"Gallen tuh, Gallen! Samperin, Bro!" Boy menepuk pundak Sahrul ketika matanya menangkap pentolan grup mereka di pinggir jalan.
"Acie-Cie! Pacaran. Pantes diajak mab.. Weh, Bangsul. Napa ol," belum sempat keduanya merampungkan godaan, motor yang ditumpangi keduanya menabrak tempat cuci piring tukang sate. Alhasil mereka pun terjatuh dengan kondisi memprihatinkan, membuat Gallen tertawa terbahak-bahak.
"Gimana sih lo, Rul! Jatoh kita!" Hardik Boy sembari mencoba berdiri.
Sahrul yang dimarahi pun abai. Ia menatap sendu motor hasil curiannya. Mamanya pasti mengamuk nanti Sudahlah ia membawa lari motor pembantu mereka, motor itu ia buat menabrak lagi.
"Lah lo ngapain nangis, Bangsat?!"
"Tanggung jawab lo, Boy! Lo yang nyuruh pake ini motor. Udah tau gue punyanya Sim A!"
Boy menepuk keningnya. Ia pikir patah tulang, ternyata perkara motor. "Cemen lo! Ntar gue polesin biar kinclong lagi!"
"Nyokap gue?!"
"Iye ntar gue bilang kalau gue yang bawa. Ribet amat lo anak mama!"
"Hahahaha!! Lo berdua malem-malem ngehibur kegabutan gue." Gallen menghampiri keduanya dengan tawa yang tidak surut sedikit pun. Sahabat-Sahabatnya sangatlah antik. Satu hari tidak berulah sepertinya akan cacingan. Pas-lah kalau mereka awet berteman sampai sekarang.
"Ganti woy piring Bapak Sate. Diarak warga ntar lo." Ujar Gallen, masih dengan tawa yang mengudara.
"Emang anjing si Sahrul! Bawa motor aja kagak bener. Gimana bawa kapal cinta. Bukannya bermuara ke pernikahan, malah ke rumah pemakaman yang ada!"
Gallen pun terbahak untuk yang kesekian kali. Boy dan sok puitisnya— sebuah hiburan yang tak boleh dilewatkan.
"Lo berdua ngapain naik motor, Nyet? Mobil pada disita?"
"Nyari angin kita. Mau ke rumah lo buat main PS. Eh, ternyata lo-nya pacaran. Nggak asik banget sumpah!"
"Yeee, jomblo!" dengan entengnya Gallen menoyor kepala Boy, "nggak usah ganggu acara gue! Gue orang sibuk. Kalau mau maen, bikin appointment dulu kek."
"Dikira Pak Jokowi kali," balas Boy nyinyir. "Bantuin gue.. Anjrot lah! Masih aja liatin motor kayak orang susah. Sahrul!!" Geram Boy.
"Balik sono balik. Urusan piring biar gue yang atasin. Hahahaha!!"
"Thanks! Catet utang aja, kalau ketemu lunas!"
"Bangke!" Maki Gallen sembari menendang angin kosong. Ia lantas kembali pada line antriannya bersama Nava. "Pak itu sekalian piring sama baknya yang rusak. Abis mabok mereka, Pak!"
"Beneran?!" Pekik Navara, kaget.
"Canda, Ay. Si Sahrul nggak bisa bawa motor," lagi-lagi ia terkikik. Tampang Sahrul tadi menggelitik perutnya.
"Makan di rumah lo aja ya," ucap Gallen setelah mereka berada di dalam mobil.
Berjam-jam Gallen habiskan di depan ruang TV Navara. Ia sangat suka menghabiskan waktu bersama gadis itu. Tak jarang Gallen berdoa supaya Bunda Navara kerap melakukan perjalanan bisnis dengan atasannya. Dengan begitu ia jadi memiliki waktu tak terbatas.
"Jam sebelas, balik gih! Dimarahin Bunda loh ntar."
"Ish! Ntaran lagi kek, Ay. Masih seru film-nya." Protes Gallen, “kan udah gue sogok pake kue putu tadi.”
"Gallen besok sekolah!"
Navara melipat kedua tangannya ketika suara sang Bunda menyeruak. Usiran sudah berkumandang, itu tandanya Gallen harus segera angkat kaki.
"Iya Bunda! Cuci piring dulu."
"Nggak usah, Sayang. Biar Mbak aja besok!" Serangan balasan mematahkan gairah Gallen. Pundaknya langsung luruh seketika. Ada saja gangguan kalau mau mojok.
"Ay," Gallen menarik Navara agar keduanya menempel, "jangan dikunci. Lima belas menit lagi gue ke kamar," bisiknya pelan. Tak lupa Gallen mengecup kening tunangannya sebagai salam perpisahan sementara.
