Bianca membanting pintu kamarnya dengan keras. Tubuhnya langsung ia hempaskan ke atas ranjangnya yang sempit. Dengan badan menelungkup, Bianca mulai terisak pelan. Merenungi nasibnya yang memang tidak pernah baik sejak dulu.
Tidak ada tempat yang bisa dia jadikan bersandar kalau sedang kalut seperti ini. Dirinya tidak terlalu dekat dengan Sarah dan juga tidak mau menceritakan hal seperti ini pada sahabat dekatnya, Mila. Bianca khawatir Mila akan sangat khawatir padanya nanti.
Selama ini Bianca merasa sudah sangat merepotkan sahabatnya itu. Karenanya Bianca merasa enggan jika ingin meminta tolong.
Getaran yang ia rasakan di saku jaket membuat Bianca merubah posisinya menjadi duduk. Tangannya mengusap kasar air mata yang masih belum berhenti mengalir. Melihat pesan masuk dari nama Ravindra membuat Bianca langsung melempar ponselnya asal tanpa berniat membaca lebih dulu.
"Sialan, gue kesel banget," gerutunya sembari terisak.
Tidak hanya kesal, tetapi
Bianca menggigit jari ketika dirinya sama sekali tidak mendapatkan satu pun pelanggan di Club. Padahal ia sudah berpakaian lebih terbuka dari biasanya. Sengaja agar para lelaki tidak mampu menolak. Namun, kenyataannya sama saja. Meski dirinya sudah mondar-mandir ke seluruh sudut Club pun, Bianca tetap diabaikan. Ia sangat malu. Sekarang dia pasti sudah menjadi bahan olok-olokan para wanita lain. "Bi, ada yang nyari." Bianca menegakkan tubuh, menatap Sarah dengan wajah sedikit senang. "Siapa? Tua apa masih muda?" Sarah yang mengerti maksud Bianca langsung menatap prihatin. Wanita berusia empat puluhan itu menggeleng. "Bukan pelanggan, tapi preman di luar sana." *** "Mana uangnya?" Kali ini tidak hanya empat, tapi hampir sepuluh orang yang berada di sekeliling Bianca. Bohong kalau wanita itu tidak merasa takut. Bianca hanya pura-pura terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan jumlah mereka, meski sebenarnya jantungnya berdetak dengan cepat. "Beri waktu lagi lah kalian ini. La
Karena Bianca tidak kunjung menghubungi dirinya, dengan tidak sabar Ravindra mendatangi kembali rumah wanita itu. Wajah tampannya masih terlihat menawan meski seharian sudah sibuk bekerja. Dengan langkah pasti, Ravindra masuk ke dalam pekarangan rumah Bianca. Tangannya mengetuk pintu dua kali. Kemudian mengulanginya lagi setelah ia tidak mendapatkan jawaban apapun. Ravindra menjilat bibir bawahnya, menurut sekretarisnya Bianca sudah ada di rumah. Jadi, tidak mungkin wanita itu tidak mendengar suara ketukan pintunya, kan? Ravindra melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Sudah pukul sembilan malam, satu jam lagi rombongan Panji pastinya akan datang menagih. Apakah Bianca bersembunyi? "Bianca?" Ravindra kembali mengetuk pintu. "Bianca? Ini aku, Ravindra." Masih tidak ada jawaban. Namun, kali ini ketika Ravindra akan mengetuk, pintu sudah terbuka. Mata tajam Ravindra langsung bertabrakan dengan netra putus asa Bianca. "Ravindra?" Bianca melangkah mundur, membiarkan Ravindra m
Bianca menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Tangannya meraih bantal untuk menutupi wajah. Rasanya ia ingin menjerit sekarang juga. Bianca lega karena dia sudah tidak memiliki hutang, namun juga berdebar karena dia sekarang adalah milik Ravindra. Ia tidak pernah menyangka jika akan melunasi hutang hanya dengan menjadi simpanan Ravindra. Kalau sudah seperti ini, rasanya Bianca ingin meluapkan kemarahan pada orang tuanya. Bisa-bisanya mereka meninggalkan hutang pada anak perempuan mereka. Bianca menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ravindra sudah pulang setengah jam yang lalu. Tapi, kenapa bau parfum lelaki itu masih tercium? "Gue mau gila kayaknya," geram Bianca kesal. Wanita itu melepas pakaian yang melekat pada tubuhnya, kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Berharap air dingin bisa mendinginkan kepalanya juga. *** "What? Kenapa lo nggak minta tolong sama gue, sih?" Mila menepuk lengan Bianca cukup keras. Merasa kesal karena Bianca tidak meminta tolong padanya terkait hutang.
