“Agam?! Tega, amat ngerebut Vivi dariku! Padahal sudab kupercayakan dia padamu, kenapa malah dia kamu curi dariku! Dasar teman makan teman!”Fadlan terlihat begitu marah. Ia berlari ke arahku dengan tangan yang telah terkepal kuat “Lan! Lan! Ampun, Lan! Bukan maksudku—” BUAKH!“Alah, persetan! Pengkhianat! Mati aja!”Aku berusaha menutupi wajahku yang kini jadi sasaran bogem mentah Fadlan. Tidak! Jangan pukul lagi! Kumohon!“Fadlan! Fadlan maafkan aku—”Seketika momen menegangkan itu lenyap ketika sepasang mata ini terbelalak lebar.Deg!“Astagfirullah. Ternyata hanya mimpi.”Kuelus dada yang gemuruhnya masih saja terasa. Peluhku bercucuran mulai dari dahi hingga dagu. Ada rasa yang kurang enak setelah mimpi itu hadir dalam tidur.Kehadirannya dalam mimpi apakah sebuah tanda jika kesalahanku memang fatal? Demi apa pun, sekarang aku takut. Takut jika suatu waktu hal ini bisa menghancurkan persahabatan kami.Bangkit dari posisi rebahan. Kulirik jam ternyata sudah hampir subuh. Kali in
Mendengar beberapa suara mendekat ke arah kami, aku yang sedang merasakan debaran hati dari dekapan kecil Vivi, segera melepas pegangan tangannya dan segera bergeser agak menjauh.Benar saja ada beberapa orang datang, mereka penghuni kosan sini yang pastinya baru pulang dari masjid. Terlihat dari masih lengkapnya mereka memakai sarung plus peci.Vivi bedeham kecil, merapikan anak rambutnya dengan tangan dan mundur ke sampingku, memberi jalan pada yang akan lewat.“Weh, Gam, mau ke mana subuh-subuh udah mau cabut aja?” Bang Agus bertanya, sebagian ikut menghentikan langkah, sebagian lagi permisi lewat begitu saja.“Ini, Bang. Nyak Marni minta dijemput. Hari ini pulang,” jawabku jujur.Bang Agus mangut-mangut serius.“Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu hati-hati di jalan. Saya ke belakang duluan,” ucapnya kemudian beranjak. Aku hanya mengangguk seraya mengucap terima kasih.Kulihat punggung mereka mulai menghilang dari pandangan. Kembali aku menatap mata Vivi.“Untung enggak ketahuan mer
“Nyaak!” Vivi berlari ketika sudah melihat Nyak Marni dari kejauhan. Bagai kucing melihat majikan, ia begitu amat senang. Melompat ke dalam pangkuan memeluk penuh rindu.Aku menyusul di belakangnya. Nyak Marni tampak semakin berisi saja sepulang dari rumah saudara jauhnya itu. Aku jamin di sana pasti sangat subur makanan.Vivi melepas pelukannya ketika aku sudah tiba di hadapan mereka.“Nyak, maaf telat.” Aku menyalami tangannya sebagai sambutan selamat datang sekaligus meminta maaf.“Iya, bikin emosi lu, Gam. Padahal gue udah hubungin sebelim azan subuh, bisa-bisanya telat begini.” Nyak Marni memasang muka masam.Sungguh. Tak enak sekali rasanya diomeli begini, tetapi aku juga tak bisa membantah karena memang di sini aku yang salah.“Udah Nyak, jangan diomelin. Udah bagus masih jemput. Lagian, Bang Agam telat gara-gara Vivi mau ikut,” bela Vivi.Aku sangat tersentuh karena ia membelaku, meski sebenarnya dia tak perlu mengatakan itu hanya demi melindungiku dari ocehan ibunya yang agak
Akhir pekan adalah waktu paling sempurna untuk memanjakan diri. Meski sejatinya diri ini tukang ngurung diri di kamar kosan, ingin juga merasakan kesibukan lain selain bekerja.Setelah misi penjemputan Nyak Marni selesai, aku dan Vivi niatnya mau jalan-jalan weekend berdua. Angap saja ngedate.Masalahnya, mau izin Nyak Marni malah tidur. Karena takut kena sumpah ini itu, akhirnya kubatalkan lah itu rencana sampai Nyak Marni bangun dari tidurnya.Eh, si Vivi malah merajuk seperti anak kecil. Dia bilang akan marah kalau aku tak pergi saat itu.“Abang ih ayo pergi. Biarin, deh Enyak istirahat. Kita pergi aja, nanti izinnya pas pulang,” rengeknya seraya menarik-narik lenganku kuat.Astagfirullah maksa.Daripada dia ngambek terus, akhirnya aku turuti kemauannya. Meski sudah kuprediksi nanti Nyak Marni akan sangat marah padaku. Baiklah, aku akan pikirkan itu nanti.Kapan lagi bisa jalan begini? Besok aku sudah masuk kerja lagi, sibuk lagi. Vivi pasti lebih kecewa.“Kita perginya pakai motor