“Pake linger..”
“Bunda Gallenya nggak balik-balik nih!” Teriak Navara memotong ucapan ngawur Gallen.
“Awas ya lo! Gue perawanin ntar lo!” Kata Gallen serupa bisikan. Ia tak berani kencang-kencang, takut kalau restu yang sudah diberikan ditarik kembali edarannya.
Gallen pun menepati ucapannya. Sesuai dengan waktu yang dirinya perkirakan, pemuda itu sudah melompat menyeberangi pembatas balkon yang memisahkan kamar keduanya. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan menginap lalu pulang pada keesokan harinya.
Ceklek!
“Kok nggak bisa didorong?!” Gumamnya, bermonolog. Sekali lagi Gallen memutar knop pintu, namun ketika ia mendorongnya, terdapat sebuah ganjalan yang membuat pintu tak dapat terbuka.
Tok! Tok! Tok!
“Ay, bukain!!” Pinta Gallen, berusaha menjaga pita suaranya. Ia yakin sekali jika Navara belum berkelana ke alam mimpi. Bisanya gadis itu masih membaca buku. Apalagi katanya besok akan ada kuis.
“Kuis?”
Kening Gallen menyerngit. Mereka kan satu kelas, kok dirinya tidak tahu kalau akan diadakan kuis?!
“Wah gue ditipu, Anjing!”
Brak! Brak! Brak!!
“Ayang buka nggak? Gue dobrak nih pintu biar pecah sekalian kacanya!!”
“NAVARA!!!”
Keributan yang Gallen timbulkan membuat orang-orang keluar, termasuk kedua orang tuanya.
“YA TUHAN, GALLEN!! NGAPAIN KAMU TENGAH MALEM DISANA?! TURUN!!”
Mata Gallen membeliak. Di bawah sana, ia tak hanya melihat mama, papa, dan calon ibu mertuanya, melainkan gadis yang dicari-carinya. Navara berdiri tepat disamping bundanya itu.
“NGINEP MAH! GALLEN NGGAK BISA TIDUR KALAU NGGAK MELUK NAVARA!!”
“BELUM SAH, GALLEN!!!” Jerit Rebeca, emosi. Anaknya ini memang paling-paling kalau disuruh membuat masalah. Lihatlah sekarang. Seluruh warga komplek mengerubungi rumah mereka.
“Ay! Naek! Ayo bobok!!”
“Pah, anak kamu!!” Rebeca menyenggol lengan suaminya. Harus ada orang yang menyadarkan kebodohan Gallen malam ini sebelum anak itu dinikahkan secara paksa.
“Balik ke kamar kamu, Gallen! Jangan bikin huru-hara! Pak RT sama Pak RW sampe melek ini gara-gara kamu!”
“Yeee bodo amat! Orang Gallen nggak ada urusan sama mereka. Pah suruh mantunya naek, Pah. Gallen udah ngantuk ini!” Jawab Gallen, tak sadar situasi.
“Ay, ayo ih. Nggak usah peduliin mereka. Biasanya aja gimana sih!”
Semua orang terpelongo. Mereka menatap Navara, meminta penjelasan.
“Gallennya maksa. Katanya nggak berani tidur sendiri,” beo Navara membela diri. Sudah dua kali dirinya mendapatkan tatapan aneh karena Gallen.
“Tuh kan, Bu Rebeca. Saya mah nggak mengada-ada. Saya emang sering ngeliat Mas Gallen masuk ke rumah Bu Shintya tengah malem. Mereka selama ini udah bobok bersama, Bu, Pak,” ujar Pak RT setempat.
“Dinikahkan aja sekarang, Pak. Takutnya Mbak Navaranya udah diapa-apain sama Mas Gallen. Kan kasihan. Nanti malah Mas Gallen lupa tanggung jawab!” Celetuk salah satu warga.
“Bener itu!”
“Saya setuju. Mbak Navara anak baik-baik. Kasihan masa depannya dirusak Mas Gallen tiap malem. Mukanya aja keliatan tertekan banget ini.”
“Nah, iya. Mumpung saudara saya yang penghulu nginep di rumah. Bisa ini dimintain tolong, Pak. Besok ada nikahin orang di komplek sebelah.”
“WOI!! PADA NGERUMPI APAAN DAH?! UDAH MALEM! WAKTUNYA BOCAN! SURUH NAVARANYA BALIK KAMAR DONG!” Teriak Gallen dari atas tak mengetahui kekisruhan di bawah.
