"Wah, sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Dan lagi ... dengan siapa dia?""M-mungkin kekasihnya." Atas pertanyaan Anindita, Kinara menjawabnya dengan lirih kemudian menundukkan kepala, menatap kosong sisa makan siangnya."Kau ... baik-baik saja?" Anindita memajukan wajah, meneliti raut wajah sahabat baiknya dengan khawatir. Tentu ia tahu bagaimana cintanya Kinara pada pria di ujung sana. Dan melihat pria yang dicintai membersamai wanita lain tentulah terasa sangat menyakitkan, Anindita tahu itu.Namun, kelopak mata Kinara memejam seiring air matanya jatuh berlinangan. Wanita itu menghapusnya kasar, lantas memaksakan sebuah senyuman—yang justru terlihat menyedihkan. "I'm okay ... aku turut bahagia jika ia telah mendapatkan kebahagiaannya."Bullshit!Anindita tentu tahu jika Kinara membohonginya. Air mata yang mengaliri kedua pipi wanita itu seakan menjelaskan apa yang tak terucap oleh kedua belah bibir sahabat baiknya."Kau masih mencintainya, mana mungkin kau merasa bahagia melihatn
Syal rajut merah tebal tampak melingkari lehernya yang jenjang, sedangkan rambut gelap nan lurus alami itu ia biarkan tergerai di punggungnya. Anting mutiara yang melekat pada kedua daun telinganya mempermanis penampilan Kinara, meskipun hal tersebut tak menutupi fakta bahwa wajah jelita itu tampak sedikit pucat. Suhu tubuh Kinara naik beberapa derajat dari suhu normal sejak pagi tadi; ia demam setelah menangis semalam suntuk, tanpa mampu sedikit pun memejamkan mata. Meskipun ia sudah mencurahkan segala yang ia rasa pada Dirga, nyatanya hal tersebut tak membuat hatinya merasa lebih baik. Entahlah ... kenangan masa lalu indahnya bersama Daniel Christiadjie yang kembali terbayang dalam angan justru membuat dadanya sesak. Jantungnya seakan diremas tangan tak kasat mata kala ia menyadari bahwa kisah mereka telah berakhir, bahkan sirna. Hanya Axel, satu-satunya entitas yang pria itu tinggalkan untuknya. Hanya pria kecilnya itulah yang menjadi bukti bahwa mereka pernah saling mencintai.
Rahang tegas itu mengetat, wajah rupawannya dipenuhi kekesalan. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan tanpa mau sedikit pun kehilangan jejak mobil sedan di depan. Moodnya yang sudah buruk, semakin memburuk saja. Daniel lagi-lagi mendapati Dirga yang tengah berkunjung ke rumah Kinara—tentu tanpa sepengetahuan mereka, seperti semalam. Ia yang pada awalnya ingin menemui sang putra sekaligus memberikan mainan yang telah ia janjikan, dengan terpaksa harus menunda niatannya. Selain karena enggan bertegur sapa dengan pria itu, sejujurnya ... ia merasa kalah. Kinara tampak lebih menerima kehadiran mantan suaminya itu ketimbang dirinya. Dan hal tersebut telah cukup melukai harga dirinya sebagai seorang pria, pula sebagai ayah kandung dari Axel, putranya.Tatapan matanya tetap lurus ke depan. Setelah bermenit-menit menempuh perjalanan, pada akhirnya ia telah sampai di depan butik milik Kinara. Daniel menepikan mobilnya, menjaga jarak aman sembari tetap memasang mata, melihat interaks
Tubuh Kinara merosot, jatuh terduduk di atas lantai keramik dingin itu. Kedua kakinya tiba-tiba terasa lemas kala menyaksikan mobil hitam metalik di luar sana perlahan melaju meninggalkan halaman butik miliknya.Bahu rapuh itu tampak berguncang, sedangkan kedua telapak tangan tampak menutupi wajahnya yang semakin pasi. Ia mencoba semampunya meredam isak tangis yang kian menggema seiring rasa perih yang tercipta dalam dada. Mendapati kenyataan bahwa kini Daniel telah benar-benar memiliki kekasih baru nyatanya terasa begitu menyesakkan, mengoyak hati dan juga perasaannya. Ia sadar betul jika hal tersebut sebenarnya memanglah keinginannya, namun nyatanya tak mampu ia tampik rasa pedih yang kian menghunjam.Hukum karma memang benar adanya, kini ia memahami bagaimana sakitnya hati Daniel dulu ketika ia menikahi Dirga. Dan ia akan menerima segala rasa sakitnya sebagai penebus dosa atas apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Semua hal yang terjadi hari ini merupakan konsekuensi yang berha
