“Pah, seret!” Titah Rebeca kala tubuh Gallen dibawa secara paksa untuk masuk ke dalam rumah.
Para tetangga pun berkumpul memenuhi ruang tamu Gallen. Rencananya, mereka akan dijadikan saksi dalam ijab qobul dadakan Gallen bersama Navara. Paman Navara bahkan sudah tiba. Pria itu bertugas menikahkan keponakannya, mewakili mendiang sang kakak yang telah berpulang.
“Apaan lagi ini!!” Jerit Gallen. Penyiksaan terhadap dirinya ternyata belum usai.
“Papa jangan tarik bokser, Gallen. Tytyd Gallen cuman boleh diliat Nava! Papaaa!!” Jeritan itu kontan membuat orang-orang sibuk menahan tawa.
“Diem kamu, Gallen! Mau dinikahin sama Nava nggak sih kamu? Itu Pak Penghulunya udah nungguin!” Hardik sang papa mencoba memandikan Gallen secepat yang dirinya bisa.
“MAU PAPA! MAUUU!! CEPET MANDIIN GALEN!!”
“Mas Gallen emang bucin parah ke Mbak Navara.”
“Ih, saya loh saksi kebucinan-nya Mas Gallen. Dulu pas masih SMP kan nangis-nangis dia gara-gara Mbak Navara ikut pulang bareng Mas Gio. Ngepel jalanan depan rumah saya itu anaknya.”
“Ehem,” dehem Rebeca, memutus interaksi para tetangganya yang berghibah-ria. “Aib anak saya jangan dibongkar semua dong. Malu ini saya, Pak,” tutur Rebeca ingin sekali menghilang menggunakan jurus seribu bayangan. Kelakuan Gallen memang benar-benar melunturkan mukanya.
“Santai aja Bu Rebeca. Bukan aib kok. Semua warga komplek udah maklum sama tingkah bucinnya Mas Gallen.”
Ya Tuhan!! Rebeca akan kutuk Gallen menjadi anak super tampan yang dapat dibanggakan oleh nusa dan bangsa. Ia tak tahan lagi— Sumpah-lah, Sumpah!
“Gallen pake baju yang bener dulu. Ya kali kamu nikah andukan doang! Melorot, terbang itu angry bird kamu.”
Navara memegangi tangan sang bunda. Ia menatap sendu bundanya. Matanya yang indah berkaca-kaca. Andai tak ada orang tua mereka, sudah ia pastikan Gallen akan bertemu dengan dua malaikat penanya di alam kubur.
“Sabar ya, Sayang. Nikahnya cuman dipercepat kok.”
Gadis itu menggigit bibirnya mendengar ucapan bundanya. Bundanya tak salah. Pernikahan mereka memang hanya dipercepat beberapa bulan, tapi yang melandasi pernikahan itu-lah yang membuatnya ingin mati saja.
“Eh, udah pada kumpul? Mau nyaksiin saya kawin ya?” Cengir Gallen memasang deretan gigi-gigi putihnya.
“Nikah Mas!” Jawab para bapak-bapak serentak, mengoreksi perbendaharaan kata Gallen. “Kawinnya mah udah sering kali lah Mas Gallen-nya.”
“Pitnih nih, PAK RETE! Saya perjaka ting-ting ya! Dijamin masih ting-ting!” Panggul Gallen menggeol dengan irama nada yang dirinya ucapkan.
“HA-HASYEK!!”
Paman Navara menguap. Gallen terlalu banyak tingkah. Adik dari ayah Navara itu memilih menyimpan energinya daripada menanggapi kegilaan Gallen.
“Sergio tolongin Mama. Adek kamu kesurupan setan jahanam,” lirih Rebeca memegangi dadanya yang berdenyut. Disaat-saat tak terkendali seperti ini, Rebeca membutuhkan Sergio. Abang Gallen itu paling bisa mengendalikan adiknya yang suka sekali error.
“Kelamaan! Om tinggal pulang juga nih! Istri Om kasihan bobok sendirian di rumah.”
“Eh! Eh! Udah siap kok, udah! Ayo Om ijab sah!” Gallen seketika duduk bersila disamping penghulu. Tanpa sebuah perkenalan ia menyenggol lengan orang yang akan menjadi petugas pernikahannya. “Tenang aja, Pak Kiayi. Saya udah sering latihan ini dari SD. Dijamin apal. Tinggal tambahin Almarhum aja di depan nama ayah mertua.”
“GALLEN!!” Sentak semua orang karena anak itu masih bisa memasang candaan garingnya.
“Loh, apa salah Gallen, Kisanak?!”
