Share

02. Kerempongan Mami

Juda menggeram kesal. Ia sudah terbiasa mimpi random. Mulai dari menjadi istri simpanan presiden, menjadi manajer BIGBANG–boyband Korea yang populer sejak tahun 2011-an–yang menjadi idolanya, suatu kali juga pernah menjadi dokter paling dikagumi di rumah sakit besar di Jakarta. Di lain waktu, Juda tiba-tiba menjadi pendaki yang suka menjelajah gunung-gunung tinggi di dunia. Ya, memang serandom itu bunga tidur yang Juda dapatkan saat tidur.

Juda tidak pernah terlalu memusingkan mimpi-mimpi yang menghiasi malam-malamnya itu. Karena baginya, mimpi hanyalah bunga tidur yang kadang berbau harum dan terkadang berbau busuk. Mereka hanya ilusi yang tidak akan menjadi kenyataan.

Namun, selama beberapa minggu terakhir ini, Juda hampir selalu memimpikan hal yang sama. Hal ini membuatnya kesal laur biasa karena ia terpaksa harus kembali mengingat kenangan terakhir di masa-masa SMA-nya yang tidak terlalu menyenangkan.

“Kenapa sih nongol mulu di mimpi gue?” gerutu Juda sambil menggaruk kepalanya dengan kesal. Membuat rambut kusutnya menjadi semakin kusut.

“JUJU! MAMI BERAPA KALI BILANG SAMA KAMU JANGAN BANGUN SIANG-SIANG!”

Teriakan menggelegar Mami menyadarkan Juda sepenuhnya dari kantuk. Mata yang tadinya masih setengah terpejam itu membuka sempurna. Menonjolkan garis-garis tipis tak beraturan berwarna merah di bola mata. Juda buru-buru turun dari atas kasur dan keluar dari kamar untuk menuju kamar mandi yang berada di samping dapur.

“Kamu itu keseringan bangun siang, makanya susah jodoh!” Suara Mami–yang sosoknya tadi Juda lihat tengah memotong-motong sayur untuk dimasak–terdengar hingga ke dalam kamar mandi.

Juda mendengkus kesal. “Apa hubungannya bangun siang sama jodoh, sih, Mi!” jawab Juda yang batal mengejan untuk mengeluarkan sampah-sampah dari perutnya.

“Nanti siang temen Mami main ke sini. Kamu nggak usah ke mana-mana,” kata Mami. Tak mengacuhkan dengkusan kesal anaknya.

“Yang ke sini temen Mami, kenapa aku yang nggak dibolehin ke mana-mana?” protes Juda. Padahal rencanaya hari ini Juda ingin jalan-jalan dengan sepupunya yang tinggal di sebelah rumah Mami.

“Maksudnya temen Mami ke sini sama anaknya mau ketemu kamu, Ju!” sahut Mammi garang.

WHAT?!” Juda merespons dengan sama garangnya. “Mami, kok ngeselin, sih? Mami nggak usah deh jodoh-jodohin aku terus! Aku kan udah bilang aku bisa cari pacar sendiri.”

“Kalau kamu bisa cari pacar sendiri, kenapa nggak dikenalin ke Mami? Kamu bilang gitu dari tahun kemarin tapi mana hasilnya? Nggak ada!”

Juda semakin cemberut karena Mami baru saja membeberkan fakta pahit yang selalu menghantui perempuan itu selama beberapa waktu terakhir. “Mereka lari semua karena diburu-buru Mami terus buat nikahin aku!”

“Nah, itu bukti kalau kamu nggak bisa cari calon suami. Mami nggak butuh menantu yang punya mental tempe! Enak aja deketin anak Mami tapi nggak mau diseriusin!”

Juda menyerah. Mau sampai besok duduk di kloset, kalau obrolannya dengan Mami tidak segera dihentikan, tidak akan ada yang bisa dikeluarkan dari perutnya. Juda membutuhkan ketenangan agar bisa dengan mudah membuang sisa-sisa makanan di tubuhnya yang tak terkonversi menjadi energi.

Juda keluar dari kamar mandi dengan muka cemberut. “Mi, aku tu males ketemu sama anak temen Mami. Nggak ada yang bener semua!”

Mami menoleh ke arah Juda yang berdiri di depannya, dipisahkan oleh meja. “Hush! Nggak boleh gitu. Yang kali ini beneran anak baik-baik. Bukan anak mami, atau berandalan yang hobi mabuk. Kamu tenang aja. Kali ini Mami nggak salah pilih.”

Mata Juda menyipit. Tidak mempercayai kata-kata yang Mami ucapkan.

