Share

ZONA MANTAN
ZONA MANTAN
Penulis: naftalenee

01. Hati yang Patah

“Lo adalah cowok ke sekian yang akhirnya bertekuk lutut sama gue setelah sok jual mahal basi. Permainan udah nggak asik lagi. Kita putus aja, Dan. Gue udah bosen sama lo.”

Diputuskan saat sedang sayang-sayangnya bukanlah menjadi hal yang Danis harapkan terjadi. Namun, ekspresi di wajah Danis tidak menunjukkan keterkejutan ataupun kesedihan. Laki-laki itu menatap Juda lurus dan berkata, “Aku tau kamu bakal bilang gitu, Ju. Aku nggak masalah kalo rasa sayangku ke kamu nggak terbalas. Aku nggak berharap banyak, dari awal aku juga tau kalo kamu cuma jadiin aku taruhan sama temen-temen kamu. Congratulations karena kamu menang taruhan.”

Danis mengatakan sederet kalimat itu tanpa terselip kesinisan ataupun sindiran sepeti yang Juda harapkan. “Asal kamu tahu, Ju, aku nggak nyesel udah bisa pacaran sama kamu selama tiga bulan ini. It was fun. Kamu mungkin akan jadi mantan terindahku.”

“Udah ngomongnya?” Juda menarik ujung bibirnya ke atas. Menampakkan senyum sinis yang semakin membuat wajah Juda makin judes. “Cut that bullshit. Gue nggak butuh pidato lo.”

Danis terkekeh. Ia menyugar rambutnya yang sudah mulai memanjang menutupi kening. “Untuk yang terakhir, boleh peluk, nggak?”

Juda melotot hingga matanya hampir keluar dari sarangnya. “Lo nggak tau malu banget, sih! Nggak sudi gue pelukan sama lo!”

“Anggap aja pelukan perpisahan, Juju. Santai, dong. Nggak usah ngegas gitu. Habis ini kita nggak akan ketemu lagi kok.”

Kali ini Juda mencebik. Danis adalah satu-satunya yang bisa membalas kejutekan Juda dengan jawaban yang santai. Beberapa saat kemudian, Juda mengubah ekspresi keras di wajahnya menjadi segurat raut penasaran.

Seolah mengerti tanpa ditanya, Danis pun berkata, “Kamu inget nggak kalo aku pernah apply beasiswa ke Belanda? Waktu itu aku isi formulirnya di depan rumah kamu, pakai laptop punya kamu, terus numpang Wi-Fi juga di rumah kamu.” Danis tertawa kala mengingat hari itu. “Pengumumannya kemaren dan aku lolos, Ju. Minggu depan aku berangkat ke Belanda.”

Juda cukup terpengaruh akan pernyataan Danis. Ia ikut bersyukur karena Danis lolos. Namun, dengan mudah menyembunyikan perasaannya. Danis juga tidak perlu tahu meski Juda mengingat dengan jelas akan mengingat hari sore yang cerah itu. Ketika Danis tiba-tiba muncul di depan rumahnya, mengendarai motor Scoopy berwarna putih dan mengenakan helm bogo yang membuat laki-laki itu terlihat manis. Sangat berbeda dengan Danis yang saat ini berdiri di depan Juda dengan senyum terkulum.

Danis yang datang tanpa pemberitahuan itu mengatakan bahwa ia sedang berada dalam kondisi terdesak. Juda yang mudah panik itu pun mengizinkan Danis masuk dan duduk di teras rumah untuk mendengarkan curahan hati pacarnya itu.

Saat itulah Danis bercerita tentang rencananya bersekolah di luar negeri. Juda memberikan dukungan positif dan langsung mendorong Danis agar segera mendaftar.

“Lo diterima atau enggak itu bukan urusan gue. Gue nggak peduli,” tukas Juda.

“Kalo kamu nggak peduli, kamu nggak akan pinjemin aku laptop, dan kasih Wi-Fi gratis, Ju.”

“Apa ada gunanya diungkit sekarang?” Juda menimpali dengan nada sarkas yang kentara dalam suaranya.

Danis menggeleng. Ada sorot keputusasaan di matanya yang hadir sekejap sebelum kemudian hilang. “Thank you for always supporting me and stay by my side at that time, Ju. Kalo kamu nggak dukung aku waktu itu, mungkin aku sekarang masih bingung cari-cari kampus atau malah main-main nggak jelas. I owe you so much, Ju.

Juda mengerling malas. Mau diingatkan akan kebaikannya di masa lalu, tidak akan membuat Juda luluh atau sekadar mengendurkan pertahanan. Kemauan terbesar Juda saat ini adalah menyelesaikan semua yang berhubungan dengan Danis dan membuang laki-laki itu jauh dari hidupnya. Dan kepergian Danis ke Belanda itu mungkin adalah satu dari cara Tuhan menjawab keinginannya.

Danis akan pergi dan Juda akan hidup tenang.

Atau mungkin sebaliknya, Danis-lah yang akan hidup tenang karena berhasil lepas dan bebas dari sosok Juda yang lebih mirip nenek sihir galak yang biasa digambarkan dalam cerita anak.

Well, congratulations, Danis,” kata Juda dengan nada tidak ikhlas dalam suaranya. Ia bersedekap dan lanjut berkata, “Udah nggak ada yang perlu dibahas lagi, kan?”

Danis tersenyum tipis sembari memandang wajah Juda yang kini menatapnya dengan begitu muak. “Kamu mungkin nggak butuh denger ini, tapi aku tetep mau bilang. Semoga lancar kuliahnya dan kamu bisa jadi dokter seperti yang kamu cita-citakan. Yang terakhir, aku mau minta maaf kalo selama jadi pacar kamu, aku norak banget. Aku juga minta maaf karena bikin kamu kecewa.”