“Udah! Mulai-Mulai! Nungguin Gallen waras bisa terbit matahari!!” Paman Navara meraih tangan Gallen, ia mencengkram erat telapak tangan pemuda yang ingin menikahi keponakan satu-satunya. “Ngulang ijab, Om potong tytyd kamu biar Nava cuman liat bolanya aja!” Ancamnya membuat Gallen bergidik, ngeri.
“Saudara Gallen Putra Dipraja bin Gideon Dipraja, Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau dengan keponakan saya Navara Giyanti Atmaja binti Almarhum Hasan Atmaja dengan mas kawin uang tunai dua milyar rupiah, dibayar tunai.”
“Eh banyak banget? Gallen nggak punya duit sebanyak itu, Om!”
“Hadoh!!” Kooran menggema karena respon bodoh Gallen.
“Duit Papa Gallen, duit Papa! Kamu mana punya! Satu juta nyisa di rekening aja belum tentu ada!” Amuk Gideon, tak habis pikir dengan putranya.
“Ups! Ulang-Ulang! Maapin Gallen! Gallen khilaf! Jangan potong tytyd Gallen, Om. Kasihan Nava nggak ada yang ena-enain ntar!”
“Mas Gallen memang beda. Pantes anak saya naksirnya cuman seminggu aja. Saya tau sekarang alasannya.”
Prosesi sakral yang ternoda itu kembali diulang. Pada percobaan kedua, semua berjalan lancar. Gallen bahkan dapat melakukannya dalam satu tarikan napas ketika mengucapkan ijabnya. Pernikahan yang sejatinya digelar karena bentuk kesalahpahaman antar warga dan keluarga tersebut, ditutup dengan untaian doa-doa guna menjadi pondasi awal rumah tangga pasangan muda itu.
“Selamat ya, Mas Gallen. Saya udah nggak perlu nyuruh Pak Imin buat keliling ngeronda lagi sekarang.”
“Komplek aman dari Tarzan yang nyusup ke kamar Mbak Nava ya, Pak RT?”
Pak RT menganggukkan kepalanya. Ia menepuk-nepuk pundak Gallen. “Makasih dong sama saya. Kalau bukan karena saya, mana bisa kawin kamu Mas,” kekeh pria itu dengan wajah menyebalkan.
“Saya tetep masih dendam sama Bapak. Liat aja. Besok motor tua Bapak bakalan jadi abu rongsokan!!”
“Nooo!”
Pak RT lalu berlari cepat meninggalkan rumah kediaman Dipraja. Ia harus segera mengamankan motor kesayangannya agar tak terlihat di mata anak kedua tetangganya.
.
.
“Hiyaa!!”
“Adidaw! Ay! Botak rambut gue!!” Gallen memegangi rambutnya. Kepalanya langsung berdenyut nyeri menerima serangan brutal Navara. Baru juga melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar yang diincarnya, tapi Navara sudah menghadang menggunakan kuda-kuda andalan gadis itu.
“Gue benci lo, Gall. Demi Allah! Pengen mutilasi sekarang juga!!”
“Istighfar, Ayang! Dosa! Aku suami kamu!!” Jambakan Navara dirambutnya terlepas. Ia akhirnya bisa bernapas lega.
Belum satu jam loh jadi suami istri, main KDRT aja coba! Mau bangunin Kak Seto kan bingung gimana bikin alasannya.
“Nggak gini caranya, Gallen. Huhuhuhu..” Isakan terdengar dari bibir Navara. Seumur-umur Gallen mengenal Navara baru dua kali ia melihat Navara menangis. Pertama saat ayah gadisnya meninggal dan yang kedua, sekarang ini.
“Ya udah sih, Ay. Kan kita emang mau nikah.”
“Tapi nggak karena digrebek juga!!” Sentak Navara, galak menciutkan nyali Gallen.
“Sal-Salah kamu. Kenapa nggak dibukain balkonnya,” cicit Gallen, takut-takut.
“Ish, masih aja bahas itu!” Navara mengambil bantal di ranjangnya. Sepanjang pagi ini ia akan membuat perhitungan dengan Gallen. Pria itu wajib menerima kompensasi karena telah mempermalukan dirinya di hadapan warga komplek mereka.
“Ay! Ampun! Jangan gebukin gue lagi, Ay!!”
Gallen berlari memutari kamar Navara demi untuk menghindari hantaman sang kekasih. Percayalah— ketika marah, tenaga badak bercula pasti berpindah ke tubuh kekasihnya. Gallen masih sayang nyawa. Seluruh tubuhnya juga masih sakit karena diarak oleh warga komplek tadi.