Rebeca menghela napasnya dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Bapak-Bapak manjat dulu. Seret itu anak turun terus arak keliling komplek pake bokser aja. Saya dendam!! Setelah itu baru kawinin mereka!!” Seru Rebeca sembari menunjuk anaknya yang memasang raut tak berdosanya.
.
.
Keinginan Rebeca diaminkan oleh bapak-bapak komplek. Mereka semua mengejar Gallen, membuat anak itu menapaki aspal komplek. Kaosnya dilucuti secara paska sebelum tangan dan kakinya diikat.
“Apaan ini? Papa tolongin Gallen! Gallen mau dicoleeeek!! Papaaaa!!!” Jerit Gallen, keringat dingin. Ia semakin gemetaran saat tubuhnya dinaikan ke atas motor bak sampah RT mereka.
“ANJING! Mau dibawa kemana gueeeee!!!”
“NAVAAA!! BANTUIN!!”
Navara terduduk lemah. Ia kehilangan daya. Impiannya menikah dengan proses sakral bertaburkan doa-doa lenyap sudah. Semua ini gara-gara Gallen yang otak-nya kurang satu ons.
“Ya Tuhan Nava. Hidup kamu kok ngenes banget, Sayang.” Rintih Bunda Navara, memandang melas Gallen di atas bak sampah.
“ANJIR! PELAN-PELAN!! KEPALA GUE KEPENTOK!!”
“PAK RT BABI!! AWAS LO! GUE BAKAR MOTOR BUTUT LO BESOK!!”
“MAMAAA!!! HELP MEEE!!”
Komplek yang seharusnya tenang itu, gaduh dengan warga yang menertawakan Gallen. Ungkapan pepatah mengenai terlalu banyak tertawa akan menghadirkan air mata terbukti benar adanya di hidup Gallen.
Sekarang Gallen menangis karena tak ada satu pun orang yang menolongnya.
Gallen misuh-misuh. Pemuda itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang, menyalip beberapa kendaraan lagi yang ia rasa menghalangi jalannya ketika membelah jalan tol.Mamanya tak membuat soal tidak mengizinkannya menginjak lantai rumah. Ia sudah mencoba sampai lebih dulu di kediamannya, tapi ternyata wanita itu menelepon satpam. Melarangnya untuk masuk. Alhasil ia harus rela diusir dari rumahnya sendiri.Parah, kan?!“Bisa-Bisanya gue nggak boleh ketemu Navara!” Dumel Gallen, memukul stir mobilnya. Ck! Seumur-umur hidup Gallen, ia berpisah dengan Navara hanya ketika pulang dari rumah ibu mertuanya. Itu pun sesaat saja— karena setelahnya, Gallen akan mencoba terus mencari segala cara agar mereka berduaan. Makanya mereka dinikahkan oleh tetangga.Sampai di depan gerbang tinggi kediaman sang opa, Gallen menekan klaksonnya. Ia terlihat tidak sabaran. Menekannya panjang membuat penjaga lari tergopoh-gopoh.“Lama banget sih lo,” teriak Gallen sambil melongokkan kepalanya. Ia sedang ke
Mulut laknat Gallen menimbulkan petaka. Di Hari pertama keduanya kembali bersekolah, teman satu angkatan menghujat kebocoran informasi yang mereka dapatkan. Pihak sekolah pun bereaksi keras terhadap aduan yang mereka terima. Setelah jam ujian selesai, Navara serta Gallen dipanggil menghadap, guna memberikan klarifikasi terkait pergaulan bebas keduanya.“Nav, tenang. Kamu mending fokus ke ujian kita.”“Tenang kamu bilang, Len?”Sungguh Navara tak habis pikir. Bagaimana dirinya bisa fokus, jika kedatangannya untuk melaksanakan ujian pertama, justru disambut hujatan teman-teman seangkatan mereka. Semua karena Gallen. Pria itu tak ada habisnya membuat ulah.“Lagian kamu ngapain pake cerita ke Boy sama Sahrul sih, Len?! Apa pentingnya ngasih tau mereka kalau kita udah ke tahap itu?!” bentak Navara, tak lagi dapat mengendalikan kontrol dirinya.Ia kecewa— sangat kecewa. Gallen seperti anak kecil. Pemuda itu tak pernah bisa dewasa dalam menyikapi apa pun. Seharusnya dia tahu jika tidak semua