Pasalnya, ini sudah yang ke sekian kali Juda berkenalan dengan anak teman Mami yang hampir semuanya tingkahnya aneh-aneh. Juda ingat, ia pernah berkencan sekali dengan anak teman arisan Mami yang terpaut empat tahun lebih tua darinya. Laki-laki yang berwajah kearab-araban meski dari keluarganya tak mengalir darah Arab. Juda lupa siapa nama laki-laki yang berprofesi sebagai akuntan itu. Namun, Juda sama sekali tidak lupa dengan kebiasaan laki-laki itu yang harus mengabarkan posisinya kepada ibunya setiap lima belas menit sekali.  

Juda sampai muak diajak berswafoto untuk dikirimkan ke ibunya si laki-laki itu. Bagaimana tidak? Mereka berkencan selama tiga jam penuh. Dan itu artinya, Juda mau tidak mau harus berswafoto dengan laki-laki–yang telah ia lupakan namanya–itu sebanyak dua belas kali.

Bukan berarti Juda tidak suka berswafoto. Namun, tentu rasanya berbeda ketika foto close up wajahnya dikirimkan secara pribadi melalui pesan chat kepada wanita setengah abad yang terlalu protektif terhadap anaknya yang–Demi Tuhan–saat itu sudah berusia tiga puluh tahun!

Ada suatu ketika, Juda berkencan dengan laki-laki berbeda–masih merupakan anak dari salah satu teman arisan Mami. Laki-laki yang Juda ingat namanya Hendrik. Anaknya cukup asyik diajak mengobrol. Bahkan cenderung mendominasi percakapan karena Juda lebih banyak diam–sama sekali tidak menunjukkan minat, terlebih ketertarikan.

Juda pikir, tidak masalah melanjutkan kencan kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun, ternyata Hendrik tak sebaik dan semenyenangkan pada awalnya. Laki-laki itu berengsek dan amat sangat menjijikkan. Karena tidak segan-segan meminta Juda mengirimkan foto sedang telanjang. Bahkan mengirimkan chat tidak senonoh. Pada akhirnya, Juda memblokir semua akses komunikasi dengan Hendrik setelah mengancam akan membeberkan kelakuan laki-laki itu kepada ibunya.

Setelah dua kegagalan itu, Juda berpikir kalau Mami akan berhenti menjodohkannya dengan orang-orang aneh. Sayangnya, Mami yang sudah sangat ngebet ingin punya mantu dari anak bungsunya itu tak bisa dihentikan. Mami sangat terobsesi untuk segera mendapat mantu.

Di lain waktu, Juda berkenalan dengan progammer super ganteng yang maniak game–sebagian besar waktunya habis untuk memelototi komputer, atlet renang yang maniak hidup sehat dan melarang Juda makan fast food, dan pada kencan yang terakhir–baru beberapa minggu berlalu–Juda hampir dibuat gila oleh seorang dosen muda yang menguliahinya mata kuliah sejarah Indonesia selama empat jam lebih.

“Namanya Sakha. Kamu katanya suka yang lokal, kan? Dia ini lokal banget, keluarganya keturunan Jawa asli. Ganteng banget! Mami jamin kamu pasti klepek-klepek.” Mami berkata sambil menerawang. Ekspresi di wajahnya menunjukkan kekaguman yang berlebihan. “Oh iya, dia pernah menikah sekali. Udah pidah beberapa tahun lalu, jadi aman kalau mau pendekatan.”

Juda hampir tersedak begitu mendengar bahwa laki-laki yang akan dikenalkan padamya sudah pernah menikah. “Mami gila?! Masa jodohin aku sama duda?!”

Mami melemparkan seriris wortel dan mengenai lengan Juda. “Siapa yang ngajarin kamu ngatain Mami gila?! Kamu mau Mami gila beneran karena anak gadis Mami nggak kawin-kawin?”

Juda menggaruk lengannya yang tak gatal dan mendengkus keras-keras. “Ya, abis Mami segitu desperate-nya cariin aku suami sampe duda pun disodorin ke aku! Masa Mami tega jodohin aku sama duda. Kan masih banyak laki single di Indonesia, di luar negeri juga, “

“Kamu nggak boleh mandang orang sebelah mata karena statusnya, Ju. Mami sama teman Mami ini udah kenal baik dari kuliah dulu. Didikannya juga baik.”

“Kalo didikannya baik kenapa cerai? Pasti ada yang nggak beres, kan?” sembur Juda dengan super sewot.

“Mulut kamu itu yang nggak beres!”

“Pokoknya aku nggak mau, Mi! Aku nggak mau kenalan sama duda!” jerit Juda dengan suara tertahan. Mukanya memerah menahan kekesalan.

“Jangan gitu, Ju. Kamu bisa nilai orangnya kalau udah ketemu nanti. Sekarang kamu nurut aja dan dengerin kata Mami. Dia anaknya dewasa dan sangat menghormati orang tua. Tingkah lakunya sopan dan baik.”

Mami menjabarkan kebaikan-kebaikan si calon yang akan dikenalkan kepada Juda itu dengan semangat. Berbanding terbalik dengan Juda yang terlihat malas-malasan ketika dipaksa harus mendengarkan perkataan Mami.