Cepat-Cepat Gallen memutar kunci balkon. Ia sudah tak memerdulikan apapun. Kabur merupakan jalan ninja terbaik selagi awan kinton menyelubungi jasad kekasihnya. Dengan sekuat tenaga, Gallen menerobos, melompati pembatas balkon kamar mereka.
“Awas lo berani ke sini lagi. Gue cekek batang leher lo!!” Seru Navara merah padam. Ia tak main-main dengan ucapannya saat ini.
“Ay, malem pertama kita ini!”
“Hoey!!” Teriaknya karena Navara membalikkan tubuhnya.
“Maen sabun sono lo!”
Bugh!!
Bantal ditangan Navara mendarat mulus ke wajah Gallen.
“Bye!”
Brak!!
Tubuh Gallen berjengit. Ia bisa mendengar pintu balkon yang dibanting keras oleh istrinya.
“Puasa nih Mas Gallen?”
Gallen melongok ke bawah. Di jalanan, Pak RT mengolok-ngoloknya. Pria itu sedang menaikan motor bututnya ke atas sebuah mobil pick up.
“Motornya mau saya amanin ke tempat istri ke dua dulu,” pria tua itu menjulurkan lidahnya mengejek Gallen. “Selamat main sabun, Mas!”
“GUE BAKAR RUMAH LO BESOK RETE BANGSAT!! PINDAHIN SONO BANGUNAN RUMAH LO!!” Kepalang emosi, Gallen melayangkan jari tengahnya sebelum ia memasuki kamarnya.
“MAMAAA!! NAVA NGGAK MAU DIAJAKIN BIKIN ANAK!!”
“BERISIK KAMU GALLEN!! TIDUR BESOK SEKOLAH!!"
Gallen misuh-misuh. Pemuda itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang, menyalip beberapa kendaraan lagi yang ia rasa menghalangi jalannya ketika membelah jalan tol.Mamanya tak membuat soal tidak mengizinkannya menginjak lantai rumah. Ia sudah mencoba sampai lebih dulu di kediamannya, tapi ternyata wanita itu menelepon satpam. Melarangnya untuk masuk. Alhasil ia harus rela diusir dari rumahnya sendiri.Parah, kan?!“Bisa-Bisanya gue nggak boleh ketemu Navara!” Dumel Gallen, memukul stir mobilnya. Ck! Seumur-umur hidup Gallen, ia berpisah dengan Navara hanya ketika pulang dari rumah ibu mertuanya. Itu pun sesaat saja— karena setelahnya, Gallen akan mencoba terus mencari segala cara agar mereka berduaan. Makanya mereka dinikahkan oleh tetangga.Sampai di depan gerbang tinggi kediaman sang opa, Gallen menekan klaksonnya. Ia terlihat tidak sabaran. Menekannya panjang membuat penjaga lari tergopoh-gopoh.“Lama banget sih lo,” teriak Gallen sambil melongokkan kepalanya. Ia sedang ke
Mulut laknat Gallen menimbulkan petaka. Di Hari pertama keduanya kembali bersekolah, teman satu angkatan menghujat kebocoran informasi yang mereka dapatkan. Pihak sekolah pun bereaksi keras terhadap aduan yang mereka terima. Setelah jam ujian selesai, Navara serta Gallen dipanggil menghadap, guna memberikan klarifikasi terkait pergaulan bebas keduanya.“Nav, tenang. Kamu mending fokus ke ujian kita.”“Tenang kamu bilang, Len?”Sungguh Navara tak habis pikir. Bagaimana dirinya bisa fokus, jika kedatangannya untuk melaksanakan ujian pertama, justru disambut hujatan teman-teman seangkatan mereka. Semua karena Gallen. Pria itu tak ada habisnya membuat ulah.“Lagian kamu ngapain pake cerita ke Boy sama Sahrul sih, Len?! Apa pentingnya ngasih tau mereka kalau kita udah ke tahap itu?!” bentak Navara, tak lagi dapat mengendalikan kontrol dirinya.Ia kecewa— sangat kecewa. Gallen seperti anak kecil. Pemuda itu tak pernah bisa dewasa dalam menyikapi apa pun. Seharusnya dia tahu jika tidak semua