"Setelah semua ini, apakah ... kau membenci ibunya?" suara lembut Karin teralun ragu. Namun, ia segera meralat pertanyaannya sendiri setelahnya. Ia merasa tak enak hati. "Maaf, jika kau merasa tak nyaman dengan pertanyaanku, kau boleh tidak menjawabnya." Daniel tak langsung menjawab, pria itu tampak menegakkan posisi duduknya terlebih dahulu lantas menarik napas panjang. Tak lama, sorot mata biru itu berubah hampa kala bersibobrok dengan kedua mata wanita di sisinya."Rasa benci itu jelas ada. Sangat banyak, bertumpuk di dalam sini," ujar pria itu, salah satu tangan besarnya meremas kemeja bagian dada kiri. "Tapi, Karin ... sebenci apa pun aku padanya, entah bagaimana aku masih mampu merasakan bahwa rasa cinta itu masih ada, sekuat apa pun aku berusaha menampiknya." Dan kedua mata itu terpejam dengan pedih setelahnya. Entahlah, hatinya terkadang memang tidak bisa sejalan dengan logika."...."Sedangkan Karin tak menjawab atau pun menanggapi ucapan pria pirang di sampingnya. Selain ka
Wajah rupawan nan menggemaskan Axel terlihat begitu damai ketika terlelap, Kinara tak sedikit pun mampu mengalihkan atensinya barang sejenak. Hatinya diliputi keresahan sekarang hingga pada akhirnya ia memilih untuk tidur di kamar Axel, ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan putra semata wayangnya setelah seharian terpisah. Semalam ketika Daniel mengantar anaknya pulang, ia sengaja menghindar, membiarkan sang ayah yang menemui pria pirang itu sebelum kembali berangkat untuk perjalanan bisnis ke luar negeri. Sedangkan dirinya menunggu dengan tidak sabar di dalam kamar bernuansa biru itu. Ia merasa tak punya nyali untuk bertemu mengingat pertemuan terakhir mereka di butik berakhir kurang menyenangkan.Tak seperti biasanya wanita itu terlihat begitu memperhatikan sang putra sedetail itu. Entahlah, setelah Axel pergi bersama Daniel, rasa takut akan kehilangan pria kecilnya semakin menyeruak. Ia seakan tengah mematri setiap inchi raut sang putra, raut wajah yang nyaris serupa den
"Kau benar-benar sudah baik-baik saja, Sima?" sembari mencatat stok kain yang baru datang, Kinara bertanya. Atensi kedua netra indah itu lantas beralih sepenuhnya pada wajah jelita Sima, salah satu sahabat baiknya selain Anindita. Wanita yang tengah hamil muda itu tampak semakin pucat sore ini. "Jangan dipaksakan jika masih belum kuat."Kepala dengan rambut menjuntai panjang itu menoleh, sesaat menghentikan kegiatannya menata gaun-gaun terbaru pada display di hadapannya. "Aku baik, Nara ... aku masih butuh uang, makanya aku harus berangkat bekerja." Ia lantas kembali melanjutkan pekerjaannya."Ah, apakah suamimu yang pelukis itu sudah gulung tikar?" Anindita—dengan sebuah gaun berwarna peach di kedua tangannya—menimpali sembari mengangkat satu alisnya kala bersitatap dengan Sima, namun tiada menghentikan langkah kakinya menuju meja kasir. Sedangkan di belakang tubuh ramping itu terlihat dua sosok yang mengekorinya. Ah, wanita itu sedang melayani pelanggan rupanya.Tentu Sima menoleh c
Kedua netra indah itu tampak sayu, memandang tak fokus pada botol-botol soju di atas meja; tepat di hadapannya. Tangan kanannya tampak memutar-mutar gelas berkaki yang separuh terisi dengan gerakan bosan. Sedangkan dirinya tampak duduk bersimpuh di kaki sofa, pada permadani merah yang tergelar di bawah tubuhnya.Ingatannya mundur pada beberapa jam ke belakang, mengingat kejadian setelah mengantar Anindita pulang. Sungguh, pemandangan ketika ia tanpa sengaja melihat Daniel dan anaknya tengah bercengkerama dengan Karin selalu berputar dalam angan. Di mata Kinara, mereka terlihat begitu bahagia. Tentu melihat hal tersebut sukses kembali menggores hatinya, menambah jajaran luka. Ah, harinya semakin kelam saja. Lebih muram lagi karena sang ayah sedang tiada di rumah, sehingga ia tiada memiliki tempat untuk berkeluh kesah.Setelah kejadian tersebut, pada akhirnya ia memutuskan untuk membeli beberapa botol soju untuk menemani malamnya. Ia berpikir, ia butuh cairan beralkohol tersebut untuk