Mentari mulai menyusutkan cahayanya ketika ia mulai tenggelam ke ufuk barat bersama arakan awan kelabu diterpa angin.Dalam cuaca ini, hatiku mengambang di atas bahagia yang sesungguhnya. Bergandengan tangan dengan kekasih hati mengitari lapangan luas yang penuh pengunjung bak lautan manusia.Lelah tak dirasa, keringat basah tak pernah membuat aku berhenti berlari ke sana ke mari. Kami lepas, tertawa renyah bersama, tersenyum malu-malu kala mata kami saling bertemu di momen manis tertentu, mencoba berbagai wahana yang ada, membuat banyak kenangan indah yang pasti tak akan bisa kulupa dengan mudah.“Mulai hari ini panggil Vivi begitu terus, ya?” ucapnya membuka kembali percakapan setelah kami duduk sambil memakan es krim.Dahiku mengerut.“Susah, Vi. Itu cuma keluar di momen tertentu,” sahutku seraya menggigit cone es krim yang dipegang.“Ih!” dengkusnya menyenggol keras. Membuat es krim yang belum tandas jatuh.Aku menganga di tempat, tak bisa lepas pandangan pada makanan enak itu di
Sudah siap-siap dengan merangkai kalimat bujukan dalam otak, Vivi malah memalingkan muka sambil menunjuk tukang penjual permen kapas tadi.“Mau itu juga!” rajuknya. Antara gemas dan merasa lucu, aku mencoba bertahan untuk tidak tertawa.“Iya, dibeliin. Tapi jangan cemberut, ya, jelek.” Kuacak rambutnya sekali, ia langsung menepis kasar. Ya, sudah aku tak masalah. “Mau ikut ke sana atau nunggu di sini?” tanyaku kemudian.“Tunggu di sini aja. Di sana pasti gerah, keliatan sesak gitu,” jawab Vivi masih dengan nada jutek. Ya, ampun. Setelah jadi pacar, dia mudah sekali marah. Dasar si perasa manja.“Abang masih suka dia, kan?”Langkahku terhenti ketika Vivi bertanya demikian. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi, tanda notifikasi pesan masuk.“Jangan ngadi-ngadi. Enggak, lah,” sangkalku jujur. Memang kenyataannya begitu, ya meski sedikit ada rasa senang sekaligus sedih kalau bertemu seperti tadi.Aku berucap sambil membuka pesan.Clara. Dahiku mengerut melihat namanya terpampang di laya
Jika dikatakan bodoh karena terbutakan cinta, aku mungkinlah lelaki yang paling bodoh. Sudah disakiti dengan nyata, masih saja mencoba memaklum dan mengkhawatirkannya.Sungguh budak cinta! Lagi-lagi aku terperangkap dalam kalimat tersebut.Setengah gila aku mengebut di jalanan. Membelah hujan yang semakin deras menerpa tubuh. Dalam hati aku berdoa, semoga Vivi baik-baik saja di sana.Sial! Kenapa juga tadi harus baper karena dibandingkan dengan orang lain. Padahal, kenyataannya dia hanya mencoba membalas rasa cemburu yang menguasainya.“Kalau sampai Nyak Marni tahu anaknya ditinggalkan di jalanan di bawah hujan geledek petir begini, habislah aku kena gampar,” gumamku cemas sekali.Bersamaan dengan itu, ponselku berdering berkali-kali. Siapa pun itu, tak niat aku melihatnya. Namun, terpikir jika mungkin Vivi, walau susah aku berusaha meraih ponsel dalam kantong celana.“Nyak Marni?” gumamku fokus melihat ponsel. Pasti mau ngomel dan nanyain Vivi ke mana.Dirasa bukan telefon yang darur
“Agaaam!”Keluargaku menghambur masuk ke dalam kamar tempat aku dirawat.Saat ini aku sudah dipindah ke kamar pasien biasa. Sebelumnya karena kritis, aku sempat dibawa ke ruang ICU.Kulihat wajah ibu tampak lelah. Ada bapak dan kakak perempuanku. Mereka menangis melihatku terbaring lemah di sini.Kabar baiknya, alhamdulillah aku tak mengalami patah tulang. Ya, walau luka dalam di kepala terdengar lebih menyeramkan.Kata dokter, aku akan berangsur pulih perlahan dengan rutin minum obat serta latihan pergerakan otot. Dengan catatan aku harus menyimpan banyak stok sabar di sini, sebab membutuhkan banyak waktu menuju proses penyembuhan dan pemulihan.“Ya Allah anak ibu ... alhamdulillah masih dikasih kesempatan hidup,” ucap ibu seraya mengelus lembut wajahku. Tangannya lalu turun menggenggam tangan ini.Terasa hangat dan nyaman.Bapak masih diam, tetapi aku lihat ia lebih cemas dibanding siapa pun. Kakak tak bisa berhenti menitikkan air mata, sampai aku terharu begini. Ternyata mereka beg