“Gue nggak butuh dari lo, apalagi permintaan maaf lo,” sela Juda dengan ekspresi keras di wajah. Pikirannya seketika melayang ke alasan gadis itu memilih untuk putus dari Danis.

“Aku nggak minta buat dimaafkan, Ju. Aku tau aku salah, jadi aku cuma mau minta maaf terlepas kamu maafin atau enggak.” Danis tersenyum tipis. Tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala Juda. Namun, gadis di depannya itu dengan cepat mengelak. Danis menurunkan tangan dan berkata, “Semoga kamu ketemu cowok yang baik yang nggak akan nyakitin kamu kayak aku. You deserve someone better than me.”

“Nggak usah sok baik. Lo nggak berhak ngomong kayak gitu.”

“Satu pelukan, Ju. Please?” Tanpa menunggu jawaban Juda, Danis mendekat untuk memeluk Juda. Bukan pelukan erat yang membuat Juda sesak, melainkan hanya pelukan ringan. Laki-laki itu mengelus punggung Juda–yang memiliki rambut sebahu yang berwarna hitam legam–selama beberapa saat dan berbisik, “Thank you, Juju. Boleh minta satu hal lagi?”

“Lo lama-lama ngelunjak ya!” Juda mendorong Danis dengan kuat hingga membuat pelukan singkat itu terlepas. Danis terdorong hingga dua langkah ke belakang.

“Di punggung kamu masih ada space kosong, aku boleh tulis sesuatu di situ?” tanya Danis. Mengabaikan lirikan judes yang Juda berikan padanya.

Juda pun melirik seragamnya yang sudah penuh dengan coretan spidol dan pilok warna-warni. Inginnya ia menolak, namun Danis lebih gesit. Tahu-tahu, laki-laki itu sudah memutar tubuh Juda membelakangi dirinya. Laki-laki itu tak membiarkan Juda mengelak.

“Awas kalo lo nulis yang aneh-aneh,” geram Juda yang meski suaranya terdengar penuh kebencian, tetapi ia tetap membiarkan Danis berbuat sesukanya. Dalam hati, gadis itu berbisik, Ini yang terakhir. Setelah ini gue nggak akan ketemu Danis lagi. Baju gue juga nggak akan gue simpen selamanya. It's nothing, Juju!

Danis memegangi pundak Juda dengan erat menggunakan satu tangan. Tangannya yang lain menggoreskan beberapa patah kata di punggung Juda sebelah kiri sembari tersenyum.

Setelah Danis berbalik dan menjauh menuju teman-teman laki-laki itu, Juda tersenyum kecut. Air mata perlahan menggenangi mata. “Danis brengsek! Semoga lo ketemu cewek jahat yang lebih kejam dari gue!”

Saat kalimat itu meluncur, Danis sempat menatap Juda dengan senyum pengertian sebelum kemudian kembali berjalan menjauhi Juda.

Juda sangat marah dan kesal karena Danis yang sama sekali tidak terlihat memendam amarah akan semua kata-kata kasar dan kejam yang Juda ucapkan. Danis juga tidak terlihat menyesal akan pengkhianatan yang dilakukan laki-laki itu hingga merusak hubungan keduanya.

“Danis sialan,” lirih Juda. Air matanya jatuh dan dengan cepat gadis itu hapus dengan punggung tangannya.

Yang tidak pernah Juda tahu, begitu Danis berbalik, laki-laki itu meruntuhkan senyum yang selalu terpatri di wajah saat berhadapan dengan Juda. Danis tampak murung dan sedih. Meninggalkan dan ditinggalkan oleh Juda bukanlah hal yang ia harapkan terjadi meski ia harus menempuh pendidikan nun jauh di sana. Yang Danis inginkan, mereka meraih mimpi itu bersama-sama meski raga keduanya terpisah oleh jarak yang membentang. Danis ingin mereka selalu ada untuk satu sama lain di saat susah maupun senang. Saling mendukung saat sedang berada di bawah maupun berada di atas. Sayangnya, harapan itu kini hanya tersisa harap semu yang tidak akan permah terwujud.

Juda sudah memutus ikatan yang tidak bisa disambung kecuali membuat ikatan baru dengan ikatan yang lain.

“Juju nggak lo ajak ke sini, Dan?” tanya salah satu teman Danis yang bajunya sama dekali tidka terdapat coretan.

Danis mengendikkan bahu kemudian menjawab dengan santai, “Gue sama Juju barusan putus.”

Deklarasi putus itu membuat keempat teman Danis menatap laki-laki itu prihatin. Mereka cukup tahu bahwa Danis amat sangat menyayangi Juda meski gadis itu sepertinya tidak memiliki perasaan yang sama besar. Atau malah tidak punya rasa terhadap Danis kecuali rasa benci.

Untungnya, tidak ada pembahasan lebih lanjut karena mereka menghargai perasaan Danis.

Menjelang sore, halaman sekolah yang tadinya ramai oleh siswa siswi–dengan berbagai coretan di seragam untuk merayakan kelulusan itu–kini mulai sepi. Para siswa satu demi satu meninggalkan sekolah yang menjadi tempat belajar selama tiga tahun itu untuk menuju gerbang lain yang akan membawa mereka selangkah lebih dekat dengan mimpi.

Masa SMA Juda dan Danis pun berakhir dengan menyisakan hati-hati yang patah. Hati-hati patah yang terbawa hingga masa dewasa.

.

.

to be continued 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status