"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
Bianca meraih ponsel dari atas nakas, melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Matanya melirik pria yang masih tidur di sebelahnya. Lalu tanpa membuang waktu lebih lama dengan tubuh telanjang Bianca beranjak.Masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian membungkus dirinya kembali dengan pakaian ketat yang semalam ia kenakan. Tangannya meraih cek yang terletak di sebelah ponsel lalu memasukkan keduanya ke dalam tas."Udah mau pergi?"Suara serak dari pria yang masih terpejam itu membuat Bianca menoleh. Menjawab hanya dengan gumaman."Kapan-kapan lagi, ya?""Siapin aja uangnya," jawab Bianca sebelum membuka pintu hotel.
Bianca tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya. Entah kenapa jadi merasa sebal diingatkan dengan perkataannya sendiri. Padahal dia hanya bercanda waktu itu. Lagi pula pria gila mana yang akan memberikan harga setinggi itu untuk wanita yang sudah tidak perawan sepertinya. But, once again. Prioritas utama Bianca adalah uang, jadi, mari diiyakan saja."Boleh kalau situ mampu," balasnya cuek.Bianca membalikkan tubuh, tidak lagi menatap bartender yang sedang menyiapkan pesanan. Dara cantik berusia dua puluh delapan tahun itu mengedarkan pandangan, mencari mangsa tentunya. Tapi di jam segini tidak banyak orang yang datang. Masih butuh beberapa jam lagi bagi Bianca untuk bisa meraih kantong pria kaya.Ravindra mengikuti Bianca menatap dance floor.
Bianca menoleh ketika namanya dipanggil dengan suara keras. Ingin tahu siapa bajingan yang sedang mengganggu dirinya bekerja. Alisnya langsung naik sebelah ketika menemukan Ravindra sedang menatap dirinya tajam.Mau apa lagi pria ini?"Antri dulu kalau mau juga," kata wanita itu ketus.Pria yang seharusnya dilayani oleh Bianca sepertinya juga merasa kesal karena kegiatan panasnya diganggu. Padahal dirinya sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kesenangan terbaik yang bisa ditawarkan club ini.Meski begitu, sepertinya si pria masih enggan untuk bangkit dari posisi terlentangnya di atas kasur."Berani banget, sih, elo ganggu?"Ravindra mengernyit, mengenal dengan baik suara siapa orang yang sedang kesal padanya itu. Tanpa ragu Ravindra berjalan mendekat."Mau apa?" ketus Bianca. Tangannya berusaha mendorong tubuh keras Ravindra, tapi, gagal."Bajingan gila lu," ujar Ravindra marah. Ia menendang kaki si pria yang sedang
Ravindra sialan. Bisa-bisanya pria itu malah memberikan sesuatu yang tidak mungkin Bianca tolak seperti ini. Membayarkan hutang dan memberikan sebuah black card? Shit, Bianca jelas tidak akan menolak kalau ada lelaki yang suka rela malakukan hal seperti itu padanya. Walau tidak bisa menolak, Bianca juga tidak bisa iya-iya aja. Lelaki didepannya ini menipu dirinya tadi, memberikan harapan palsu padanya tentang uang sepuluh miliar. Bodoh namanya kalau Bianca sekarang terima-terima saja dengan penawaran Ravindra. "Gue buktiin dulu ini beneran black card apa engga," kata Bianca dengan mata memicing. Ravindra terkekeh. Walau sebenarnya agak tidak terima juga dengan kalimat Bianca. "Itu black card asli," balas Ravindra sabar. "Ya dibuktiin dulu." Karena Bianca sangat keras kepala dan Ravindra juga tidak dalam kondisi bisa memaksa, maka, ia hanya bisa setuju saat wanita itu bilang akan membawa black card miliknya lebih dulu. Ravindra