Mila langsung meringis ketika melihat lirikan sinis dari Ravindra. Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah. "Bercanda, gue udah ada suami." Bianca melengos, kemudian menatap tajam pada Ravindra. "Lo jangan keseringan ke sini. Tetangga gue banyak bacot soalnya, entar yang ada gue digosipin yang aneh-aneh." Lelaki dengan setelan rapi itu memilih mendudukkan dirinya di sofa. Menatap lembut pada Bianca yang masih berdiri. Meski Ravindra tahu kalau Bianca belum mandi, tapi dia masih berpikir wanita itu cantik. "Kamu bisa tidur semalam?" Mengabaikan pertanyaan Bianca, Ravindra justru menanyakan hal yang lain. Membuat Mila mengerutkan dahi tidak suka. Lupakan wajah tampan Ravindra, Mila sudah tahu kalau lelaki muda ini begitu selfish dan keras kepala. Mila bisa melihat dari attitude-nya yang sama sekali nggak ada ramah-ramahnya. "Jelas dia nggak bisa tidur, lah. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya," sinis Mila. Wanita cantik itu kemudian berdiri di sebelah Bianca. "Awas k
Dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana, Ravindra berjalan santai keluar dari lift. Kedua sekretaris wanita yang bekerja di depan ruangannya langsung berdiri memberikan hormat. Ravindra sedikit mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan tanpa sepatah kata. Ilham yang sejak tadi mengikuti atasannya itu juga ikut masuk. Berdiri dengan kedua tangan menyatu di depan tubuh. Sementara Ravindra langsung mengitari meja dan duduk di kursinya. Ia menyatukan kedua tangan dengan siku di atas armrest. Direktur muda itu tampak berpikir. "Ada yang perlu saya bantu?" tanya Ilham dengan tidak sabar. Pekerjaan yang harus dia lakukan masih banyak, tapi Ravindra malah meminta dia mengikutinya sampai ruangan. "Iya, dong. Kalau nggak ngapain juga saya suruh kamu masuk ke sini," balas Ravindra sebelum meneguk air putih dari atas mejanya. Ilham adalah tangan kanan Ravindra dari pada disebut sebagai sekretaris. Lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu sudah bekerja dengannya sejak dia
Rasa lega langsung memenuhi rongga dada Bianca ketika ada suara yang mengintrupsi mereka. Perhatian Melodi jadi teralihkan. Wanita manis dengan rambut diikat pita yang cantik itu mendongak. Kemudian berdiri, menyambut pelukan dari wanita yang baru menyapa. "Diana? How are you?" tanya Melodi dengan suara senangnya. Wanita yang dipanggil Diana itu lantas mendudukkan diri di sebelah Melodi. "I'm good, always. Gimana kamu sama Ravindra?" Bianca menjilat bibir bawah, kembali merasa gugup luar biasa ketika mendengar nama Ravindra. Diana adalah teman Melodi, wajar kalau mereka akan membahas Ravindra. "Baik, kami dalam hubungan yang sangat baik." Melodi lalu menoleh pada Bianca, menunjuk wanita itu dengan tangan yang terentang. "Ini Kak Bianca, temannya Kak Ravi." Diana menubrukkan pandangannya pada Bianca. "Diana," katanya sembari mengulurkan tangan. Bianca menyambut uluran tangan itu dengan hangat. "Bianca." "Maaf kalau aku ganggu kalian," ucap Diana dengan suara menyesal. "Kalau git
Hingar bingar yang ada di dalam Club memang selalu berhasil membuat Bianca melupakan dunia luar sejenak. Meski tempat itu berisik dan penuh manusia berengsek, tapi Bianca menemukan rasa aman di dalam ketika berada di dalamnya. Dia memang manusia yang masa bodoh dengan etika atau bahkan dosa. Karena itu, Bianca tetap berani datang meski Ravindra sudah melarang. Sarah yang melihat kehadiran Bianca langsung menghampiri. Wanita berusia hampir empat puluh itu masih tetap cantik dengan tubuhnya yang sexy. "Kirain gue nggak bakalan liat lo lagi, Bi." Bianca tersenyum sinis. Tangan kanannya membawa rambutnya yang terurai tersampir sepenuhnya ke pundak kanan. Memperlihatkan punggung wanita itu yang backless. Kesan sexy dan liar memang sangat melekat pada image Bianca. "Gue belum mati jadi lo masih bisa liat gue," balas Bianca santai. Si cantik itu lantas melewati Sarah, menghampiri bartender yang sepertinya baru. Karena Bianca baru pertama kali melihatnya. "Lo nggak keliatan kemarin, dan
Adiwijaya adalah salah satu keluarga konglomerat yang terpandang. Bisnis hotel yang sudah memiliki nama di kalangan masyarakat membuat nama mereka juga sering kali menjadi sorotan. Apapun yang dilakukan oleh keluarga Adiwijaya tidak pernah lepas dari perhatian publik. Termasuk pertunangan antara Ravindra dan Melodi yang berasal dari keluarga Rahadi. Salah satu keluarga yang memiliki pengaruh dalam dunia penerbangan. Karena itu, meski Ravindra tidak suka dengan Melodi, dia masih harus menjaga nama baik mereka. Ravindra tidak bisa sembarangan berjalan dengan wanita lain dan mengabaikan sang tunangan. Orang tuanya bisa-bisa menguburnya hidup-hidup kalau sampai ada berita tak mengenakkan yang bisa mempengaruhi citra keluarga mereka. Melodi memperhatikan Ravindra yang bolak-balik melihat ponsel, terlihat sangat sibuk. Padahal sekarang sedang makan malam kelurga, dan lelaki cerdas itu tidak pernah memegang ponsel biasanya. "Ada masalah, Kak?" bisik Melodi. Ia juga melirik pada para oran