Bulu halus disekujur tubuh Navara bangkit berdiri. Gadis muda itu terus memejamkan mata, dengan gidikkan yang tak pernah berhenti.Gallen memang sudah tidak waras. Bisa-Bisanya pemuda itu mengajaknya menonton film dewasa. Seumur hidupnya, baru kali ini Navara melihat bagaimana proses bercinta seseorang. Benar-Benar menjijikan. Terlebih ketika dua alat reproduksi manusia dipampangkan tanpa sensor.Astaga! Navara ingin menangis rasanya.“Ay, buka dong matanya. Kita belajar bareng.”Bisikan ditelinga kanannya membuat Navara meremang. Suara berat Gallen semakin membuatnya merinding disko. Ia tahu kalau Gallen sudah berhasrat setelah dua film porno mereka saksikan. Namun mentalnya yang semula siap, justru menguap begitu saja. Ia jijik dengan proses tersebut.“Kamu harus ikutan belajar, Ay. Biar kita pro, terus nggak salah-salah.” Menggigit bibir bawahnya, Navara merasakan sensasi berbeda ketika tangan Gallen meremas salah satu bukit kembarnya. Darah di dalam tubuhnya seakan mengalir begit
“Selamat datang di Indongapert, Mas!” Pekik petugas minimarket ketika pelanggan yang baru saja memasuki kiosnya, menyambar barang belanjaan orang lain. Pelanggan tersebut adalah Gallen. Ia berniat membeli seluruh persediaan alat pengaman dan tak berniat membaginya kepada siapa pun.“Punya gue ini!” Seru Gallen mengamankan salah satu brand pengaman, yang akan diserahkan pembelinya pada kasir minimarket. “Apaan-Apaan lo?! Gue duluan! Lagian itu masih banyak!” tunjuk orang itu ke arah rak display. Dia berusaha mengambil kembali barang belanjaannya. “Ck! Lo aja pindah Indomaret laen, Bro! Semua yang ada disini mau gue borong!” Ucap Gallen terdengar sangat mengesalkan. “Mbak bungkus, kalau masih ada stok di gudang sekalian aja,” titahnya membuat semua mata terbelalak. “Woy, Mas! Mau lo apain dah kondom sebanyak itu?” “Ya buat ena-ena sama bini gue-lah! Ya kali gue tiupin satu-satu biar jadi balon,” sengit Gallen. Pertanyaan yang cukup bodoh menurutnya. Kontrasepsi dibuat apa kalau buk
“Ay,” panggil Gallen. Pemuda itu ingin mengadu sekaligus membahas mengenai masalah rumah tangga mereka.“Cacingnya tabrakin dulu ke tembok dong!” Pintanya agar Navara tak lagi bermain. Gallen heran, ada banyak permainan seru, tapi kenapa istrinya masih bertahan memainkan cacing yang tidak bisa berubah jadi naga itu.“Apa?!”Gallen tersenyum saat ponsel Navara diturunkan. Gimana dirinya mau tidak cinta setengah mati, sedang mode serius pun, Navara tetap memprioritaskan dirinya. Definisi nggak salah jatuh cinta sih ini.Sebelum membuka sesi curhat dong mah-nya, Gallen terlebih dahulu mencari posisi enak. Pemuda itu membaringkan tubuhnya melintang melawan arah ranjang dengan berbantalkan paha Navara.“Masa ya, Ay. Tadi Abang tuh sempet nanya, kita udah ML apa belum.” Gallen memulainya. Berharap setelah ini dirinya dapat mendapatkan haknya yang tertunda.“Main Mobile Legend? Kan aku nggak bisa, Len.”Gemas akan jawaban sang istri yang berbeda server dengan maksud kalimatnya, Gallen mengu
“Gimana kabar kamu?!”Gallen menjawabnya singkat. Seperti apa yang abangnya lihat, ia baik-baik saja. Lubang telinga, mata, hidung sampai ubun-ubunnya tetap utuh. Tidak berkurang walau kakak lelakinya itu jarang pulang.Jawaban singkat sang adik membuat Sergio mendengus. Ia tahu adiknya memang manusia baperan tingkat dewa, apalagi kalau itu menyangkut Navara. Gallen selalu takut kalah saing. Padahal apa yang perlu ditakutkan, Navara saja sudah dia nikahin.Ck! Bocil memang meresahkan. Pikirannya yang rumit merepotkan diri sendiri. Seperti kasus Gallen contohnya.“Masih ngambek gara-gara omongan Abang tadi?!”‘Pake nanya segala! Percuma kuliah di Harvard kalau IQ-nya tetep jongkok!’ Dumel Gallen dalam hati. Jari-Jarinya tetap fokus, menggulirkan aplikasi hiburan yang ramai digunakan oleh masyarakat Indonesia saat ini— yang jelas aplikasi tersebut bukan OnlyFans.“Kamu udah gede, Gallen. Masa yang begituan aja ngambek, sampai nggak mau diajak ngomong..”“B aja tuh. Gallen nggak ngambek.