“Aku nggak mau, Mami. Jangan paksa aku buat kenalan sama dia, please.”

“Kenalan dulu, Juda. Masa mereka udah jauh-jauh main ke sini tapi kamu nggak menyambut dengan baik? Itu namanya nggak sopan. Dan Mami nggak suka kalau anak Mami berbuat hal yang nggak sopan. Paham?”

Juda mencibir kesal. Berdebat dengan Mami selalu saja membuat Juda kalah telak. Apalagi kalau sudah membicarakan tentang adab dan kesopanan. Bukan berarti Juda merupakan anak yang tidak tahu sopan santun, hanya saja Jud amasih harus banyak belajar karena dakam beberapa hal, ia memang masih suka kelewatan. Salah satunya saat bicara. Juda terlalu ceplas ceplos dan tak jarang perkataan jujurnya itu menyakiti orang.

Saat akan melanjutkan sesi adu mulut, Papi melintas masuk ke dapur dengan tubuh penuh keringat. Pria berperut buncit itu mengambil air meneral dingin dari kulkas.

“Pi, tau nggak, masa Mami mau jodohin aku sama duda. Tega banget. Kasih tau Mami biar nggak aneh-aneh gitu dong, Pi,” keluh Juda mengekori Papi yang kini duduk di kursi ruang makan.

“Kenalan aja, Ju. Mami tau yang baik buat kamu.”

“Ah, Papi sama aja. Masa ikhlas sih anak gadisnya nikah sama duda?”

“Emangnya kamu udah yakin kalau dia mau sama kamu?”

“Maksud Papi?!” tanya Juda dengan mata menyipit dan kedua alis yang hampir menyatu.

Papi meneguk air mineral dari tumblr hingga tersisa setengah. Kemudian pria itu menatap anak gadisnya dengan tatapan lembut. “Kalian belum ketemu, kan? Belum tentu nanti setelah kalian ketemu terus dia mau sama kamu.”

Juda terperangah selama beberapa saat karena ucapan Papi sama sekali tidak selembut tatapannya. Papi bukannya membela anak gadisnya–yang katanya kesayangan itu–melainkan malah ikut memojokkan dengan kejam.

“Papi kenapa ngomongnya gitu? Emangnya Juju sejelek itu apa?”

Papi tertawa kecil. “Bukan gitu maksud Papi. Papi tahu kalau anak Papi ini juga pantas mendapat yang baik-baik. Tapi belum tentu kamu cocok dengan semua orang. Begitu juga dengan laki-laki yang akan dijodohkan mami ke kamu.”

“Tapi, Pi, aku nggak mau kalau kenalan sama cowok yang udah pernah nikah. Pasti bakal awkward, deh,” ujar Juda dengan muka tertekuk sepuluh.

Papi geleng-geleng kepala. Meletakkan tumblr di atas meja kemudian mengelus rambut Juda yang kusut dengan tangan besarnya yang sudah mulai keriput. “Mami kamu benar, nggak boleh merendahkan status orang. Mau dia single atau sudah pernah menikah, kesempatan untuk menjalin hubungan pun sama.”

“Sayangnya, kenyataannya nggak gitu, Pi. Banyak yang merendahkan status orang lain, apalagi yang duda atau janda. Pasti dipandang sebelah mata.”

“Betul, tapi kita sebagai orang yang paham kalau nggak boleh melakukan itu, kita juga nggak seharusnya terpengaruh oleh cara pandang orang lain terhadap sesama. Kamu, Papi, atau orang lain di luar sana belum tentu attitude-nya lebih baik ketimbang mereka. Memangnya siapa kita? Kebaikan apa yang sudah kita lakukan sampai berani merendahkan orang lain? Pernah bersedekah satu miliar atau bahkan triliunan pun nggak terus boleh atau diwajarkan untuk merendahkan orang lain. Paham, kan, Nak, maksud Papi?”

Juda pun mengangguk. Argumen sang ayah sama sekali tak terbantahkan. Juda akhirnya menyerah. Tidak lagi menolak permintaan Mami untuk berkenalan dengan anak temannya. Juda mengatakan akan tetap di rumah sampai teman Mam dan anaknya datang.

“Ya udah, aku mau mandi dulu, Pi,” kata Juda.

Papi hanya mengangguk dan membiarkan anak bungsunya beranjak pergi.

Namun, untungnya, anak teman Mami itu batal datang ke rumah karena ada sanak saudara yang masuk rumah sakit.

Pertemuan itu batal dan Juda pun bisa sedikit bernapas lega karena dua hal. Yang pertama karena tidak perlu berkenalan dengan duda. Dan yang kedua karena Juda tidak perlu berpura-pura ramah kepada tamu Mami yang pasti akan sangat menyedot energi.

.

.

to be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status