berbulu hijau. Axton dan Bardi menelan ludah terlihat pucat. "Jadi, bersiaplah. Giliran kalian mencoba," sambung pria berbulu ungu menatap dua remaja yang malah melotot menatapnya.