Bulu halus disekujur tubuh Navara bangkit berdiri. Gadis muda itu terus memejamkan mata, dengan gidikkan yang tak pernah berhenti.Gallen memang sudah tidak waras. Bisa-Bisanya pemuda itu mengajaknya menonton film dewasa. Seumur hidupnya, baru kali ini Navara melihat bagaimana proses bercinta seseorang. Benar-Benar menjijikan. Terlebih ketika dua alat reproduksi manusia dipampangkan tanpa sensor.Astaga! Navara ingin menangis rasanya.“Ay, buka dong matanya. Kita belajar bareng.”Bisikan ditelinga kanannya membuat Navara meremang. Suara berat Gallen semakin membuatnya merinding disko. Ia tahu kalau Gallen sudah berhasrat setelah dua film porno mereka saksikan. Namun mentalnya yang semula siap, justru menguap begitu saja. Ia jijik dengan proses tersebut.“Kamu harus ikutan belajar, Ay. Biar kita pro, terus nggak salah-salah.” Menggigit bibir bawahnya, Navara merasakan sensasi berbeda ketika tangan Gallen meremas salah satu bukit kembarnya. Darah di dalam tubuhnya seakan mengalir begit
“Selamat datang di Indongapert, Mas!” Pekik petugas minimarket ketika pelanggan yang baru saja memasuki kiosnya, menyambar barang belanjaan orang lain. Pelanggan tersebut adalah Gallen. Ia berniat membeli seluruh persediaan alat pengaman dan tak berniat membaginya kepada siapa pun.“Punya gue ini!” Seru Gallen mengamankan salah satu brand pengaman, yang akan diserahkan pembelinya pada kasir minimarket. “Apaan-Apaan lo?! Gue duluan! Lagian itu masih banyak!” tunjuk orang itu ke arah rak display. Dia berusaha mengambil kembali barang belanjaannya. “Ck! Lo aja pindah Indomaret laen, Bro! Semua yang ada disini mau gue borong!” Ucap Gallen terdengar sangat mengesalkan. “Mbak bungkus, kalau masih ada stok di gudang sekalian aja,” titahnya membuat semua mata terbelalak. “Woy, Mas! Mau lo apain dah kondom sebanyak itu?” “Ya buat ena-ena sama bini gue-lah! Ya kali gue tiupin satu-satu biar jadi balon,” sengit Gallen. Pertanyaan yang cukup bodoh menurutnya. Kontrasepsi dibuat apa kalau buk
“Ay,” panggil Gallen. Pemuda itu ingin mengadu sekaligus membahas mengenai masalah rumah tangga mereka.“Cacingnya tabrakin dulu ke tembok dong!” Pintanya agar Navara tak lagi bermain. Gallen heran, ada banyak permainan seru, tapi kenapa istrinya masih bertahan memainkan cacing yang tidak bisa berubah jadi naga itu.“Apa?!”Gallen tersenyum saat ponsel Navara diturunkan. Gimana dirinya mau tidak cinta setengah mati, sedang mode serius pun, Navara tetap memprioritaskan dirinya. Definisi nggak salah jatuh cinta sih ini.Sebelum membuka sesi curhat dong mah-nya, Gallen terlebih dahulu mencari posisi enak. Pemuda itu membaringkan tubuhnya melintang melawan arah ranjang dengan berbantalkan paha Navara.“Masa ya, Ay. Tadi Abang tuh sempet nanya, kita udah ML apa belum.” Gallen memulainya. Berharap setelah ini dirinya dapat mendapatkan haknya yang tertunda.“Main Mobile Legend? Kan aku nggak bisa, Len.”Gemas akan jawaban sang istri yang berbeda server dengan maksud kalimatnya, Gallen mengu
“Gimana kabar kamu?!”Gallen menjawabnya singkat. Seperti apa yang abangnya lihat, ia baik-baik saja. Lubang telinga, mata, hidung sampai ubun-ubunnya tetap utuh. Tidak berkurang walau kakak lelakinya itu jarang pulang.Jawaban singkat sang adik membuat Sergio mendengus. Ia tahu adiknya memang manusia baperan tingkat dewa, apalagi kalau itu menyangkut Navara. Gallen selalu takut kalah saing. Padahal apa yang perlu ditakutkan, Navara saja sudah dia nikahin.Ck! Bocil memang meresahkan. Pikirannya yang rumit merepotkan diri sendiri. Seperti kasus Gallen contohnya.“Masih ngambek gara-gara omongan Abang tadi?!”‘Pake nanya segala! Percuma kuliah di Harvard kalau IQ-nya tetep jongkok!’ Dumel Gallen dalam hati. Jari-Jarinya tetap fokus, menggulirkan aplikasi hiburan yang ramai digunakan oleh masyarakat Indonesia saat ini— yang jelas aplikasi tersebut bukan OnlyFans.“Kamu udah gede, Gallen. Masa yang begituan aja ngambek, sampai nggak mau diajak ngomong..”“B aja tuh. Gallen nggak ngambek.